Bab 40
Sorry ya gaes baru update lagi,
kita sibuk healing, membahagiakan diri kemarin ini. Wkakakak... Jadi baru bisa update lagi.
Hayo, siapa yang nungguin last part?
Atau ada yang enggak sabar sama series selanjutnya?
Hm... tenang aja, masih Nabi dan Otta kok pemainnya, cuma dengan masalah yang lain. Bukan lagi kejebak liburan bareng mantan.
Selamat baca ya gaes.
Jangan lupa mampir karyakarsa. Baca POV Otta
--------------------------------------------------------------------------
Kenangan indah tetap tersimpan di hati, sekalipun terkadang lupa pernah dilalui.
Yogya, gue kembali!
Anggap aja gue anak yang enggak tahu diri, tapi serius, jarak Jakarta Yogya kayaknya enggak jauh-jauh banget. Pakai kereta yang paling murah pun bisa dicapai dalam setengah hari saja, tapi kenapa? Kenapa gue jarang banget balik. Ada aja alasan yang gue bikin dari dulu. Tepatnya dari zaman gue kuliah.
Dulu, pas masih kuliah, keseringan nyokap sama bokap plus adik cowok gue yang datang ke Jakarta. Kalau gue liburan kuliah, dan untungnya mereka habis panen, mereka bertiga pasti kunjungi gue ke Jakarta. Bawa banyak makanan untuk subsidi perbekalan gue selama seminggu kedepan.
Sekarang, sewaktu gue udah kerja dalam beberapa bulan kemarin ini, emang udah harusnya gue yang datang ke Yogya buat temui mereka. Tapi sayangnya kalau enggak didesak kayak sekarang ini gue mana kepikiran buat pulang. Emang anak kurang ajar.
Karena enggak bawa banyak barang, cuma pakai tas ransel aja, turun dari pesawat gue bisa langsung keluar. Nunggu grab sebentar buat anterin gue balik ke rumah. Kebetulan dari bandara ke rumah gue enggak begitu jauh, sekitar 30-40 menitan aja, alhasil gue baru aja duduk di grab, belum sempat WA Otta, gue udah sampai di jalanan besar dekat rumah gue.
Melangkah melewati gang-gang kecil, gue ngerasain aroma khas kampung yang udah lama enggak gue hirup. Campuran bau tanah lembap, asap kayu bakar dari dapur orang, sama wangi bunga kamboja yang tumbuh di depan rumah-rumah warga. Udara malam lebih sejuk dibanding Jakarta, anginnya lembut, bikin gue sadar betapa gue kangen suasana ini tanpa pernah benar-benar ngakuin.
Langkah gue makin pelan pas masuk gang sempit yang dulu jadi jalur sehari-hari gue. Jalanan masih sama, paving bloknya agak longgar di beberapa titik, bikin suara gesekan kecil tiap gue injek. Beberapa rumah udah gelap, penghuninya pasti udah tidur, tapi ada juga yang masih terang, suara TV samar-samar terdengar dari dalam.
Di ujung gang, warung Pak Bejo masih buka. Beliau lagi duduk santai di bangku kayu, ngerokok sambil ngobrol sama pelanggan. Pas lihat gue lewat, yang masih senyum, dia langsung bersuara, panggil nama gue tanpa dia lupa. "Eh, Nabi! Wis bali, to?" Gue cuma nyengir, angkat tangan sedikit buat nyapa sebelum lanjut jalan.
Sampai di depan rumah, gue berdiri sebentar. Pagar kayunya masih sama, dicat putih tapi udah mulai mengelupas di beberapa bagian. Dari dalam, terdengar suara nyokap, samar-samar manggil adik gue. Gue tarik napas, berhenti tepat di depan pintu, ragu-ragu buat mengetuk. Enggak lama, pintu terbuka sebelum gue sempat ngeluarin suara. Berdiri di hadapan gue, adik gue, Sulton, yang sekarang udah lebih tinggi dari terakhir kali gue lihat dia. Rambutnya berantakan, pakai kaos oblong sama celana pendek. Matanya menatap gue dengan ekspresi yang sulit gue baca. Antara kaget, lega, atau mungkin sedikit marah.
"Pulang juga akhirnya kamu, Mbak!" ucapnya terdengar kesal, tapi enggak lupa buat salim ke tangan gue.
"Hahaha, begitulah. Ibu sama bapak mana?"
Sulton, si bocah berumur 14 tahun ini bisa-bisanya mendengkus kesal. Seolah dia lagi emosi banget lihat gue yang baru dateng ini.
"Bapak di belakang, lagi lihat ayam-ayamnya. Ibu di dapur," jawabnya cepat.
Gue mengangguk pelan, tapi belum melangkah masuk. Rasanya aneh. Rumah ini, yang dulu gue tinggali belasan tahun, sekarang terasa sedikit asing.
"Masuk enggak?" Sulton bertanya, nada suaranya datar tapi ada ketidaksabaran di matanya.
Gue menarik napas dalam, lalu akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah. Bau khas rumah ini masih sama—campuran kayu tua, bumbu dapur, dan sedikit aroma tanah basah dari halaman belakang. Ada suara ayam berkokok samar-samar dari arah dapur, mungkin bapak lagi ngasih makan mereka.
Gue berjalan ke ruang tengah, meletakkan tas ransel di atas kursi kayu yang sudah mulai usang. Sulton masih berdiri di ambang pintu, menatap gue dengan tatapan yang sulit gue artikan.
"Kamu kenapa sih?" tanya gue akhirnya.
Sulton menghela napas panjang sebelum menjawab. "Mbak tahu enggak, Ibu sering banget nyebut nama mbak. Setiap kali ada orang tanya kapan mbak pulang, dia cuma senyum dan bilang 'Mungkin besok' atau 'Kalau dia sempat'. Makanya kemarin ibu tuh desek banget, pengen mbak pulang. Terlebih ...."
"Terlebih apa?" tanya gue penasaran.
"Akh, biar ibu aja deh yang ngomong!"
Gue terdiam. Yakin banget gue kalau ada sesuatu sekarang ini.
Bukan. Bukan cuma perkara gue jarang pulang. Bukan juga cuma ada keluarga yang mau nikahan, dan diminta rembukan buat bantu pernikahannya itu. Tapi ada hal besar lainnya yang ibu pengen bilang ke gue pastinya, tapi dia enggak berani bilang melalui telepon.
"Kok ibu?"
"Iya, kalau mbak penasaran, mbak tanya sendiri aja ke ibu!"
Belum sempat gue jawab, suara langkah cepat terdengar dari dapur. Gue menoleh dan melihat ibu berdiri di ambang pintu, mata berkaca-kaca.
"Nabi..." suaranya pelan, penuh perasaan.
Dan saat itu juga, gue sadar—seberapapun jauh gue pergi, ini tetap rumah gue.
***
Bukan sok kaya atau sok jadi orang kota, cuma masalahnya udah sekitar 4 tahun gue enggak ngelakuin ini. Gue enggak pernah lagi ke sawah. Terlebih pastinya jalanan sekarang udah banyak berubah, nanti kalau gue nyasar gimana?
Tapi masalahnya ibu yakin banget minta gue buat anterin makanan ke bapak, alhasil gue coba paksain jalan ke sawah, ikutin petunjuk ibu sambil inget-inget memori lama gue.
Bawa rantang makanan buat makan siang, udara siang ini benar-benar enggak sepanas Jakarta yang bisa bakar kulit kapan aja.
Angin sepoi-sepoi berembus dari arah perbukitan, bawa bau tanah basah dan suara jangkrik samar-samar dari kejauhan. Gue melangkah hati-hati di pematang sawah, ngerasain tanah yang agak lunak di bawah sandal gue. Beberapa kali hampir kepeleset, bikin gue harus ngerapetin genggaman di pegangan rantang biar enggak tumpah.
Mata-mata orang kampung langsung tertuju ke gue. Ibu-ibu yang lagi duduk di bawah pohon waru di pinggir sawah mulai berbisik-bisik, seolah enggak percaya gue ini Nabi, anak yang dulu sering main lumpur di sini.
"Eh, ini beneran Nabi, to?" salah satu ibu bertanya, suaranya setengah enggak yakin.
"Ya Allah, gede banget sekarang!" yang lain menimpali.
Gede? Perasaan badan gue segini-gini aja, enggak nambah tinggi atau nambah gemuk. Terlalu hiperbola ibu-ibu itu.
Karena gue enggak tahu harus ngapain, akhirnya gue cuma bisa nyengir kaku, angguk sedikit buat nyapa. Rasanya kayak seleb dadakan, tapi bukan karena prestasi, lebih ke karena gue anak yang jarang pulang.
Di kejauhan, gue lihat bapak lagi jongkok di pinggir sawah, merhatiin air yang ngalir ke irigasi kecil. Gue mempercepat langkah, nyamperin beliau.
"Pak, makan dulu," kata gue sambil nyodorin rantang.
Bapak menoleh. Kegiatannya yang lagi di dalam sawah langsung berhenti. Dia merapat, mendekati gue yang nungguin dia di pinggiran.
Setelah cuci tangan ala kadarnya, bapak ngajak gue duduk di bawah pohon randu yang rindang, tepat di tepi pematang. Gue ikut duduk, ngerasain tanah agak lembap menyentuh telapak tangan pas gue tumpuan. Bapak buka rantang pelan, matanya menatap isinya sejenak sebelum mengangguk pelan.
"Terima kasih, Nak," katanya, suaranya dalam dan berat seperti biasa.
Gue cuma bisa senyum kecil. "Ibu yang masak, Pak. Mbak cuma bagian nganter."
Bapak mengangguk lagi, lalu mulai makan dengan tenang. Gue memperhatikan beliau dalam diam—kerutan di dahi bapak makin banyak, rambutnya lebih banyak yang memutih. Gue telat sadar kalau waktu berjalan begitu cepat. Empat tahun enggak pulang, dan rasanya bapak berubah banyak. Biasanya kalau ketemu pun gue enggak pernah lihat bapak dalam mode lagi di sawah begini. Biasanya dia selalu rapi kalau ada waktu dan uang buat susulin gue ke Jakarta. Tapi siang ini gue lihat bapak dengan tampilan apa adanya. Tampilan beliau sehari-harinya yang bikin hati gue ngejerit. Jerit buat kerja lebih keras lagi biar bapak enggak kerja capek-capek begini.
Suara angin yang lewat bikin dedaunan bergemerisik pelan, membuat lamunan gue terhenti. Gue memperhatikan bapak yang makan dengan lahap, sementara hati gue terasa sedikit sesak.
"Pak," panggil gue pelan.
"Hmm?"
"Mbak minta maaf, ya."
Bapak berhenti sejenak, lalu menatap gue dengan mata yang hangat tapi tajam. "Enggak usah minta maaf, Nak. Pulang aja udah cukup."
Dan saat itu juga, gue sadar—gue harus pulang lebih sering.
"Iya, Pak. Nabi usahain."
Dia senyum, tangannya dengan cepat menyuapkan makanan ke dalam mulut. "Di Jakarta gimana? Kerjaanmu, tempat tinggalmu, semua aman, kan?"
"Hm. Aman, Pak."
"Syukurlah."
***
Here we go! Ini yang menjadi moment penting kenapa gue didesek banget buat pulang kampung dari seminggu lalu. Sengaja kumpul semua di ruang keluarga ini, ditemani teh hangat dan rebusan ubi, ibu mulai buka suara. Jelas dia kasih info ke gue mengenai ada keluarga yang mau nikah, dan butuh rembukan apa yang mau keluarga gue bantu buat pernikahannya itu. Gue sadar banget ibu pasti enggak mau kejadian menyedihkan itu terulang lagi. Makanya dia paksa banget gue pulang. Tapi di samping itu nyatanya ada hal lain yang mau dia omongin.
Wajahnya jelas enggak tenang, ibu berulang kali ngelirik bapak, sebelum ngomong ke gue.
"Mbak, ibu mau tanya, mbak udah punya pacar belum di Jakarta?"
Gue tarik napas pelan, nahan senyum kecut. Pertanyaan klasik yang udah gue duga bakal keluar dari mulut ibu, tapi tetap aja bikin gue mati gaya.
"Kenapa, Bu?" Gue balik tanya, berusaha mengulur waktu.
Ibu menatap gue lekat, sementara bapak malah pura-pura fokus ke ubi rebus di tangannya. Gawat. Kalau bapak udah memilih diem, berarti ini serius.
"Soalnya... ada yang mau dikenalin ke mbak. Ibu sama bapak kenal orangnya. Dia baik. Orang berpendidikan juga," lanjut ibu, nada suaranya ragu-ragu.
Gue hampir keselek teh hangat. Mata gue otomatis nyariin adik gue, berharap dia bakal menyelamatkan gue dari situasi ini, tapi yang ada malah senyum ngeledek dari dia.
"Ibu kira mbak belum punya siapa-siapa," lanjut ibu lagi, kali ini lebih hati-hati. Mungkin dia coba nebak dari ekspresi gue sekarang ini.
Gue ngusap leher, berusaha mikir jawaban yang aman. Kalau gue bilang enggak punya pacar, ibu bakal makin semangat ngenalin gue ke tuh orang. Tapi kalau gue bilang punya, pasti lanjut ditanya siapa dan kapan dibawa ke rumah.
Dan masalahnya... Otta di Jakarta jelas lebih dari sekadar mantan, tapi juga bukan pacar.
Gue akhirnya cuma bisa ketawa kecil. "Ibu serius?"
Ibu angguk mantap. "Iya. Gimana, mbak?"
"Emang menurut ibu, dia cocok buat mbak?"
Ibu mengangguk cepat, jelas antusias. "Iya, cocok. Anaknya sopan, pekerja keras, enggak neko-neko. Keluarganya juga baik. Makanya ibu sama bapak setuju banget buat dikenali sama kamu."
Gue menghela napas pelan. Klasik. Setiap kali ibu ngenalin seseorang, pasti deskripsinya selalu template begitu.
Bapak akhirnya buka suara, suaranya berat dan tenang, "Kita cuma mau yang terbaik buat kamu, Mbak. Lagipula, kamu udah cukup umur buat mikirin masa depan. Bapak sama ibu udah usahain Pendidikan yang terbaik buat kamu. Kamu sekarang pun udah kerja, sudah memiliki penghasilan. Setidaknya kalau kamu nantinya menikah, suamimu tidak diberatkan dalam perihal uang jajan kamu sehari-hari."
Gue nyengir pedih. "Jadi ini maksud ibu maksa banget nyuruh aku pulang?"
Ibu tersenyum penuh harap. "Sebenarnya banyak alasan ibu buat minta kamu pulang. Karena kamu udah lama enggak pulang, terus ada juga keluarga yang mau menikah, di samping itu kalau sekalian bisa kenalin kamu ke dia, kenapa enggak?"
Gue lirikin adik gue yang masih ngeledek dari tadi. "Kamu tahu soal ini?"
Dia angkat bahu santai. "Tahu dong. Malah aku udah stalking IG-nya."
Gue melotot. "Astaga. Kalian niat banget, ya?"
Ibu tertawa kecil. "Mbak, setidaknya coba kenalan dulu. Enggak ada ruginya."
Gue mendesah. Dalam kepala gue, nama Otta kembali muncul, membawa sejuta tanda tanya yang bahkan gue sendiri belum bisa jawab. Bisa enggak sih gue pakai nama Otta buat menghentikan perjodohan ini? Tapi masalahnya ... dia cuma sekedar MANTAN yang pernah liburan bareng.
"Gimana, Mbak?"
"Mbak balik ke Jakarta besok malam, jadi kalau memang ada waktu dia buat kenalan, silakan aja. Tapi untuk kelanjutannya mbak masih belum bisa pikirin, karena ...."
Hoeeks ... anjir kenapa bau kentut banget ini. Sumpahhh ... mual.
"Mbak ... kenapa?" teriak ibu karena gue buru-buru lari ke kamar mandi di belakang. Sumpah emang enggak boleh makan rebusan ubi malem-malem. Bau kentutnya busuk bangeettt!!!
"MUAL BU! BAU KENTUT BUSUK!"
------------------------------------------------------------
FIN ....
Ini selesai ya gaes, kenapa kayak ending gantung?
Karena mau ada seriesnya. Dan nanti di pov Otta, ada lanjutannya kok. Semua dari sudut pandang Otta mengenai kondisi Nabi saat ini.
Ayo, yang enggak sabar sama seriesnya dikomen yang banyak... Biar makin cepat aku postingnya.
Minimal 100 komen lah, baru aku posting. Kalo enggak ya ditunggu aja...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro