Bab 8
Jangan terlalu perhatian, aku takutnya hanya kena harapan dan malah jadi KEGEERAN!
Capek dan mabok. Dari gue lahir sampai usia 22 tahun, belum pernah rasanya gue semabok dan sebahagia ini. Walau kami hanya bisa habiskan 3 botol soju berdua, tapi cukup lah buat gue sama Otta ngefly. Kami berdua bukan tipe-tipe manusia yang suka minum-minum, tapi kalau misalkan ada moment special yang dirayakan sambil minum, ya kenapa enggak?
Tapi sekarang masalahnya, setelah kami berdua dalam kondisi yang setengah sadar, masih bisa jalan sendiri masing-masing, cuma agak oleng aja sedikit, kesulitan mulai terasa waktu kami mau balik ke apartemen. Angin malam Hongdae serasa jadi kipas angin raksasa yang nyemprot muka gue dengan brutal.
"Aduh ... kepalaku pusing banget," gue ngelantur, tangan gue nempel di bahu Otta buat jaga keseimbangan. Tapi nyatanya, dia enggak lebih baik dari gue. Kedua kaki Otta jalannya miring kayak kompas rusak, dan setiap tiga langkah, dia ketawa ngakak tanpa alasan jelas.
"Kamu tahu enggak," kata Otta dengan nada super serius, "Kayaknya trotoar ini nge-rap deh. Kayak, 'TAP TAP TAP TAP!' Nih aku ikutin." Dia mulai tap-dance ngawur di trotoar sambil bikin suara beatbox. Gue cuma bisa bengong sebelum akhirnya ketawa ngakak, enggak peduli sama orang-orang yang ngelirik kita kayak ngelihat tontonan gratis.
Emang sih di Korea ngelihat orang mabok di jalan tuh udah biasa banget. Tapi mungkin mereka anehnya yang mabok bukan orang Korea asli, tapi malah pelancong kayak gue sama Otta. Apalagi gue pernah dengar sih dari cerita orang, kalau warga asli Korea mah rasis banget orang-orangnya. Kayak enggak suka aja gitu lihat ada orang lain, yang bukan warga negara asli Korea, bergentayangan di negara mereka.
Padahal salah satu penyumbang devisa terbesar mereka ya karena para pelancong seperti gue dan Otta. Eh, masih bisa-bisanya mereka rasis kayak gitu.
Ah, udahlah, ngapain diambil pusing sih. Kepala gue udah sakit banget nih karena mabok masih aja sibuk mikirin orang.
"Bi ..."
"Hm."
Gue ngerasa Otta ngerangkul bahu gue, sambil kita berdua jalan bareng menuju stasiun kereta bawah tanah. "Kamu bahagia?"
Ngelirik mukanya Otta yang memerah, gue ketawa kecil sambil ngangguk. "Bahagia."
Diem. Enggak ada tanggapan dari dia. Gue yakin otaknya mulai enggak Syncron antara ucapan dan isi pikiran.
"Ta ..."
"Dingin ..." ucapnya lemah. Seakan sedang mengalihkan sesuatu dari pikiran dia. Gue jujur aja dalam kondisi setengah teler begini, gue enggak mau mikir terlalu berat. Karena untuk seimbangin tubuh aja udah berat, apalagi harus seimbangin hati dan pikiran?
Otta mempererat rangkulannya, seolah takut gue bakal jatuh kalau enggak dipegangin. Gue cuma bisa senyum tipis, nahan geli karena tingkahnya yang makin enggak jelas. Stasiun tinggal beberapa langkah lagi, tapi gue ngerasa setiap detiknya jadi lebih lambat.
Bahkan langkah kita makin ngawur. Ada momen ketika gue tersandung batu kecil dan hampir jatuh, tapi Otta dengan refleks "superhero mabok" berhasil nangkep gue. Sayangnya, alih-alih kelihatan keren, kita malah jatuh berdua ke tiang lampu.
"Aduh! Tiang lampu ini keras banget, ya!" seru Otta sambil ngelus jidatnya. Gue ikut ngelus tiang lampunya, kayak minta maaf. "Sorry, tiang. Gue enggak sengaja."
Di tengah jalan, kita sempat berhenti di depan warung tteokbokki pinggir jalan. "Otta, aku laper banget, tapi enggak punya duit!" keluh gue yang kayaknya benar-benar enggak sadar dari tadi udah makan tteokbokki sampai 2 porsi.
Otta, yang lebih mabok daripada gue, tiba-tiba buka dompet dan ngeluarin tiket kereta yang dia kira uang. "Bang, ini cukup buat seporsi, kan?" tanyanya polos. PAKAI BAHASA INDONESIA PULA. Ngakak sih, tapi gue juga enggak bisa apa-apa, terlebih kami sama-sama mabok. Jadi, sedikit menggila bareng enggak papa, kan?
Karena keliatan bingung mau kasih respon apa, penjualnya cuma geleng-geleng kepala, dan kita pun pergi sambil ngakak tanpa beli apa-apa.
Pas sampe stasiun, perjuangan lain dimulai. Gue dan Otta bingung baca peta subway yang kelihatan seperti labirin alien. "Aku yakin kita harus ke sini," kata gue, nunjuk arah sembarangan. Tapi Otta malah ngotot, "Enggak, kita harus ke kanan, karena kanan itu... kanan."
Ah? Maksudnya?
Karena enggak tahu apa yang Otta maksud, gue ngikut ketawa aja bareng dia. Sumpah rusuh banget kita kalau mabok gini. Tapi seru. Kapan lagi coba, menggila bersama MANTAN di negara orang?
Dan semua moment ini benar-benar gue nikmati. Sampai pada akhirnya kami bisa tiba di apartemen.
Sambil enggak berhenti ketawa, gue bertepuk tangan, karena Otta masih bisa diandalkan. Dia berhasil bawa gue pulang, walau jalannya muter-muter.
Berbaring di atas sofa bed, gue ngeliat Otta dengan mata setengah merem, dan dia nanya dengan polos, "Kamu tahu enggak, kenapa soju enggak ada rasa cokelat? Cokelat itu underrated banget."
Ketawa ngakak, gue pukul-pukul bahu Otta yang ikut berbaring di sebelah gue. "Kamu mabok, Ta."
"Emang." Sambutnya cepat. "Dan kamu juga."
"Ya, aku juga."
Malam itu, gue dan Otta tidur dengan gaya kayak bintang laut, masing-masing ngejaga satu sudut sofa, sambil tetap ketawa enggak jelas meskipun kepala udah berat banget.Bottom of Form
***
Kebangun karena suara dering ponsel, masih setengah terpejam, gue coba cek siapa yang telepon gue pagi-pagi gini. Nama Mila berkedip-kedip di layar, bikin kepala gue yang masih berat jadi makin berdenyut. Dengan suara serak dan sisa soju semalam yang masih ngambang di kepala, gue angkat teleponnya.
"Halo..." suara gue lebih mirip grogokan sapi ketimbang manusia.
"NABI SIALAN, KE MANA AJA LO?" Mila langsung ngomel tanpa aba-aba. "Dari semalam gue WA, lo enggak bales. Masih hidup kan lo di sana?"
"Sialan lo, Mil."
"Ya habisnya, benar-benar ilang tanpa kabar. Jadi gimana? Gimana perjalanan lo sama Otta sehari kemarin? Duh ... penasaran banget gue."
Gue mengerjap, coba ngerangkai memori semalam. Kepala gue berasa penuh kapas, tapi senyuman gue refleks muncul. "Hm, seru banget, sumpah.." Gue berhenti, bingung mau mulai cerita dari mana.
"Detailnya dong!" tuntut Mila enggak sabar.
"Err... jadi gini...."
Lama gue tenggelam dalam posisi tidur gue.
"NABI!! Anjir lah, digantung gini gue."
"Hahaha, gimana? Gimana?"
"Lo yang gimana? Cerita buruan!"
"Hm, seru lah."
"Ah, brengsek lo. Eh ... jangan bilang lo lagi ngefly deh. Ngaku lo, NABI! Lo mabok ya?"
"Dikit."
"Dikit? Anjir, minum berapa botol lo?"
"Cuma 3 botol kok. Itu juga minum berdua. Terus ... terus ..." gue ketawa pelan. "Lo tahu apa yang Otta lakuin semalem?"
"Dia cium lo? Atau kalian ngewe?"
"ENGGAK! Mulut lo ya, sembarangan aja!"
"Terus apa dong?" gue dengar banget si Mila cekikikan di sana.
"Otta kan mabok, dia tiba-tiba bilang trotoar Hongdae kayak nge-rap. Dia langsung dance ngawur sambil beatbox. Gue ngakak sampe mau jatoh."
Mila ngakak di ujung telepon. "Seriusan? Terus lo gimana?"
"Eh, gue juga enggak lebih baik," jawab gue sambil ngucek mata. "Gue kesandung batu kecil terus nyungsep ke tiang lampu. Otta nangkep gue, tapi kita malah jatoh bareng ke tiang. Berdua gitu, kayak duet slapstick."
"Ya ampun, malu-maluin banget!" Mila ketawa sampai suaranya naik satu oktaf. "Terus, abis itu?"
"Pas di stasiun," lanjut gue, "kita bingung baca peta subway. Gue bilang kiri, Otta bilang kanan. Akhirnya kita malah naik eskalator ke peron kosong. Di situ, Otta duduk sambil bilang gue kayak soju rasa stroberi—manis, tapi bikin pusing."
Mila ngakak lagi, lebih kencang. "Oh my God, dia mabok banget, ya!"
"Gue juga," kata gue jujur. "Tapi gue enggak nyesel. Serius, Mil. Selama 22 tahun hidup gue, kayaknya baru kali ini gue mabok sampai enggak inget separuh perjalanan pulang, tapi rasanya... bahagia banget."
Mila hening sebentar sebelum nanya, "Lo bahagia karena maboknya, atau karena perjalanannya?"
Gue nyengir, meski Mila enggak bisa lihat. "Dua-duanya. Tapi lebih ke perjalanannya. Gue seneng banget enggak cancel trip ini, Mil. Rasanya kayak—kayak hidup gue enggak cuma soal kerjaan, soal ngatur jadwal, soal rutinitas. Semalam tuh, gue merasa hidup. Serius."
Mila menghela napas panjang. "Akhirnya, ya. Gue selalu bilang, lo tuh butuh keluar dari zona nyaman, nikmatin hidup sedikit. Bukan cuma kerja, trus pulang. Ngerem di kamar kos."
"Iya, iya, lo bener," jawab gue sambil bangkit dari sofa, kepala gue masih pusing. "Tapi sekarang gue kayaknya butuh teh panas atau bubur buat sembuhin kepala gue yang serasa abis ketabrak truk."
Mila ketawa lagi. "Yaudah, sana! Lo istirahat dulu. Nanti kalo udah waras, gue telepon lagi. Gue mau dengar lebih detail cerita gilanya."
Setelah telepon ditutup, gue bersandar lagi di sofa sambil senyum. Ngelihat Otta masih terpejam di samping gue, senyuman di bibir ini makin terbuka lebar. Entah apa pun yang terjadi semalam, satu hal yang pasti, gue enggak akan pernah lupa.
----------------------------------------------------------------
Nabi bisa bahagia juga akhirnya. Karena selama 3 tahun berhubungan sama Otta, mereka tuh kurang waktu buat saling membahagiakan satu sama lain. Fokus mereka cuma kerja, kerja dan kerja aja. Jadinya Nabi merasa kehilangan, dan Otta ... tipikal orang yang enggak banyak ngomong, makin jadi deh GAP komunikasi mereka.
Karena itu, hal UTAMA dari sebuah hubungan, memang KOMUNIKASI, dan waktu luang untuk bisa saling membahagiakan satu sama lain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro