1 🥀 Awal
Di pelataran hotel, aku berdiri menunggu kakakku mengantarkan berkas penting yang tadi ketinggalan di rumah. Demi berkas itu, aku rela melewatkan jam makan siang. Aku baru enam bulan bekerja sebagai front office di Grand Metro Hotel Bandung.
Kulirik jam tangan yang melingkar di tangan, sudah hampir lima belas menit aku menunggu.
"Adel, tunggu papa." Suara itu terdengar di belakangku. Aku tidak begitu memedulikan, sampai kakiku ada yang menabrak dan ... suara anak kecil menangis setelahnya.
"Astaga! Kamu nggak apa-apa? Orang tua kamu mana?" Aku bertanya pada anak perempuan yang dengan cantiknya mengenakan overall jeans berwarna soft blue.
Tentu saja si anak tidak menjawab pertanyaanku, dia tetap menangis.
Pandanganku menyapu sekitar, siapa tahu sang ibu anak ini sedang kebingungan mencari keberadaan anaknya. Aku menggendongnya, tangisnya sudah sedikit mereda.
"Ya, ampun, Adel. Kan papa bilang tunggu sebentar, papa mau telepon oma," ucap seorang pria yang sudah berdiri hendak mengambil alih anak yang berada dalam gendonganku.
Aku beringsut mundur, takut orang ini bukan ayah dari sang anak. Otakku memikirkan pemberitaan di televisi tentang penculikan anak yang akhir-akhir ini terjadi.
"Maaf, dia putri saya."
Aku masih bergeming meski kalimat pengakuan itu terucap dari bibirnya. Aku masih tidak percaya begitu saja. Aku meneliti wajah anak dalam gendonganku. Dia memiliki kulit putih bersihbdengan pipi gembil kemerahan. Sementara pria ini, berkulit sawo matang.
"Bapak punya bukti?" tantangku.
Bukan apa-apa, aneh saja rasanya. Seorang pria membawa anak yang masih sangat butuh ibunya. Biasanya di usia segini anak-anak cenderung masih dalam dekapan sang ibu. Sementara pria ini, mengaku sebagai ayahnya, tapi tidak kulihat istri atau seorang wanita menemaninya.
Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana, mengangsurkan ponselnya dan memperlihatkan beberapa fotonya dan anak ini. Jari telunjuknya bergulir pada layar ponsel, mataku memperhatikan tiap foto. Tidak hanya satu foto, tapi banyak sekali foto dia dan sang anak. Dari mulai baru lahir, ulang tahun pertama, hingga liburan bersama. Semua itu membuatku sangat gemas melihat anak ini dalam foto tersebut.
"Apa ini sudah cukup bukti? Atau kamu mau sekalian tes DNA?"
Aku meringis mendengarnya, rasanya tidak perlu sampai tes DNA segala. Ini sudah dari cukup. Aku menyerahkan putrinya.
"Terima kasih," ucapnya.
"Justru saya yang minta maaf, Pak." Aku mengakui kesalahanku.
Dia tersenyum, sungguh dia pria dengan senyum termanis yang pernah aku temui. Astaga! Aku bicara apa, sih?
"Kamu, kerja di sini?" tanyanya kemudian.
"Nathalie."
Belum aku menjawab pertanyaan pria yang masih berdiri dengan balita dalam gendongannya ini, tiba-tiba suara yang sangat aku kenali mengetuk gendang pendengaranku.
"Ini berkasnya. Jangan sampai ketinggalan lagi."
"Iya, terima kasih."
Kakakku beranjak meninggalkanku dan pria yang masih berdiri di depanku. Aku merasa tidak enak hati karena mengabaikannya sejenak.
"Maaf, gimana, Pak?"
Dia terkekeh. Aku mengernyitkan dahi. Aneh, emang ada yang lucu, ya?
"Jangan panggil pak, emang saya setua itu? Anak saya saja baru tiga tahun, loh," jelasnya. Lagi-lagi senyuman manis itu turut serta.
"Ah, ma-maaf, Mas?" Aku menyebutnya dengan panggilan 'Mas' yang menurutku cukup umum untuk dipakai ke orang lain.
"Kamu kerja di sini?"
"Iya, saya baru bekerja di sini. Sekitar enam bulan," jawabku.
"Oh, pantas saja saya masih asing sama kamu." Dia mengulurkan tangan kanannya. "Kenalin, saya Abra. Miguel Abraham."
Aku menyambut uluran tangan itu, "Saya—"
"Nathalie Katarina?" pungkasnya memotong.
Melalui gerakan bola mata, dia menunjuk name tag yang terpasang pada seragamku. Oh, dia membaca dari ini. Aku pikir dia cenayang bisa menerawang nama seseorang.
"B-nya apa?" tanyanya lagi.
"B?"
Maksudnya apa? Aku tidak mengerti dan hampir saja mengumpat. Aku pikir dia pria mesum, B berarti menanyakan ukuran pakaian dalam atau sejenisnya. Seperti 36B sebagai contoh. Aku menatapnya sinis.
Kulihat gerakan bibirnya, mengulangi maksud ucapannya. "Maksud saya, nama kamu Nathalie Katarina B. Kepanjangan dari B di sana apa?"
Aku malu, ingin sekali membenturkan kepalaku di dinding karena sudah berpikiran yang macam-macam. Aku menuduhnya mesum padahal aku sendiri yang berpikiran seperti itu.
"Beryl," ucapku singkat dengan menahan tawa karena ulahku sendiri.
"Artinya?"
"Permata yang memesona."
Dia mengangguk-angguk. "Sesuai dengan nama, kamu sangat memesona" tandasnya.
Oh, Tuhan. Aku tahu ini ni memang sangat klasik, sudah sering sekali dipakai laki-laki di luaran sana saat memuji nama seorang wanita, tapi tetap saja aku merasa lemah. Perutku tiba-tiba dipenuhi sesuatu yang menggelitik.
Aku melirik balita cantik yang sedari tadi dalam gendongannya, berusaha menghilangkan rasa canggung. Anak itu terlihat sudah memejamkan mata. Sepertinya kelelahan karena perjalanan.
"Putrinya cantik, siapa namanya?" Jujur saja aku penasaran dengan balita ini. Sangat menggemaskan.
"Adel," jawabnya singkat.
-o0o-
Aku kembali bekerja, tanpa sengaja aku melirik sofa yang ada di lobi ujung sana. Mas Abra duduk seraya memeluk Abel dalam pangkuannya. Entah apa yang sedang dia bicarakan dengan Pak Yoga—atasanku—karena jarak mereka cukup jauh dari keberadaanku sehingga aku tidak bisa mendengar obrolan dua pria tersebut.
Aku heran, ke mana ibunya Abel? Atau mungkin sudah berada di kamarnya? Rasanya mustahil jika dia bersantai di kamar sementara putrinya tidur dengan posisi seperti itu. Ibu mana yang tega membiarkan anaknya tidur tidak nyaman.
Otakku masih mencoba memecahkan teka-teki keberadaan ibunya Abel. Atau jangan-jangan Abel bukan anaknya Mas Abra? Maksudku anak angkat, di foto yang tadi pun aku tidak melihat adanya sosok wanita di sana. Hei, aku bicara apa, sih. Kenapa sudah sejauh itu memikirkannya.
Aku menggelengkan pelan kepalaku, mengusir yang ada di benakku. "Naon anu salah anjeun? (Kenapa kamu?)," tanya Teh Rania padaku.
"Eh, Teteh. Nggak apa-apa Teh, sedikit pusing aja." Aku beralasan.
"Kamu nggak makan siang tadi? Kamu harus makan, Thalie. Nanti asam lambung kamu bisa naik lagi," omel Teh Rania seraya mengangsurkan roti dan jus kemasan kotak.
Aku menyengir, Teh Rania adalah seniorku di sini, tapi perhatian dan kebaikannya patut aku acungi jempol. Dia tidak memandangku sebagai junior, dia banyak membantu dan membimbingku.
"Thalie, tadi aku lihat kamu ngobrol sama temennya Pak Yoga, kamu mah diem-diem punya temen pengusaha."
Aku menoleh ke Teh Rania yang berdiri di samping kananku. Pengusaha? Siapa?
"Siapa, Teh?"
"Itu si duren, alias duda keren."
Aku semakin bingung. Aku tidak merasa punya teman pengusaha apalagi dengan status duda.
"Malah ngalamun, henteu ngajawab (malah ngelamun, bukannya dijawab)," ujar Teh Rania menunggu jawaban dariku.
"Thalie ... Thalie! Itu orangnya lewat," bisik teh Rania heboh.
Aku berdiri, pandanganku yang semula terhalang meja front office, sekarang aku bisa melihat yang dimaksud Teh Rania.
"Itu ... yang jalan di samping Pak Yoga?"
Aku memalingkan wajah ke samping, menebak yang dimaksud Teh Rania adalah Mas Abra. Ia mengangguk membenarkan ucapanku.
"Teman kamu, ya?" tanyanya penasaran.
"Bukan, Teh. Aku juga baru kenal tadi. Itu aja nggak sengaja." Aku menjawab dengan jujur pertanyaan Teh Rania.
Aku memikirkan ucapan Teh Rania tentang duren alias duda keren. Aku melirik Teh Rania yang fokus pada komputernya. Ragu, tanya ... tidak? Tanya? Tidak?
Akhirnya, "Teh, tadi Ma—" Aku menjeda beberapa detik. "Maksudku, Pak Abra tadi check in sama, Teteh, ya?"
Teh Rania mengalihkan atensinya padaku. "Aku harus kasih tahu ke kamu, si duren itu nggak pernah check in sendiri. Dia tamu VVIP di hotel ini, berteman baik dengan Pak Yoga. Jadi, kalo dia ke Bandung, mau nginap di sini tinggal telepon Pak Yoga, permasalahan selesai."
Aku hanya mengangguk, bergumam mengerti. "Oh, iya, Teh. Kenapa teteh panggil Pak Abra ... duren?"
"Beliau duda beranak satu, kamu lihat sendiri tadi, 'kan? Anak kecil itu anaknya." Teh Rania menghentikan kegiatan jarinya mengklik mouse, kursinya diputar menghadapku. "Masih anget lho, baru sekitar empat atau lima bulan lalu," bisiknya takut didengar yang lain.
"NGEGOSIP BAE!" teriak Kang Rado yang sontak membuatku kaget.
"Astagfirullah, Anjeun ngan ukur ngaganggu (kamu ini mengganggu saja)," ucap Teh Rania yang sebal karena ulah Kang Rado.
"Eh, abdi gaduh gosip. Anjeun hoyong ngupingkeun teu? (Eh, aku ada gosip, mau dengar nggak?)"
"Gosip terus, gosok terus, biar makin sip," sindirku pada Kang Rado.
Kang Rado adalah seorang bell boy, dia punya kebiasaan unik, kalau tidak mengejutkan kami secara diam-diam, pasti membawa gosip yang dia dapatkan dari tamu di hotel ini.
Teh Rania tidak memedulikan Kang Rado, hanya aku yang masih membagi fokus antara komputer dan cerita yang ia bawa. Sampai akhirnya, dia tiba-tiba berlari ke pintu untuk membantu tamu yang baru saja datang. Aku dan Teh Rania kembali sibuk pada pekerjaan, cerita tentang Mas Abra. Biar nanti saja aku tanyakan.
Tanjung Enim, 05 Oktober 2020
Republish. 16 November 2023
Salam Sayang
RinBee 🐝
Face claim Mas Abra dan Abel. Unlocked!
🌹 Mingyu Seventeen as Miguel Abraham.
🌹 Park Naeun as Adelaide Hadara Abraham.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro