
9. 🥀 Failed
🥀🥀🥀
Aku berdiri di atas panggung lebar dan megah, di ujung sebelah kanan ada kedua orang tuaku dan di sebelah kiri kedua mertuaku. Aku mengulum senyum saat kata mertua kuucapkan. Tidak salah, 'kan? Setelah usai pemberkatan di gereja tadi pagi, itu menandakan kalau kedua orang tua Mas Abra resmi menjadi mertuaku.
Aku melirik ke kanan, menelisik pahatan wajah Mas Abra dari samping. Hidungnya terlihat tinggi, bulu matanya cukup panjang untuk ukuran pria, garis bibir yang jika di tarik ke atas mampu membuatku terpesona. Rahangnya tegas, seolah menggambarkan sikap yang ia miliki. Sungguh aku beruntung bisa menikah dengan pria ini.
Aku terkesiap saat Mas Abra menoleh, mata ini mengerjap beberapa kali. Pipiku menghangat, aku berharap riasan di wajah ini mampu menyembunyikan rona bersemu. Tuhan ... aku malu, aku ketahuan sedang memperhatikan tentang visualnya.
Tanganku dibimbing mengait di lengannya yang kokoh. Wajah Mas Abra maju beberapa senti ke arah wajahku. "Kenapa, Sayang?" tanyanya.
Oh, Tuhan. Suara beratnya, panggilan sayang yang untuk pertama kalinya aku dengar, sepertinya membuatku melayang sebentar lagi. Aku kikuk harus menjawab apa, Mas Abra sudah sah menjadi suamiku, tapi deguban jantungku masih saja sering bergemuruh tidak karuan.
"Kamu capek, Sayang?"
Lagi-lagi pertanyaan Mas Abra menggantung begitu saja. Lidahku kelu, tidak bisa aku gunakan untuk menjawab atau lebih tepatnya kata 'Sayang' yang dilemparkan Mas Abra membuat daging tak bertulang itu kehilangan fungsi.
"Mas, Abel mana?"
Aduh, Nathalie! Kamu kenapa random sekali, sih. Aku tidak tahu kenapa bibirku justru mengeluarkan pertanyaan tentang di mana anak cantik itu berada, padahal jelas-jelas aku bisa melihat di ujung sana, Abel sedang berada di pangkuan Gaby—adik Mas Abra—dengan boneka kesayangan di pelukannya.
Mas Abra menunjuk pada kerumunan sebelah kanan. "Itu ada sama Gaby," katanya dengan senyum terangkat tinggi. "Kayaknya dia kecapekan, deh. Harusnya ini jam Adel tidur siang."
Aku mengangguk setuju, bisa kulihat dari sini gerak-gerik Abel sudah tidak nyaman. Anak itu tetap bertahan, tidak menangis. Pintar sekali putriku.
"Mau duduk?" tawar Mas Abra.
Aku mengangguk, sigap Mas Abra mengangkat gaun pengantinku. Aku berjalan beberapa langkah ke belakang menuju singgasana sehari kami. Belum juga tubuhku mendarat pada kursi pengantin, suara yang aku hapal betul menyapa telinga.
"Thalie ...," panggilnya dengan wajah anggun seperti yang biasa aku lihat saat berada di tempat kerja.
"Teh Rania! Aah, senengnya kalian nyempetin hadir."
Aku merentangkan tangan, memintanya memberikan pelukan untukku. Teh Rania meyambutnya dengan suka cita. Aku bersyukur punya teman kerja seperti Teh Rania. Tuhan begitu baik pada hidupku.
"Makasih loh, Teh. Udah jauh-jauh datang ke sini." Aku terharu dia menyempatkan diri, padahal jarak rumah dan lokasi hotel tempat kami melangsungkan pernikahan cukup jauh.
"Harus datang, dong. Naura kan mau lihat Auntie Thalie pakai gaun pengantin," sahut Teh Rania sembari memainkan tangan mungil putrinya yang berada di gendongan suaminya.
"Eh, tapi kenapa harus di hotel ini, sih? Kenapa nggak di hotel tempat kita aja?"
Aku mengangkat bahu, mencebikkan bibir sembari melemparkan lirikan ke Mas Abra. Seolah sedang memberi kode 'kenapa tidak langsung tanya sama yang booking tempat'.
"Hotel Grand Metro tidak cukup untuk menampung tamu kita," sahut Mas Abra yang harus diacungi jempol kepekaannya.
"Iya, sih. Ballroom hotel kita nggak begitu besar ya, Pak." Teh Rania tersenyum. "Oh, iya. Kenalin, Pak, ini suami dan putri saya," lanjut Teh Rania.
Mas Abra mengulurkan tangannya ke hadapan suami Teh Rania, mereka bersalaman singkat meski suami Teh Rania terlihat susah payah meyambut tangan Mas Abra karena Naura dalam gendongannya.
"Putrinya cantik, umur berapa?" tanya Mas Abra seraya telapak tangannya mengusap puncak kepala Naura.
"Tiga setengah tahun, Pak," jawab suami Mas Abra.
Mas Abra tersenyum, kepalanya mengangguk. Ada pertanyaan jahil melintas di kepalaku, saat pertemuan pertama kali dulu, Mas Abra tidak mengizinkanku memanggilnya dengan sapaan 'Pak' dengan alasan dia tidak setua itu, putrinya saja baru tiga tahun, tapi Teh Rania, bahkan suaminya memanggil dengan kata Pak, Mas Abra terlihat santai saja. Kenapa hanya aku saja tidak diizinkan?
"Sekali lagi selamat ya, Thalie. Semoga pernikahan kalian sakinah, mawadah, bahagia dunia akhirat pokoknya," ucap Teh Rania mendoakan kami.
Aku tidak tahu artinya dari dua kata sebelumnya, tapi aku yakin itu adalah bentuk pengharapan dan doa. Maka aku aminkan saja.
"Amin, Teh. Silakan dinikmati, ya."
Teh Rania dan suaminya berlalu, ada banyak sekali tamu yang hadir. Mas Abra benar, Hotel Grand Metro tempatku bekerja tidak akan cukup menampung tamu undangan sebanyak ini. Mengingat Mas Abra adalah salah satu eksekutif muda yang cukup sukses, pasti memiliki kolega bisnis yang banyak pula.
-o0o-
Acara resepsi kami telah usai sejak dua jam lalu, kami pun sudah berganti pakaian, menanggalkan semua pakaian pengantin yang sejujurnya membuatku kurang leluasa. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Aku dan Mas Abra sudah berjalan beriringan menuju kamar—pengantin—tempat kami menginap. Mas Abra menggandeng tanganku sejak masuk lift hingga sekarang sudah berada di depan pintu kamar 501 di lantai dua.
Mas Abra membuka pintu kamar dengan tangannya yang bebas. Aku terkesiap saat wajahnya tiba-tiba menoleh dan tersenyum. "Capek nggak?" tanyanya kemudian.
Aku mengangguk, membalas senyumnya. "Iya, Mas. Tamu Mas Abra banyak banget. " Aku menyengir mengingat tadi betapa lelahnya aku berdiri menyalami tamu yang hadir.
Pintu kamar sudah terbuka, Mas Abra membawaku masuk. Keadaan kamar gelap, aku tidak tahu apa yang dilakukan Mas Abra karena penglihatanku terhalang, tidak ada cahaya barang setitik pun. Tidak membutuhkan waktu lama, aku mendengar suara klik dari sampingku dan seketika lampu semua menyala.
Aku menutup mulutku, wajahku merona sempurna. Mataku tak hentinya menatap lurus ke depan. Ranjang besar di sudut ruangan itu disulap menjadi taman bunga. Banyak sekali kelompok mawar merah di sana. Aku berjalan menuju ranjang, sepanjang langkah pelan aku tak bisa mengendalikan gemuruh ribut dari jantungku. Aku sudah sampai di depan tempat tidur, mataku membaca inisial nama yang ditata dari kelopak mawar.
"A & T. Abra dan Thalie?" tanyaku retoris.
Ya, kalau bukan Abra dan Thalie, lalu siapa lagi? Emangnya hari ini Mas Abra menikahi wanita lain selain aku? Aku tertawa samar, pertanyaanku dijawab sendiri di dalam hati. Aku tidak tahu sejak kapan tiba-tiba Mas Abra sudah berdiri di belakangku.
"Suka?" Mas Abra melontarkan pertanyaan yang tidak kalah retoris.
Aku berbalik menghadapnya. Tidak perlu aku jawab, Mas Abra pasti sudah tahu jawabannya melalui ekspresi yang aku tunjukkan. Pria itu merentangkan tangannya, rasa bahagiaku mengalahkan rasa malu, aku masuk ke dalam pelukan Mas Abra. Kubenamkan wajahku di dada bidangnya.
"Makasih, Mas."
Pelukan terasa erat, Mas Abra membenamkan wajahnya di ceruk leherku. "Tonight belongs to both of us, Honey," bisiknya sensual di telinga kananku.
Aku meremang, aku cukup dewasa mencerna ucapannya. Apa lagi kalau bukan sesuatu yang sudah halal pasangan pengantin baru lakukan saat malam pertama? Aku meneguk ludahku saat pelukan sudah terurai, Mas Abra menatapku lamat. Daguku terangkat oleh ibu jari dan telunjuk Mas Abra, wajahnya mendekat mengikis jarak menjadi kurang dari lima inci.
Bibir hangat Mas Abra mendarat sempurna di dahiku. Samar aku menarik garis senyum. Kecupan kupu-kupu aku terima di setiap inci wajahku, dari dahi turun ke mataku, kedua pipiku, dan terakhir bibirku.
Mas Abra menyesap bibirku dengan lembut, kurasakan ciumannya semakin menuntut. Tubuhku terhuyung ke depan, merapat ke tubuh Mas Abra. Tangan Mas Abra sudah meraih kancing kemejaku, dua teratas sudah terbuka, kembali meraih satu kancing lagi untuk dia buka.
Jangan tanyakan keadaanku, jantungku dua kali atau bahkan sepuluh kali lebih cepat memompa.
"M-mas, nggak mau mandi dulu?" tawarku dengan sedikit terbata.
Tuhan, aku benar-benar gugup. Bapa di sorga beri aku kekuatan untuk mengatasi rasa gugup ini. Tubuhku seperti terasa disengat aliran listrik berkekuatan rendah. Tanganku berkeringat dingin, apakah semua perempuan begini? Merasakan hal seperti yang aku rasakan, menggigil mengahadapi malam pertama.
"Nggak usah, nanti juga kotor lagi," katanya menjawab tawaranku perihal mandi tadi.
Aku mengangguk pelan, aku pun paham makna dari 'nanti kotor lagi'. Mas Abra menangkup rahangku, kembali bibirnya bermain di atas bibirku.
"Rileks aja, Sayang." Mas Abra terkekeh setelahnya, mungkin dia tahu jika aku sedang gugup.
Mas Abra menurunkan kemejaku di bagian bahu, lagi-lagi kecupan kecil mendarat di sana. Kurasakan ciumannya beralih ke leher. Jemariku mencengkeram kain kemeja bagian pinggang Mas Abra.
Kini kancing kemejaku sudah terbuka semua, dengan sedikit gerakan maka akan terlepas dari tubuhku. Mas Abra meraih bagian depan kemejaku, tapi urung terlaksana karena suara ribut di balik pintu kamar kami.
"Abel?"
Aku mendengar suara tangisan putri kami di luar sana, tiba-tiba aku khawatir. Aku mengeratkan kemejaku yang terbuka, bergegas berjalan ke pintu ingin segera mengetahui apa yang terjadi.
Mas Abra mencekal lenganku. "Mau ke mana?" tanya Mas Abra.
Aku menunjuk pintu. "Abel, Mas."
"Biar Mas aja, kancing baju kamu benarkan," perintahnya.
Aku bergegas mengancingkan bajuku dengan benar. Mas Abra berjalan ke pintu yang sesekali masih terdengar suara bel berbunyi.
"Papa ...," rengek Abel terdengar lebih nyaring saat pintu sudah terbuka.
Tanjung Enim, 25 April 2024
Rinbee 💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro