Bab 6
Aku tak minta yang terbaik, hanya saja aku berharap bisa sama-sama baik jika bersama.
BAKEKOK!! Kaki gue lecet. Sumpah, apa karena ini sepatu baru ya, makanya jadi lecet? Tapi yang benar aja dong. Gue udah keluarin uang hampir 1 juta buat beli sepatu ini, biar kaki gue nyaman dan enggak kedinginan selama di Korea, eh ... bangsatnya malah jadi lecet.
"Mau duduk dulu?" tanya Otta kelihatan khawatir.
Gue buru-buru nganggung. Tangan gue masih kenceng banget pegangan sama lengannya Otta. Demi apapun, gue putusin dulu urat malu gue. Sekarang yang terpenting itu kaki gue. PERIH!!
Diajak duduk sebentar di salah satu toko minuman boba, Otta tiba-tiba banget jongkok di depan gue, terus berusaha lepasin ankle boots yang lagi gue pakai.
"Ta ... jang ..."
"Ayo lepasin!" perintahnya sambil tatap muka gue yang rasanya udah mengharu biru. Demi apapun sekarang gue pengen nangis! Bukan, bukan cuma karena kakinya sakit, tapi karena semua perlakuan Otta. Dia benar-benar care sama gue, meski kami udah enggak bersama lagi.
Otta pelan-pelan melepaskan ankle boots gue, dan gue bisa lihat raut wajahnya berubah begitu lihat bagian belakang kaki gue yang merah dan mulai lecet. "Kenapa enggak bilang dari tadi kalau udah mulai enggak nyaman?" tegurnya lembut, tapi nadanya tetap terdengar khawatir.
Gue cuma bisa nunduk, nyengir kaku. "Aku pikir enggak bakal separah ini, Ta. Eh, ternyata salah."
Dia menghela napas panjang, terus berdiri dan mengambil tasnya. Dari dalam tas, dia keluarin sebuah pouch kecil yang gue kenal banget—plester luka.
"Kamu ... bawa ini?!" tanya gue, setengah kagum, setengah bingung.
"Selalu. Aku tahu kamu ceroboh," jawabnya santai sambil jongkok lagi, mulai membersihkan area lecet di kaki gue dengan tisu basah yang dia juga bawa dari tasnya.
Jujur, gue bingung harus merasa gimana. Antara malu karena dilayani begini di depan umum, atau terharu karena Otta yang enggak ragu buat ngerawat gue seperti ini. "Ta, aku bisa sendiri kok," protes gue lemah.
"Diam," jawabnya singkat, tapi suaranya enggak kasar. Gue pun memutuskan untuk diam beneran.
Saat dia nempelkan plester di luka gue, gue fokus tatap ekspresi Otta. Serius banget, penuh perhatian, seolah gue ini orang paling penting di dunia. Padahal gue bukan siapa-siapa dia lagi. Kok ya dia masih gini banget?
"Udah. Jangan pakai sepatu itu lagi."
"Trus?"
Otta berdiri, putar arah pandangannya ke sekitar. Ekspresinya berbinar saat melihat toko sepatu yang jaraknya enggak jauh dari tempat kami.
"Bisa jalan ke sana?" tunjuk Otta.
Gue mengikuti arah yang dia tunjuk. Dengan ekspresi bingung, gue mulai menyuarakan apa yang ada dalam pikiran gue. "Beli sepatu lagi?" respon gue enggak santai. Masalahnya gue enggak siapin budget buat beli sepatu LAGI! Apalagi belinya di Korea, yang harganya pasti lebih mahal.
"Trus kamu mau pakai sepatu yang ini?"
"Ini kan baru, Ta."
"Tahu. Tapi kan yang baru buat kamu enggak nyaman?" tatapnya penuh pengharapan.
Gue enggak bisa jawab. Tatapan Otta yang penuh perhatian itu bikin gue serba salah. Dia bener sih, sepatu ini emang enggak nyaman. Tapi gue juga enggak mau nambah pengeluaran cuma buat beli sepatu lagi.
"Yaudah, jalan pelan-pelan aja ke sana," katanya akhirnya, seperti enggak mau memperpanjang debat. Dia langsung meraih tangan gue, membimbing gue menuju toko sepatu yang tadi dia tunjuk.
"Ta, aku bisa sendiri kok," protes gue pelan. Tapi tangannya tetap enggak lepas dari gue.
"Aku tahu kamu bisa sendiri, tapi aku enggak mau lihat kamu kesakitan."
Kalimatnya bikin gue diem lagi. Sumpah, kadang gue benci caranya ngomong yang selalu bikin gue enggak bisa bales apa-apa.
Sampai di toko sepatu, Otta langsung narik gue masuk dan nyari rak yang isinya sepatu-sepatu flat. Dan pastinya jauh lebih nyaman. "Ini pasti lebih nyaman buat jalan-jalan," katanya sambil nunjuk salah satu model sepatu yang kelihatan simpel tapi elegan.
"Tapi, Ta—"
"Tapi apa? Ini baru hari pertama, Bi. Kamu mau kesakitan selama 14 hari kedepan?" Ekspresi Otta mulai kelihatan kesal. Mungkin dia sebal juga lihat gue enggak bisa diatur.
"Ya ... enggak sih."
"Yaudah, beli sepatu yang nyaman."
Gue diem, coba nurut apa yang dia bilang. Tapi pas lihat harga yang tertera di sepatu itu, napas gue rasanya benar-benar kecekek. Buset, semahal ini untuk harga sepatu? Emang sih di Indonesia juga banyak yang harganya serupa, apalagi yang tokonya di dalam Mall. Cuma kan masalahnya ini lagi di Korea, dimana budget gue tertuju khusus untuk kulineran doang. Bukan untuk belanja barang.
"Gimana?" tegur Otta setelah minta gue salah satu sepatu yang dia pilih.
"Lumayan."
"Ini aja?"
"Ah?"
"Aku yang beliin," jawabnya cepat.
Enggak bisa berkata-kata, respon gue langsung narik matelnya kuat-kuat. Dengan adegan saling tatap, jelas gue enggak mau terima barang apapun dari dia terlebih status kami bukan pasangan lagi.
"Kenapa?"
"Enggak. Enggak usah, Ta."
"Enggak mau terima barang dari MANTAN?"
Gue diem, lidah gue kelu. Kenapa dia harus ngebahas status "mantan" disaat kaya gini? Bukannya bikin situasi santai, malah bikin ribet.
"Iya, enggak enak aja," gue akhirnya jawab pelan, sambil terus narik mantel Otta biar dia tahu gue serius nolak.
Dia mendengus pelan, kemudian senyum kecil yang jelas-jelas penuh makna. "Bi, semua orang punya masa lalu, tapi soal kebaikan enggak ada masa lalu, dan enggak ada masa depan. Karena kebaikan dilakukan kapan saja, di mana saja, dan untuk siapa saja."
Kata-katanya langsung bikin gue berhenti narik mantel dia. Gue enggak tahu kenapa, tapi setiap Otta ngomong gitu, ada sesuatu yang bikin gue enggak bisa nolak. Rasanya kaya gue lagi diajarin pelajaran hidup secara cuma-cuma, padahal gue enggak minta.
"Ta, aku serius enggak enak," gue coba bilang lagi, meskipun suara gue enggak sekencang tadi.
Dia mendesah pelan, ngelihatin gue dengan tatapan yang bikin dada gue sedikit sesak. "Bi, kamu harus belajar terima sesuatu tanpa rasa bersalah. Kalau aku bisa bikin kamu lebih nyaman, kenapa kamu harus nolak?"
Gue diem lagi. Rasanya gue enggak punya jawaban buat itu. Dan, seperti biasa, Otta selalu menang.
"Udah, enggak usah mikir macam-macam. aku cuma pengen kamu enggak kesakitan, itu aja."
Dia langsung jalan ke kasir, bawa sepatu yang tadi gue coba, dan bayar tanpa nunggu jawaban lebih lanjut dari gue. Gue cuma bisa ngikutin dia, nunduk kaya anak kecil yang habis dimarahin.
Pas dia keluar dari toko, dia langsung kasih kantong belanjaan itu ke gue. "Nih, dipakai baik-baik. Jangan keras kepala."
"Ta, aku ganti uangnya, ya," gue bilang sambil nerima kantong itu.
Dia lagi dan lagi cuma menggeleng. Mungkin capek juga dia berdebat sama cewek modelan kayak gue ini.
Kami lanjut jalan, gue masih ngikutin langkah Otta yang udah mulai lebih cepat. Sambil ngelihat pemandangan sekitar, gue jadi ngerasa kalau hari ini nggak terlalu buruk. Paling enggak, meskipun banyak kenangan yang gue coba lupakan, Otta selalu tahu cara buat ngingetin gue, kalau kadang, kebaikan itu bisa datang kapan aja, tanpa perlu alasan.
Bertahun-tahun setelah semua yang terjadi, mungkin gue baru mulai nyadar kalau kebaikan dia tuh enggak ada batasnya, dan itu yang bikin gue merasa ragu, sekaligus enggak bisa lepas dari dia.
----------------------------------------------------------------------
Aku sih kalau jadi Nabi, langsung ngajakin Otta balikan. Wkakakaka... Bodo amat mau dibilang murahan juga, yang penting dapat perhatian banyaakkk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro