Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18

Gimana menurut kalian? Nyebelin gak Nabi sama Otta?


--------------------------------------------------------


Padahal aku berharap semua ini hanya mimpi, nyatanya fakta yang bikin sakit hati ini.

"Nanti aku bilang mama. Setelah pulang dari Korea."

"Hm."

"Nanti aku jemput kalau memang semua udah oke."

"Iya, kamu siap-siap aja."

"Hm."

"Aku juga enggak mau maksa dan memperkeruh semuanya."

"Iya. Kamu benar."

"Oke. Nanti aku hubungi lagi. Good night."

Samar-samar percakapan Otta sama seseorang melalui ponselnya bikin mata gue terbuka lebar. Gue pikir setelah keluar dari kamar tadi, enggak lama Otta ikut tidur bareng gue kayak biasa. Ternyata sampai jam 1 pagi, ah ... ini udah tengah malem, dia masih begadang di ruang tengah. Bahkan suara dia lagi nelepon seseorang masih terdengar jelas.

Sebenarnya gue pengen enggak mau peduli siapa pun yang dia hubungi. Tapi ingat nama Nita yang kirim pesan ke Otta bikin kepala gue kerasa mau pecah. Apa jangan-jangan dia lagi teleponan sama Nita diluar sana? Sedangkan gue lagi terkapar sakit di dalam kamar.

Perlahan bangun, gue berusaha nguping apa yang Otta omongin. Tapi kenyataannya pas gue udah bangun, Otta malah berhenti teleponan. Akh, elah. Sadar kayaknya dia kalau gue nguping?

Melangkah keluar kamar pelan-pelan, dan langsung menuju toilet, ternyata Otta sadar gue udah bangun. Dengan pergerakan cepat, yang enggak gue prediksi, dia udah berdiri di sebelah gue, pegang lengan gue, sambil dia tuntun ke arah toilet.

"Kenapa enggak bilang?"

"Apa?"

"Kenapa enggak bilang mau ke toilet?"

Gue tatap mukanya jutek. Sumpah, gue masih emosi soal nama Nita, eh ... bisa-bisanya Otta sok baik kayak gini.

"Ta, aku cuma demam bukan LUMPUH!"

Otta enggak langsung jawab. Tatapan matanya tetap tenang, tapi ada sedikit kerutan di dahinya. Dia tetap pegang lengan gue sampai gue bener-bener masuk ke dalam toilet. Sial. Kenapa dia harus sepeduli ini? Kenapa harus bikin gue tambah kesel sama diri sendiri?

Di dalam toilet, gue denger langkahnya masih di luar. Enggak bergerak, enggak menjauh. Jelas dia nungguin. Gue tarik napas panjang, berusaha enggak mikirin hal yang bikin kepala gue tambah panas. Tapi percakapan tadi masih terngiang. "Nanti aku bilang mama. Setelah pulang dari Korea." Siapa yang dia maksud? Apa benar itu Nita? Kalau iya, kenapa gue harus cemburu? Bukannya gue udah tahu dari awal kalau Otta bukan siapa-siapa buat gue?

Keluar dari toilet, gue udah siap dengan sikap paling jutek yang gue punya. Tapi Otta malah nyamperin lagi. Tangannya nyentuh lengan gue, lembut banget, kayak takut gue bakal pecah kalau dia terlalu keras.

"Masih sakit?" tanyanya, nadanya serius.

"Enggak." Gue jawab pendek, lalu ngelepas tangannya. Tapi bukannya pergi, dia malah jalan pelan di samping gue, mengiringi langkah gue ke kamar.

"Perutnya masih kram?" Dia nanya lagi, kali ini lebih pelan, nyaris kayak bisikan. Gue berhenti di depan pintu kamar dan menatap dia.

"Otta, aku baik-baik aja."

"Ya, aku lihat kamu sudah mulai membaik." Dia ngomong tapi kayak sambil nahan senyum. Wah, ngeledek nih cowok!

"Trus? Kalau udah tahu, yaudah. Enggak perlu kayak gini, Ta. Aku enggak mau ganggu waktu kamu."

"Ganggu waktu aku?"

"Iya. Bukannya kamu lagi teleponan? Kalau kamu mau balik teleponan sama orang tadi, silakan aja. Enggak perlu jagain aku kayak gini." Nada suara gue sengaja gue bikin tajam, tapi ternyata dia malah senyum kecil, LAGI. Senyumnya itu ngeselin banget, bikin gue tambah emosi.

"Aku udah selesai teleponan," katanya, matanya masih menatap gue dengan tenang. Sumpah dia ngomong kayak gini, tanpa beban banget-banget.

Otta ... Otta, kalau kayak gini kok rasanya lo mirip cowok yang enggak punya hati?

Setidaknya, hargain MANTAN, WOII!!

"Dan aku lebih khawatir sama kamu sekarang."

Karena dia lihat gue kurang suka sama jawaban dia, Otta lanjutin lagi kalimatnya.

"Kenapa sih, Ta? Aku enggak apa-apa. Kamu enggak usah ngerasa perlu jagain aku terus-terusan." Gue akhirnya meledak juga.

"Kok gitu ngomongnya? Kita kan traveling berdua, kalau kita enggak saling menjaga, trus siapa lagi? Lagi juga aku enggak bisa, Bi. Pura-pura buta atau enggak peduli. Padahal aku lihat dengan jelas kamu lagi kesakitan. Mana bisa aku begitu? Mungkin bagi kamu, aku bukan cowok baik, tapi aku enggak sejahat itu juga ngebiarin orang sakit. Dan kalau misalkan kamu traveling bukan sama aku, atau misalkan sama temen kamu yang lain, pasti mereka melakukan hal yang sama kok. Jadi enggak ada salahnya aku begini."

Gue mendelik marah. Lengannya gue pukul kenceng. Mungkin ini satu-satunya cara gue buat numpahin emosi yang udah gue tahan. Tahan sejak gue lihat nama Nita kemarin malam.

"Salah dong! Tadi kan waktu kamu dipakai buat teleponan, trus tiba-tiba berhenti mungkin pas kamu dengar aku bangun. Jadi jangan aku, kamu berhenti teleponan sama NITA. Lagian aku juga enggak peduli siapapun yang kamu telepon itu. Semua urusan kamu."

Gue lihat dia terdiam beberapa detik, jelas kaget sama nama yang gue sebut. Tapi kemudian dia balas dengan nada suara yang anehnya enggak marah sama sekali, malah terdengar tenang.

"Nita?" Dia natap gue curiga.

"Akh, iya, Nita? Benar kan namanya Nita?"

Gue panik. Anjir! Nanti disangka gue mata-matain dia.

"Kamu kenal?"

"Dih, enggak ya. Aku ... aku .... Cuma nebak aja!" Gue langsung buang muka, pura-pura sibuk nyari sesuatu sling bag, padahal tangan gue gemeteran banget. Suara gue tadi jelas terdengar gugup, dan gue tahu Otta pasti ngeh.

"Nebak?" Otta ulang, suaranya terdengar skeptis. Dia nyender di tembok, tangan dilipat di depan dada. "Dari mana kamu bisa 'nebak' nama itu?"

Gue makin panik. Otak gue muter nyari alasan, tapi semua terdengar konyol bahkan sebelum keluar dari mulut gue. "Y-ya aku cuma ingat aja. Kayaknya kamu pernah nyebut nama itu ... waktu kita ngobrol."

"Ngobrol kapan?" Dia maju selangkah, masih natap gue dengan alis terangkat.

"Enggak tahu! Mungkin aku salah denger, ya?" Gue langsung berdiri, buru-buru nutup tas biar keliatan sibuk. "Aku enggak peduli juga siapa itu Nita. Lagian aku ngomong nama dia juga cuma asal aja, Ta. Jangan dibawa serius, deh."

Dia enggak jawab langsung, tapi gue tahu dia lagi mikir. Tatapannya itu bikin gue tambah salah tingkah. Gila, Bi, kenapa sih mulut lo enggak bisa diem? Gue mau kabur balik ke toilet, tapi langkah gue langsung berhenti waktu dia manggil.

"Biar aku tanya lagi, kamu nguping atau ... buka chat di hp aku?" Nada suaranya enggak keras, tapi bikin dada gue nyesek.

"A-apa?" Gue pura-pura bego, tapi dia jalan mendekat.

"Jawab jujur, kamu buka chat di hp aku?"

"Ah? Enggak, ya. Enak aja! Lagi juga ngapain amat buka hp kamu. Kan hp kamu juga di lock enggak sih?"

"Iya. Di lock. Tapi kamu tahu passwordnya apa."

"Ta! Enggak, ya! Jangan nuduh aku gitu dong!"

Dia ketawa kecil, tapi jelas itu ketawa karena gue panik. "Oke, Bi. Kalau kamu bilang enggak nguping, atau enggak ngecek chat di HP aku, aku percaya. Dan ... untuk nama Nita yang kamu tahu, yap, aku anggap hanya kebetulan. Mudah-mudahan kedepannya banyak KEBETULAN yang terjadi dari kamu."

Gue diem, ngerasa makin bego. Kenapa sih lo selalu kalah sama Otta?!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro