Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 🥀 Bertemu lagi.


***

Pagiku beberapa hari ini terasa sangat sibuk. Mungkin bertepatan dengan liburan anak sekolah, itu sebabnya Grand Metro Hotel Bandung didatangi tamu naik dua kali lipat dari hari biasanya. Semua karyawan bisa dikatakan bekerja ekstra.

Aku masih fokus pada layar komputerku, melayani pengunjung yang akan reservasi kamar, mengecek dan mencocokkan data mereka. Indera pendengaranku menangkap suara anak kecil perempuan yang dengan riangnya bersenandung, lagu anak-anak yang dinyanyikan pun kerap kali aku dengar saat keponakanku menyetelnya.

Ah, seketika aku teringat dengan balita tiga tahun yang aku temui beberapa waktu lalu. Bagaimana kabar Abel, ya? Kadang aku merasa merindukan gadis kecil nan pintar itu, tapi aku tidak punya alasan untuk menghubunginya, meski aku sudah ada bekal nomor ponsel ayahnya.

Aku berdiri, menyerahkan kunci pada pelanggan, setelahnya aku memanggil Kang Rado untuk meminta bantuannya mengantar tamu ini.

"Kang Rado, tolong diantar ke kamar 401, ya," ucapku pada Kang Rado, lalu setelahnya tersenyum ramah pada tamu yang ada di hadapanku.

Sempat kuperhatikan tamu itu berjalan bersisian di belakang Kang Rado, sang ayah yang mengandeng tangan kanan sang putri, sementara ibunya menggandeng tangan kirinya. Setelahnya aku tidak tahu apa yang terjadi, karena aku kembali menekuni pekerjaanku.

Melalui ekor mataku, rekan kerja di samping kiriku berdiri melakukan great the guest, yang biasa kami lakukan meyambut tamu.

"Selamat pagi, selamat datang di Grand Metro Hotel Bandung, ada yang bisa kami bantu," ucap rekan kerjaku yang tanpa kusadari mengikuti ucapannya dalam hati. Entah sudah berapa ratus kali aku mengucapkan kalimat penyambutan itu, hingga rasanya sudah hapal di luar kepala.

"Mbak, mau pesan kamar," ucap seseorang yang kudengar dari meja kerjaku.

Tanpa melihat pun aku yakin dari suara berat itu yang berbicara adalah seorang pria dewasa, tanpa harus merepotkan diri untuk memastikan. Aku tetap fokus pada perkerjaanku. Tunggu ... suara berat?

"Tumben, Pak. Reservasi kamar sendiri, biasanya Pak Yoga."

"Lagi pengin sendiri saja, siapa tahu di sini saya bisa melihat sesuatu."

Sebenarnya aku masih enggan untuk sekadar mengangkat kepala melihat atau tepatnya memastikan tamu tersebut. Sampai ... nama Pak Yoga disebut, barulah ada rasa penasaran yang menyeruak.

Aku menajamkan pendengaran untuk mendengarkan percakapan itu, ingin memastikan suara berat itu ... milik Mas Abra. Senyum manisnya adalah hal yang pertama aku lihat saat kutegakkan kepalaku, netra kami bertemu, dia dengan kemeja berwarna putih bersih, berdiri sedikit menyamping, tangan satunya bertumpu pada meja.


"Hai, Nathalie," sapanya.

Aku mengangukkan kepala, menjaga profesional dalam bekerja.

"Selamat siang, Pak Abra," balasku sedikit menarik senyum.

Hanya aku dan Tuhan yang tahu betapa gemuruhnya jantungku di dalam sana, hanya karena melihat senyum manisnya-lagi. Ah, iya. Abel! Apa dia sekarang membawa anak cantik itu?

Bibirku sudah gatal ingin menanyakan bagaimana kabar anak itu, apa sekarang dia diajak lagi ke Bandung. Namun, niatku tidak perlu aku laksanakan. Seperti bisa membaca pikiranku, Mas Abra yang entah kapan bergerak tiba-tiba saja sudah berdiri di depan mejaku.

"Adel, tidak ikut. Kemarin sedikit demam," katanya.

"Sakit apa, Ma-" Aku mengatupkan kembali bibirku, sadar dengan kata sapaan yang aku ucapkan.

"Cuma demam, sepertinya gigi geraham terakhirnya baru akan tumbuh," jelasnya.

Aku menundukkan kepala, ada rasa khawatir pada anak itu. Apa dia rewel? Apa dia menangis kencang? Atau dia tetap jadi anak baik seperti Abel yang aku kenal dua minggu lalu.

***

Aku sedang malas makan siang di Employee Dinning Room (EDR), itu sebabnya makan siang hari ini aku lewatkan begitu saja. Bukan! Bukan karena EDR-nya tidak nyaman atau menu makanannya itu-itu saja. EDR yang disediakan di hotel ini cukup nyaman dengan menu makanan yang selalu beragam. Entah kenapa rasa laparku seketika hilang saat sedang dihadapkan dengan kesibukan.

Jam kerjaku sudah selesai sejak pukul lima sore tadi, aku melirik jam di pergelangan tanganku, sudah pukul enam sore. Aku tidak langsung pulang, aku masih ingin sendirian.

Aku memutuskan untuk tinggal sejenak di kafe yang terletak di sebelah hotel. Memperhatikan hiruk pikuk orang-orang dari kaca besar yang ada di hadapanku. Ada yang baru pulang kerja sepertiku, ada yang jalan-jalan sore bersama pasangan atau bahkan keluarga.

"Ekhem ... jangan melamun!"

Suara itu menyentakku, aku sempat kesal dalam hati. Siapa, sih! Aku sudah menghindari keramaian, bisa-bisanya orang ini mengganggu saat aku menikmati 'Me time'.

Dengan perasaan kesal, aku menoleh, mengalihkan pandangan yang semula di jendela kaca sekarang beralih mencari pelaku yang tadi berdeham keras di sampingku.

"Eh, Mas Abra ...." Mataku membola, terkejut dengan sosok yang hampir saja aku umpati itu sudah berdiri dengan gagahnya.

"Boleh, duduk? Bergabung denganmu?"

Ada rasa canggung, tapi juga senang dalam waktu bersamaan. Aku hanya senyum kemudian mengangguk pelan, memberi izin Mas Abra untuk duduk di kursi kosong di seberangku.

Mati-matian aku menelan salivaku, seperti ada krikil dan pasir yang mengganjal. Jujur saja aku merasa gugup saat Mas Abra menarik kursi dan menjatuhkan tubuhnya duduk, jangan lupakan tatapan dan senyuman yang sangat ... aku sukai.

"Kamu apa kabar?" Kalimat pembuka yang Mas Abra lontarkan.

"A-aku, puji Tuhan baik, Mas." Aku salah tingkah. "Mas Abra sendiri, gimana kabarnya? Abel gimana?" lanjutku.

"Saya baik. Adel ... seperti yang saya katakan pagi tadi, dia sedikit demam."

"Tapi, sekarang sudah mendingan, 'kan, Mas?"

Ada sedikit rasa penasaran dari dalam hatiku seputar kesehatan Abel. Belum sempat Mas Abra menjawab pertanyaan dariku, seorang pramusaji datang menghampiri kami, menyimpan pesanan yang tadi aku pesan di atas meja.

"Ekhem, Mbak, pesanan saya disamakan saja dengan yang ini, ya."

Mas Abra memesan makanan yang sama denganku. Ini karena dia tidak mau ribet mencari makanan di daftar menu, atau memang makanan kesukaan kami sama? Jawabannya hanya dia yang tahu.

Sesaat aku melihat Mas Abra mengeluarkan ponselnya, netra gelapnya bertemu dengan netraku. Dia tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi, gigi taringnya pun terlihat, menambah ... ah, aku tidak bisa lagi mengungkapkannya dengan kata-kata, betapa pria di depanku ini memiliki seribu atau bahkan jutaan, miliaran pesona di mataku.

"Mau menelepon, Adel?" tanyanya yang seketika membuyarkan lamunanku mengaguminya.

"Emang, boleh?"

Dia melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Baru pukul tujuh, biasanya sih Adel belum tidur."

Mas Abra menekuri layar ponselnya, mengetik sesuatu di sana. Jangan tanya aku, apa yang dia ketik pada benda canggih itu. Jelas aku tidak tahu karena aku tidak melihatnya, aku bukan cenayang atau Tuhan.

Ponsel miliknya disimpan di atas meja, aku melihat layar yang masih menyala itu, ada foto Abel yang masih bayi yang dia jadikan wallpaper. Tak lama layarnya berkedip-kedip menampilkan foto Abel tersenyum lebar di sana. Aku terpaku pada caller id yang dia beri nama 'Abra's queen'.

Tangannya meraih ponsel, mengarahkan sedikit ke depan wajahnya. Mas Abra melakukan panggilan video.

"Papa!" seru suara nyaring itu keluar dari speaker ponsel Mas Abra.

"Halo, Sayang. Adel belum tidur?" tanyanya dengan sangat lembut.

"Aku belum ngantuk, Papa. Aku lagi main sama Mbak Rina," balasnya terdengar sangat menggemaskan.

Aku masih menyaksikan Mas Abra betelepon dengan putri kesayangannya.

"Papa ada sesuatu, yang mau papa kasih tunjuk sama Adel. Mau tahu nggak?"

"Mau, papa. Mau! Apa itu, Papa!"

Oh, sangat mengemaskan anak itu. Aku menarik senyum tinggi.

"Papa, hitung ya. Satu ... dua ... tigaaa."

"Ahh ... auntie."

Aku terkekeh sesaat, tapi ada rasa bangga terselip. Meski sudah dua minggu berlalu, bocah tiga tahun itu mengingat wajahku saat Mas Abra memberikan ponselnya padaku. Jarang terjadi bukan? Biasanya anak seusianya akan cepat melupakan.

"Hai, Abel," sapaku pada anak pintar ini.

"Hai, auntie."

Aku gemas sekali melihatnya. Dia menggenakan piama berwarna merah muda, rambutnya yang ikal dikepang dua. Aku melihat bibir mungilnya kemudian berucap, "Auntie ... aku kangen."

Aku tercenung dengan kalimat yang dia ucapkan.


Tanjung Enim, 19 Oktober 2020
Republish, 25 Desember 2021

Salam Sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro