7 🥀 Mau di Mana?
🥀🥀🥀
pernyataan Mas Abra yang memintaku untuk menjadi ibunya Abel, tidak aku jawab secara lisan, melainkan dengan cara lain. Aku memberikan perhatian, kasih sayang tulus yang kupunya pada Abel. Entah sebenarnya apa yang mendasari aku melakukannya. Ingin membuktikan bahwa aku mampu menjadi ibu pengganti yang baik untuk Abel? Namun, rasanya ada sesuatu lebih dari itu. Aku benar-benar mencintai anak balita menggemaskan itu.
Hari ini, Abel dan Mas Abra kembali datang ke Bandung. Kali ini mereka sengaja datang di hari weekend. Mas Abra meneleponku dua hari yang lalu, katanya Abel ingin weekend bersamaku.
"Kita mau ke mana?" tanyaku pada Mas Abra yang sejak tadi duduk bersamaku di ruang tamu.
"Enaknya ke mana?"
Aku berpikir sejenak. "Gimana kalo kita ke Lembang?"
Sepertinya weekend ke daerah Bandung Barat menyenangkan, menikmati udara sejuk kota Bandung, sangat cocok juga untuk anak-anak.
***
"Ada kuda, Mami. Ada kuda. Wah, besal."
"Itu sapi, Papa. Sapinya banyak."
Suara Abel sejak tadi ribut saat mata kecilnya melihat hewan-hewan ternak dari kawasan wisata ini. Kami akhirnya memutuskan menghabiskan weekend di daerah Kayuambon, Lembang. Tempat Wisata satu ini memiliki konsep ala cowboy Amerika, dengan menyuguhkan pemandangan alam yang sangat mempesona. Selain itu tempat wisata ini juga didukung dengan udara segar dan sejuk di Lembang.
Oh, iya. Entah siapa yang mengajari, sejak satu bulan yang lalu secara ajaib, Abel tiba-tiba memanggilku dengan sebutan Mami.
"Mami, aku mau sana," tunjuk Abel pada wahana permainan anak.
Kami sejak tadi berkeliling dengan Abel di gendongan papanya. Mas Abra menurunkan Abel, anak kecil itu berlari dengan lincah ke tempat yang dia inginkan. Aku dan Mas Abra hanya mengawasinya saja.
Aku tersenyum saat melihat Abel bermain dengan bahagia, sesekali dia mengajak bicara pengunjung lain yang sedang bermain bersamanya. Ada rasa bangga menyelinap di hatiku, meskipun ditinggal ibunya dan lama tidak mendapatkan kasih sayang seorang ibu, tapi Abel bisa tumbuh menjadi anak yang percaya diri.
"Anaknya, Bu?"
Aku menoleh saat runguku menangkap suara seorang wanita yang berada di sampingku. Aku bingung mau jawab apa. Namun, kepalang tanggung. Ya, sudah, aku iyakan saja.
"Iya, Bu. Dia putriku."
"Itu yang sedang bermain sama putrinya, anak saya." Ibu itu menunjuk pada anak kecil yang usianya mungkin lebih tua sedikit dari Abel.
Aku hanya mengangguk seraya mengembangkan senyuman. Kulihat Abel berlari mendekatiku, tangan mungilnya terentang. Aku berjongkok saat dia sudah di hadapanku.
"Sudah mainnya? Seneng nggak?"
Abel mengangguk ribut, wajahnya tampak bahagia sekali. Dia menoleh ke arah keberadaan Mas Abra. "Papa, mau ke sana," pintanya menunjuk ke sebuah peternakan kuda.
"Emang kamu berani?" tanya Mas Abra memastikan.
"Belani, Papa. Gendong."
Mas Abra mengambil alih menggendong Abel. Anak ini tertawa riang saat tubuh kecilnya diayunkan tinggi-tinggi oleh ayahnya. Aku meringis, takut-takut Abel jatuh.
"Mas, jatuh nanti anaknya." Aku menegur Mas Abra.
Mas Abra hanya menoleh seraya tersenyum tipis, sementara Abel ribut minta diayun tinggi-tinggi lagi. Mas Abra membisikkan sesuatu di telinga Abel, aku mengernyit tidak tahu kira-kira apa yang ayah dan anak ini bicarakan. Sejurus kemudian Abel menatapku.
"Mami, boleh, ya. Mami, boleh."
Boleh? Boleh apa? Abel meminta izin untuk apa? Aku gemas sendiri melihatnya, matanya yang kecil dan jernih menatapku penuh harap.
"Boleh apa, Sayang?"
"Boleh angkat, telbang lagi, Mami. Mau lagi."
Aku menatapnya. Tidak! Kali ini aku tidak akan membiarkannya, aku percaya Mas Abra akan menjaganya, tapi nasib buruk siapa yang tahu? Lebih baik menghindari malapetaka.
"No! Nanti Abel jatuh, mami jadi sedih. Mau mami sedih?"
Dia menggeleng. Tangan mungilnya terentang, minta digendong olehku. Aku meraih tubuh kecilnya, kudekap memberikan rasa nyaman dan aman.
Kami sudah berjalan sepanjang seratus meter, sekarang sudah berdiri di pinggir pembatas yang terbuat dari kayu. Banyak sekali kuda di dalam sana. Ada pengunjung yang sengaja menungganginya dan ada pula yang seperti kami, hanya melihat.
Abel kembali terpekik, Mas Abra lagi-lagi pelakunya. Kali ini Mas Abra sengaja membawa Abel mendekati kuda-kuda itu, sedangkan Abel bergedik takut.
"Mami ... mami. Takut, Mami. Akh!Kudanya deketin aku, Mami." Abel memberontak di gendongan Mas Abra.
"Mas, udah dong, kasian anaknya takut itu. Nanti nangis sampe kebawa mimpi," tegurku pada Mas Abra yang tidak diindahkannya.
Mas Abra tetap saja bercanda dengan mengangsurkan tubuh kecil Abel ke dekat kuda yang sudah bersiap seperti ingin menjilatnya. Kali ini, Abel benar-benar menangis. Mata kecilnya dibanjiri air mata. Aku jadi tidak tega melihatnya. Kuraih Abel di gendongan Mas Abra, kasihan sekali tubuhnya sudah berkeringat dingin.
"Hari ini, dia jadi anakku, kamu nggak usah pegang-pegang," ancamku pada Mas Abra.
Dia menyengir salah tingkah, gigi yang rapi terlihat jelas, tangannya menggaruk belakang kepalanya yang kuyakini tidak gatal.
"Jangan cuma hari ini, dong. Hari-hari berikutnya juga boleh, kalau kamu mau jadi ibunya," katanya sembari berjalan melewati kami.
Aku menelan ludah susah payah. Mas Abra lagi-lagi membuat lidahku kelu tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, sudah waktunya makan siang. Mobil yang Mas Abra kendarai berjalan dengan kecepatan pelan. Kami hendak mencari tempat untuk makan, Abel yang berada di pangkuanku sedang asik menikmati camilannya, untung saja aku banyak membawa camilannya tadi, kasihan jika dia harus menahan lapar lebih lama.
Sejurus kemudian Abel bangkit dari posisinya menjadi setengah berdiri dengan lututnya bertumpu di pahaku, menempelkan tangan kecilnya pada kaca jendela mobil, matanya yang kecil melihat jalanan dengan seksama. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Abel.
"Mami, lumah Bapa, Mami. Wah ... besal lumah Bapa," tunjuk Abel antusias. Bibirnya yang mungil tidak henti-hentinya mengangumi rumah Bapa saat mobil Mas Abra melintasi gereja di jalan karmel II
"Iya, itu rumah Bapa. Bagus ya? Nanti kapan-kapan kita ke rumah Bapa bareng, ya," ajakku pada Abel.
Aku berencana mengajak Abel ke gereja bersama, menurutku akan lebih bagus mengajak anak dari usia seperti Abel untuk melakukan pelayanan. Gereja merupakan kumpulan orang yang percaya kepada Kristus. Gereja senantiasa hidup dengan mengimani sabda Kristus, jadi akan sangat baik untuk diperkenalkan sedini mungkin.
"Nanti, Mami pakai baju cantik?" tanya Abel polos.
Posisi duduknya sudah menghadap ke aku. Mata beningnya memancarkan secerca harap saat menatapku.
"Iya, nanti Mami pakai baju bagus, Abel pakai baju bagus, kita pelayanan bersama," jelasku pada bocah pintar ini.
"Papa? Pakai baju bagus juga? Jalan pegang tangan Mami?"
Kok papa? Ini maksudnya dia mau ajak papanya juga pelayanan bersama, kenapa harus pegangan tangan. Sudah mau menyebrang jalan saja.
"Iya, nanti papa juga ikut."
Terdengar kekehan dari kursi kemudi, aku menoleh ke arah Mas Abra. Dia masih terlihat mengulum senyumnya.
"Kenapa, Mas?"
Mas Abra menoleh sesaat kepadaku. "Kamu sepertinya salah mengartikan ucapan Adel."
Salah? Salah di mananya? Gereja memang rumah Bapa, kan? Orang ke gereja juga berpakaian bersih, rapi. Aku bingung letak salah artinya di mana.
"Maksudnya, Mas?"
"Adel pernah diajak ke gereja, menghadiri pemberkatan tantenya. Jadi yang dipikirkannya kalo ke gereja ya orang menikah."
Aku sekarang mengerti maksud pertanyaan Abel pakai baju bagus. Maksudnya wedding dress.
"Mami, nanti Mami sama papa mau di mana?" Lagi-lagi anak pintar ini bertanya.
Aku tidak menjawab langsung, masih mencerna ucapannya agar tidak salah arti lagi.
"Apanya yang di mana, Sayang?"
"Tante Gaby sama Om Alan pakai baju di lumah Bapa Jakalta. Mami mau di tempat tadi?"
Aku terkekeh, membayangkan aku melakukan pemberkatan pernikahan di gereja yang kami lalui tadi, harus menempuh jarak jauh, sementara aku ada impian yang sejak dulu aku simpan.
"Kamu mau melakukannya di mana?" Mas Abra melemparkan pertanyaan.
Aku menarik senyum. "Gereja Katedral Santo Petrus," ucapku mantap.
Tanjung Enim, 09 NOV 2020
Salam sayang ♥️
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro