Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17

Yuk bisa yuk, sedikit demi sedikit, yang komen sama vote makin banyaaakkkk


-------------------------------------------------------------------------------


Tangis ini mungkin cuma sementara, tapi sakitnya membekas hingga selamanya.

Enggak sedikitpun bahagia. Ya Tuhan, gue kenapa sih? Kenapa balik dari Everland gue malah kayak orang sakit begini. Entah sakit karena demam, yap, akhirnya gue meriang. Belum lagi sakit kepala gue yang amat sangat enggak bisa gue tahan, sampai langkah gue kayak diputer-puter gitu. Dan masalah yang terakhir, gue menstruasi disaat yang sangat tidak tepat.

Akh, komplit banget deh rasanya.

Untung aja, pas gue bilang badan gue mulai enggak enak, Otta langsung ambil keputusan kalau kita balik ke apartemen di sore hari. Padahal sebelumnya kami niat melihat parade akhir yang selalu ada di Everland, sesaat sebelum tempat ini tutup. Cuma kalau dilihat dari kondisi gue ini, kayaknya enggak mungkin banget. Makanya, Otta enggak pakai berdebat sama gue, dia langsung ajak gue balik ke apartemen disaat waktu orang-orang baru pada mau keluar buat hangout malam-malam.

"Masih kuat?"

"Hm, masih."

Dia ngelirik gue lagi. Tadi pas abis dari toilet di Everland, gue udah bilang sama Otta kalau gue menstruasi. Cuma sayangnya di sana enggak ada minimarket jual pembalut, entah kami yang enggak tahu mungkin tempat jualannya, alhasil dia berinisiatif ajak gue mampir di minimarket yang ada di stasiun buat beli pembalut itu.

"Jadi mampir di GS beli pembalut?" tanya Otta tanpa ragu.

Kenal dia selama 3 tahun, dia bukanlah tipe laki-laki yang tabu membicarakan kebutuhkan seorang cewek. Bahkan pernah beberapa waktu gue titipin dia beliin pembalut dulu sewaktu kami masih bersama. Dan dia enggak pernah merasa malu, atau jijik waktu membawanya. Dia selalu bangga bisa membantu gue dari dulu, dan gue rasa sampai sekarang sih.

"Jadi ..." rintih gue. Udah enggak ada tenaga kayaknya buat ajak ribut Otta.

Kami sama-sama masuk ke dalam GS25 yang berada di dalam stasiun. Masih dengan kondisi merintih, Otta beberapa kali memegang lengan gue, mungkin dia takut gue jatuh karena kelihatan dari cara berdiri gue yang enggak seimbang.

"Ini bukan?" Otta menunjukkan satu bungkus pembalut berwarna biru tua. Kayaknya berisi 14 biji, dengan panjang 33cm.

Gue natap dia bingung. Semua bahasa Korea, tapi kalau dilihat dari bentuknya sih iya, benar. Ini pembalut untuk menstruasi.

"Kayaknya. Enggak tahu aku."

"Apa bedanya sama ini?" Dia menunjukkan kembali satu bungkus berwarna hijau muda ke arah gue.

"Enggak tahu lagi, bahasanya enggak paham." Jawab gue dengan jujur.

Otta kayak enggak puas dengan jawaban gue, dia coba baca-baca keseluruhan dari bungkus pembalut itu. Sampai akhirnya Otta kasih gue kesimpulan, yang malah bikin gue kelihatan bodoh. Padahal setiap bulan gue pakai benda seperti itu.

"Ini buat malam, Bi. Nih, ada bulannya. Dan ini buat siang. Sama kayak yang di Jakarta."

"Masa? Ada gambar bulan, bukannya karena tuk cewek yang lagi datang bulan?"

Dia tatap gue kesal. Loh, benar kan pertanyaan gue?

"Ah, enggak tahu deh. Beli aja dua-duanya."

Sebelum sampai di kasir, dia kembali natap muka gue yang lagi merintih. "Enggak beli minumannya sekalian? Apa tuh namanya? Yang buat Pereda rasa sakit. Ada enggak ya di sini? Terus kamu bawa obat demam, enggak? Badan kamu anget gini," katanya penuh dengan rasa khawatir.

"Obat ada kok. Udah, cuma perlu pembalut."

"Benar, ya? Mau susu enggak? Biar enggak bolak balik?"

"Enggak usah."

Baru mau Otta balik badan, gue kembali bergumam. "Enggak usah terlalu baik, Ta."

Gue lihat gerakan tangan Otta ngeluarin uang dari tasnya berhenti. Dia ngelirik gue, terus gelengin kepalanya. Cuma anehnya enggak ada satu kata pun keluar dari mulut dia. Mungkin dia tahu, kalau dia ngomong, ributlah kami di sini.

Dia terlalu baik. Dan gue? Gue terlalu enggak tahu diri.

***

Sedikitpun enggak gue sangka, sumpah. Si Otta ngerawat gue dengan amat sangat baik. Dia buatin gue minum, meski cuma teh hangat, tapi amat sangat berguna buat perut gue yang lagi kram. Terus dia juga ambilin gue obat demam, dan minta gue buat makan roti sedikit sebelum minum obat itu. Sumpah demi apapun, sebaik ini Otta rasanya bikin hati gue makin remuk. Dia enggak harus repot-repot, tapi dia tetep ngelakuin semuanya dengan perhatian yang bikin gue pengen nangis.

Gue baring di sofa apartemen sambil nahan sakit perut dan demam yang enggak kunjung reda. Otta duduk enggak jauh dari gue, matanya tetap terarah ke gue, memastikan gue baik-baik aja. Kadang dia mainin ponselnya sebentar, mungkin buat nyari informasi gimana cara ngerawat orang yang lagi menstruasi sambil sakit. Gue ngeliat dia, dan di kepala gue cuma ada satu pikiran, gue bodoh banget.

"Ta, enggak perlu repot-repot," gumam gue pelan. "Aku bisa sendiri."

Otta nengok, ngangkat sebelah alisnya. "Sendiri? Lihat diri kamu sekarang, Bi. Jalan aja tadi hampir jatuh. Udah diem aja, biar aku yang urus semuanya."

Dia bicara dengan nada santai, tapi gue bisa ngerasain ada sedikit kekhawatiran di dalamnya. Gue nunduk, ngerasa makin kecil.

"Tapi—"
"Enggak ada tapi-tapian." Dia motong gue dengan tegas. "Bisa enggak sih kalau lagi sakit, nurut sebentar sama orang lain yang peduli sama kamu."

Gue diem. Perkataannya nusuk banget di hati gue. Dia benar, gue selalu ngerasa enggak layak dapet bantuan orang lain, apalagi dari seseorang sebaik Otta.

Beberapa saat kemudian, dia datengin gue dengan botol air hangat. Dia bungkus botol itu pake handuk, lalu naruhnya di atas perut gue dengan hati-hati. "Ini bantu buat kram kamu. Aku baca tadi katanya ini bisa bikin otot lebih rileks."

"Ta..." Suara gue hampir enggak keluar. "Jangan terlalu baik," lirih gue pelan. Rasanya mata gue kerasa panas banget. Entah panas karena demam, atau karena pengen nangis. Nangisin semua kebaikan Otta, si Mantan yang effortnya amat sangat luar biasa.

Dia natap gue, matanya sedikit melembut. Tapi kemudian dia senyum tipis, kayak nyoba buat nyembunyiin sesuatu. "Kenapa? Karena kamu cuma MANTAN?" ucap Otta penuh penegasan. "Jujur aku enggak peduli, Bi. Mau kamu MANTAN, atau orang yang baru aku kenal, pasti kalau ada yang bisa kubantu, akan kubantu. Karena kebaikan itu enggak mengenal status, Bi."

Kata-kata itu bikin dada gue sesak. Kenapa dia bisa sesabar ini? Kenapa dia masih mau peduli sama gue setelah semua yang terjadi?

Tiba-tiba bayangan Nita muncul di kepala gue lagi. Gue enggak tahu hubungan mereka, tapi satu hal yang pasti, gue enggak punya hak buat minta Otta balik. Dia pantas dapet cewek yang lebih baik dari gue, seseorang yang enggak bakal ngecewain dia.

Malam itu, meskipun badan gue masih lemas dan kepala gue pusing, hati gue lebih berat lagi. Gue tahu, gue harus ngelepasin rasa bersalah ini. Tapi semakin gue ngeliat Otta, semakin sulit rasanya.

Sebelum tidur, Otta pastiin gue udah nyaman. Dia matiin lampu kamar dan naruh segelas air di meja kecil di sebelah gue.

"Semoga cepet sembuh, Bi. Aku berharap kamu bisa jaga diri lebih baik lagi," katanya sambil tersenyum kecil. Nada suaranya lembut, tapi ada sesuatu di dalamnya yang bikin hati gue tertekan.

Gue hanya mengangguk pelan tanpa berani melihat matanya. Rasanya gue udah enggak punya tenaga lagi buat jawab apa-apa. Tapi sebelum dia keluar dari kamar, karena gue tahu dia masih belum mau tidur, dia berhenti di ambang pintu dan berkata, "Kadang, aku cuma berharap kamu bisa lebih percaya kalau kamu layak diperhatikan, Bi. Enggak semua orang baik karena ada maunya."

Kata-katanya menancap dalam di dada gue, mengaduk perasaan gue yang udah kacau. Setelah dia pergi, gue cuma bisa memejamkan mata, berharap bisa tidur meski hati gue bergemuruh. Otta, kenapa lo masih bisa sebaik ini? Dan kenapa gue merasa enggak pantas?


-----------------------------------


Greget banget sumpah nulisnya, mereka punya mulut, tapi kenapa sulit banget buat saling jujur?

Nabi sama Otta, ceritanya....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro