Bab 14
Sebelum baca, jangan lupa Komen dan vote ya gaes... Aku udah usaha banget nih setiap hari update. Dan GRATIS. Masa iya, kalian vote sama komen aja susah.
Buat yang udah komen dan vote, aku mau bilang makasih banyak. Cerita Otta sama Nabi udah diposisi 5 nih
Ini pencapaian sangat baik sih. Secara udah lama aku enggak nulis, tiba2 diposisi 5 dari 16K cerita, WOW banget lohhh..
-------------------------------------------------------------
Dari penyesalan aku akhirnya paham apa arti kesalahan dalam mengambil sebuah keputusan.
Masih hujan salju! Benar-benar menyebalkan. Cuaca di Korea hari ini amat sangat tidak bersahabat. Tapi, apa boleh buat, perut kami udah enggak bisa diajak kompromi. Dari pagi enggak makan apapun, hanya minum teh berulang kali, cacing dalam perut gue seperti pendemo yang berteriak kencang berharap didengar atas keresahan yang dirasakan.
Makanya dengan berat hati, gue dan Otta memutuskan keluar, meski langkah pertama saja sudah membuat gue merutuk dalam hati.
"Yakin kamu mau ikut?" tanya Otta kelihatan tidak yakin.
Sambil menunggu dia mengunci pintu apartemen, gue mengangguk mantap. "Iya. Enggak boleh ya?"
"Boleh. Cuma kayaknya aku bisa lebih cepat kalau kamu enggak ikut."
"Dih, gitu sih," sambut gue enggak suka.
Otta menatap gue dengan tatapan datarnya yang khas, lalu menghela napas. "Terserah kamu deh. Tapi, jangan nyusahin aku ya."
Walau enggak terlalu percaya diri dengan keputusan ini, gue tetap berpegang teguh atas pilihan yang gue buat ini. Mungkin, ini baru kemungkinan, kalau Otta masih berstatus pacar, gue masih bisa rela ditinggal sendiri di apartemen, sedangkan dia pergi beli makan.
Tapi kan sekarang status kami enggak begitu, jadi enggak mungkin juga gue nyusahin MANTAN.
Akan tetapi sayangnya, begitu pintu lobi apartemen terbuka, angin dingin langsung menyergap wajah gue, membuat gue menyesali keputusan ini seketika. Di samping gue, Otta kelihatan senyum-senyum, seakan dia sadar gue menyesal dengan keputusan ini.
Yakin, seyakin yakinnya, dia pasti lagi mengutuk sikap gue yang keras kepala. Sekali dua kali dia bilangin, enggak pernah mau nurut. Dan sekarang gue ngerasa kena karmanya sendiri.
Dalam diam, kami mulai berjalan perlahan di trotoar yang sebagian tertutup salju. Suara sepatu kami yang menjejak salju terdengar nyaring di tengah keheningan malam. Gue berusaha mengikuti langkah Otta yang lebih panjang, tapi semakin lama rasanya kok semakin sulit. Jalan licin, dan salju yang turun menutupi pandangan gue. Gue merasa seperti akan jatuh kapan saja.
"Pelan dikit, Ta," kata gue sambil berusaha menyeimbangkan badan.
Dia menoleh ke belakang dan melihat gue yang terseok-seok. Seketika langkah Otta berhenti. Tatapannya tertuju ke arah gue, dengan ekspresi ... kesal?
"Aku bilang juga apa. Kamu enggak usah ikut. Sekarang malah bikin ribet."
Sumpah ya ini orang? Kok jadi emosi gini dia?
Ya, gue tahu, mungkin Otta mikirnya kalau kita berantem di bawah hujan salju, dinginnya sedikit berkurang. Tapi ya, enggak gitu juga, BRENGSEK!
"Kenapa sih? Aku kan cuma minta kamu pelan dikit, bukan minta gendong," sahut gue sebal, sambil terus berjalan. Tapi, jujur aja, gue merasa kaki gue mulai kehilangan rasa.
Tahu kan rasanya kebas karena dingin kena es, gitu deh rasanya kaki gue sekarang.
Langkah gue tersandung bongkahan salju kecil yang membeku, dan hampir aja gue jatuh kalau bukan karena tangan gue refleks meraih mantel tebal Otta. Gue cengkram ujung mantelnya erat-erat, sementara dia berhenti mendadak dan menoleh.
"Kenapa lagi?" Otta fix mulai kesal. Selain karena sikap ceroboh gue sebagai pemicunya, udara dingin yang membekukan pastinya buat Otta enggak nyaman.
"Aku hampir jatuh, oke? Salju ini licin banget," jawab gue defensif sambil berusaha berdiri tegak lagi. Tapi, tangan gue tetap mencengkeram mantelnya. Gue enggak bisa bohong, gue takut banget kalau sampai jatuh.
Otta menghela napas panjang, dia sempat diam sebentar sebelum lanjut ngomong, "Pegangan yang kuat kalau gitu."
Gue merasa sedikit malu, tapi tangan gue enggak mau lepasin pegangan ini. Gue hanya bisa mengangguk pelan dan melangkah lagi, sedikit di belakangnya, masih memegangi mantel tebalnya. Rasanya aneh, canggung, tapi juga sedikit melegakan. Setidaknya gue enggak perlu khawatir tergelincir lagi.
Kami berjalan beberapa blok dengan salju yang terus turun, membuat jalanan terasa semakin licin. Gue mulai bertanya-tanya, kenapa tadi gue ngotot buat ikut? Setiap kali angin dingin menerpa wajah gue, gue merasa menyesal.
"Masih jauh enggak sih tempat makannya?" tanya gue akhirnya.
"Enggak, cuma satu blok lagi. Kamu tahan sedikit lagi," jawab Otta tanpa menoleh. Dia terus berjalan dengan mantap, kelihatan banget berusaha kuat walau gue tahu Otta enggak sekuat itu sama udara dingin.
Tapi better lah, sedangkan gue, cewek menyebalkan ini, benar-benar siap buat nyerah kapan aja.
Begitu sampai di depan sebuah restoran kecil yang terlihat hangat dari luar, gue merasa seperti mau menangis lega. Tapi, sayangnya, pintunya terkunci.
"Tutup," gumam Otta sambil membaca tulisan di pintu kaca.
APA? TUTUP? Buset deh, Tuhan kalau kasih ujian enggak nanggung-nanggung. Gue sama Otta udah pengorbanan banget jalan ke sini, eh ... sialnya malah tutup.
"Terus gimana?" tanya gue pasrah.
Otta melihat ke arah lain, mencoba mencari alternatif. "Mungkin ada minimarket dekat sini. Kita beli mie instan aja buat malam ini."
Gue hanya mengangguk, terlalu lelah dan kedinginan untuk berdebat. Kami melanjutkan perjalanan ke minimarket terdekat, yang untungnya buka 24 jam. Begitu masuk, kehangatan langsung menyergap tubuh gue. Rasanya seperti surga kecil di tengah salju yang membekukan.
Kami mengambil beberapa bungkus mie instan, roti, dan beberapa makanan ringan untuk persiapan besok. Setelah membayar, kali ini gue yang banyak karena bisa pakai kartu dan enggak enak juga ditraktir Otta terus, kami berjalan pulang dengan langkah yang sedikit lebih ringan, meski dingin masih menusuk.
"Masih kuat, kan?" tanya Otta tiba-tiba saat melihat gue menggigil.
Gue mengangguk pelan. "Ku ... kuat, cuma menggigil aja."
Bukan sok pengen kelihatan lemah, tapi DEMI APAPUN, rasanya bulu mata gue sampai beku, dan bikin mata gue enggak bisa kebuka.
"Bi ... Nabi?"
"Duh, Ta. Mataku ..."
"Ah? Maksudnya? Matamu kenapa?" Otta langsung berhenti. Tatapannya tertuju ke arah gue dengan penuh kekhawatiran.
"Beku kali," jawab gue setengah bercanda, setengah serius.
Enggak banyak bicara, gue ngerasa Otta mendekat. Bahkan sekarang embusan napasnya bisa kerasa sama gue. "Coba lihat ke sini." Dia meraih wajah gue dengan kedua tangannya yang hangat, kontras banget sama dinginnya udara malam ini.
Gue mematung di tempat, membiarkan dia memeriksa mata gue dengan serius. Tatapannya bikin jantung gue serasa marathon. Kenapa sih, Ta? Kita udah jadi mantan, tapi kalau kayak gini, kok rasanya kayak balik lagi ke masa itu.
"Mungkin cuma kedinginan. Lagian sih, keras kepala banget. Harusnya tadi aku aja yang keluar buat beli makan," gerutunya sambil menghela napas.
"Hahaha, I'm fine kok. Gwenchanayo," seru gue ikutin suara yang viral di media sosial.
Mendadak kikuk, Otta lepasin tangannya perlahan. "Yaudah, ayo jalan lagi."
Kali ini langkah Otta jauh lebih lambat dari sebelumnya, seolah dia trus pastiin gue enggak tertinggal. Sesekali, tangan dia yang terasa hangat genggam tangan gue, dengan alasan katanya sih biar enggak jatuh di jalan licin.
Gue sih enggak komen apa-apa soal pegangan tangan kami ini. Karena sejujurnya gue menikmati semua itu.
-----------------------------------------------------------
Ciyee ... ciye, mulai pegangan tangan nih....
Besok ngapain lagi ya mereka.. wkakaka...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro