Bab 20
Sakitku sembuh bukan karena obat, tapi karena perhatian darimu.
"Pagi..." Otta nyapa gue dengan santai waktu gue baru bangun tidur dan keluar dari kamar. Dia duduk di sofa ruang tamu dengan posisi setengah bersandar, kaos oblong putihnya kelihatan kusut, tapi mukanya tetap segar kayak baru bangun sejam yang lalu. Gue enggak tahu dia bangun jam berapa tadi, yang jelas gue kesiangan banget pagi ini. Udah hampir setengah 12 siang, gue baru bangun. Serius. Tidur semalem rasanya nyaman dan enak banget. Bahkan demam sama sakit perut gue karena menstruasi aja sampai enggak kerasa.
Gue masih berdiri di ambang pintu, kikuk. Pandangan Otta langsung tertuju ke gue, lengkap dengan senyum tipis di bibirnya. Bukan tipe senyum yang bikin takut atau geli, tapi senyum yang bikin gue salah tingkah. Ingatan soal semalam terlintas lagi. Pelukan hangat dia waktu gue kedinginan karena demam, suaranya yang pelan bilang semuanya bakal baik-baik aja, semua itu bikin gue enggak tahu harus ngadepin dia pagi ini gimana.
"Makan dulu, yuk. Tadi aku pesan bubur buat kamu. Masih anget," kata Otta, dia bangkit dari sofa dan jalan ke meja makan. Tanpa nunggu jawaban gue, dia buka kantong plastik berisi bubur dan mangkok-mangkok plastik kecil buat topping-nya. Semua kelihatan teratur. Gue heran aja, ini cowok enggak punya urusan lain apa selain jagain gue?
"Kamu pesan di mana?"
"Coba cari-cari di internet, terus aku pesan lewat telepon," ucap Otta menatap telepon yang tersedia di apartemen ini.
"Owh, tapi aku enggak lapar," gue jawab pendek sambil jalan ke dapur buat ambil segelas air putih. Sebisa mungkin gue enggak natap dia karena, yah, rasanya gue malu sendiri.
Tapi dasar Otta, dia enggak pernah bisa nerima penolakan gitu aja. Dia malah nyamperin gue sambil bawa mangkok bubur yang udah dituang lengkap dengan topping-nya. Dia nyodorin mangkok itu ke depan gue sambil nyengir.
"Cobain dulu dikit, kan kamu enggak tahu rasanya bubur Korea kayak apa. Lagian ... kalau kamu makin sakit, kita enggak bisa jalan-jalan lagi dong," katanya sambil nunjuk kursi di meja makan dengan dagunya.
Gue narik napas panjang dan akhirnya nurut. Duduk di kursi, ngambil sendok, dan mulai makan bubur itu pelan-pelan. Ternyata emang enak. Apalagi kondisi gue yang masih kurang fit, makan bubur hangat begini, dan rasanya yang nikmat, gurih-gurih gitu bikin nagih luar biasa.
Otta duduk di seberang gue, matanya terus memperhatikan gue makan. Bukannya gue enggak nyaman, tapi tatapan dia bikin gue bingung harus ngapain. Mau bilang 'makasih' rasanya basi, tapi kalau gue diem aja, kesannya gue enggak tahu terima kasih.
"Enak?"
"Lumayan."
"Habisin deh kalau suka."
Gue ngelirik Otta, yang masih senyum-senyum walau gue enggak lagi ngelawak.
"Kenapa sih?"
"Apa?"
"Kamu ... kenapa senyam senyum."
"Owh, enggak papa. Cuma inget kejadian semalam."
"TA!!!"
"Apa?"
"Jangan mulai-mulai deh, ngeselin kamu kalau begini." gue taruh sendok ke mangkok sambil melipat tangan di dada. Mata gue mencoba buat menantang tatapannya, tapi, yah... Otta dan senyumnya itu selalu berhasil bikin gue kikuk.
Otta masih ketawa kecil, jelas banget dia sengaja bikin gue salah tingkah.
"Apa? Aku kan cuma ngomong, enggak ada yang salah, kan?" Dia menopang dagu dengan satu tangan, posisi duduknya santai banget, kayak enggak ada beban.
"Kejadian semalem itu enggak perlu dibahas lagi," gue jawab sambil melarikan pandangan ke arah jendela, ngeliatin pemandangan kota yang seharusnya menarik, tapi sekarang malah jadi pelarian.
"Kenapa? Kamu enggak nyaman?" Suaranya lebih pelan sekarang, tapi entah kenapa justru itu yang bikin hati gue enggak tenang.
Gue diem sebentar, mikirin apa yang harus gue jawab. Jujur, nyaman itu kata yang terlalu sederhana buat ngejelasin gimana perasaan gue semalem. Pelukan dia bikin gue tenang, bikin gue lupa sama sakit perut gue, bahkan sama pikiran-pikiran negatif yang selama ini enggak pernah absen di kepala gue. Tapi, kalau gue bilang itu, semuanya bisa jadi rumit.
"Bukan gitu. Aku cuma enggak mau kamu salah paham, Ta," gue akhirnya bicara, lebih ke arah mencoba ngejelasin ke diri sendiri daripada ke dia. "Kita kan udah jelas, ini semua cuma sementara. Dan kamu pun tahu liburan ini direncanakan pas kita masih punya hubungan yang jelas. Tapi kan masalahnya sekarang ... hubungan kita udah berbeda."
Otta diem. Senyumnya memudar, tapi matanya tetap nahan pandangan gue. "Cuma sementara? Itu kata kamu, bukan kata aku. Tapi yang jelas tubuh kita sama-sama menikmati."
Gue kaget, tapi enggak tahu harus bales apa. Dia bangkit dari kursinya, jalan ke arah jendela, nyender di samping kaca besar yang memantulkan bayangan dirinya.
"Bi ... perpisahan yang kamu minta itu jelas bikin aku sadar. Tapi kan masalahnya enggak mungkin juga aku dalam sekejab memperbaiki semuanya. Aku masih kesulitan jadi pria yang bisa buat kamu bahagia. Lalu, ketika kita liburan bareng kayak gini, dan aku punya banyak waktu buat kamu, jelas aku enggak akan sia-siain. Aku akan coba memperbaiki semua kesalahanku. Meski hubungan kita memang udah enggak sama kayak dulu lagi. Setidaknya aku bisa mengurangi rasa bersalah karena udah bikin kamu kecewa."
Gue diem. Kata-kata Otta barusan terasa berat, enggak cuma di telinga, tapi juga di hati gue. Gue tahu Otta serius, kali ini enggak ada nada bercanda di suaranya. Tapi justru itu yang bikin gue makin enggak nyaman. Karena di balik semua keseriusannya, ada satu hal yang terus gue coba lupain—perasaan gue ke dia yang enggak pernah sepenuhnya hilang.
"Ta..." Gue akhirnya buka suara, tapi langsung berhenti lagi. Mulut gue seperti kehilangan kekuatan buat ngomong. Gue enggak tahu harus mulai dari mana, atau apa yang tepat buat diucapin.
Otta menatap gue dari posisinya di samping jendela. Mata cokelatnya yang biasanya terlihat santai, sekarang penuh perhatian.
"Bi ... please, jangan karena kalimatku ini kamu jadi ngerasa enggak nyaman, ya. Aku mau ...."
"Aku mau tanya, Ta!" kalimat Otta gue potong tanpa ragu, tepat ketika nama Nita muncul di kepala gue. Gue narik napas, memastikan suara gue terdengar stabil sebelum melanjutkan.
"Nita pernah tahu enggak tentang kita? Tentang aku?" Gue tanya sambil menatap Otta tajam.
Tatapan dia yang tadi santai langsung berubah. Mata cokelatnya sedikit membelalak, dan rahangnya mengeras sejenak. Dia enggak langsung jawab. Bahkan, dia terlihat seperti enggak siap sama pertanyaan itu.
"Ini ... kamu nebak lagi, atau ...."
"Ta, aku serius. Jangan ulang kebodohan jawabanku semalam. Aku cuma mau dengar faktanya, Nita ... tahu enggak kalau kamu liburan sama MANTAN?"
Dia diem. Enggak lama kepalanya mengangguk. "Iya, dia tahu. Karena dia tahu semua tentang aku."
Eh ... KOK SAKIT YA? Kenapa fakta jadi sesakit ini rasanya?
-----------------------------------------------------
Kira-kira kalau jadi nabi, kalian nangis enggak?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro