Part 9
Hari ke sepuluh sejak pertemuannya dengan Rafael. Queen memadamkan lampu kamar. Diambilnya kotak music snow globe pemberian Rafael, lantas ditekannya tombol di bagian bawah. Seketika, instrument musik mengalun merdu.
Queen membaringkan tubuh di atas ranjang, sementara matanya tidak pernah lepas dari snow globe yang kini memancarkan cahaya temaram warna warni. Indah, dan romantis. Instrument lembut itu dalam sekejap telah menyeret Queen pada kenangan malam itu. Saat Rafael menghujani kenikmatan untuk Queen.
Queen bahkan tidak bisa melupakan aroma mint saat Rafael melumat bibirnya. Oh, apa yang sebenarnya Queen rasakan? Ia ingin membenci Rafael, tetapi kenyataannya ia justru tidak bisa melupakan kenangan terakhir mereka.
Satu lagi yang mengganggu pikiran Queen. Kenapa Rafael tidak pernah lagi menemuinya? Barangkali Rafael merasa bosan pada Queen, karena saat itu Queen tidak membalas ciumannya. Pria brengsek seperti Rafael lebih menyukai gadis binal ketimbang gadis polos, bukan?
Awalnya Queen berpikir jika Rafael datang ke toko kue saat Queen tidak berada di sana. Namun, harapannya sia-sia ketika ia bertanya pada Nara.
"Apa kemarin ada seseorang yang mencariku?"
"Tidak." Nara memicingkan mata dan menatap Queen penuh rasa curiga. "Kau bertanya apa Tuan Rafael mencarimu, begitu?"
Queen menggeleng, memalingkan wajah untuk menyembunyikan pipinya yang memanas. "Bukan dia, maksudku customer yang lain."
"Kau merindukannya?"
"Nara, kau bicara apa, huh? Mana mungkin aku merindukan lelaki brengsek seperti dia."
"Aku sudah lama mengenalmu, Queen. Kau tidak bisa membohongiku."
"Untuk apa aku bohong? Bagiku dia hanya orang asing yang menyebalkan. Aku membencinya."
"Hati-hati, Queen. Jangan berlebihan dalam membenci seseorang, karena antara cinta dan benci memiliki sekat pemisah yang sangat tipis."
"Aish, itu hanya peribahasa."
"Queen, selama ini kau terlalu menjaga jarak dari semua lelaki. Karenanya kau tidak pandai mengenali perasaanmu sendiri. Kau jatuh cinta pada Tuan Rafael."
Queen membenamkan kepala di bawah bantal, melupakan percakapan dengan Nara siang tadi. "Tidak ... tidak ... tidak!"
Dia tidak mungkin jatuh cinta pada pria brengsek yang sering mencium sembarang wanita. Lupakan dia, Queen! Jangan pernah mengharapkan kedatangannya lagi. Dia lelaki berbahaya. Mendekat sedikit saja, sama saja kau mengumpankan diri ke dalam kandang singa.
Tepat saat Queen menyingkirkan bantal dari wajah, ponselnya berdering. Refleks ia tersenyum, tetapi senyumnya memudar ketika menemukan nama Joshua di layar ponsel. Huh, memangnya Queen berharap siapa yang meneleponnya? Rafael?
"Ya, Jo?"
"Hai, Queen. Lama tidak bertemu, kau baik-baik saja?"
Tidak, hatiku sedang kacau karena memikirkan kakakmu! "Aku baik-baik saja."
"Semalam aku baru kembali dari Swiss. Aku punya oleh-oleh untukmu. Kau punya waktu untuk bertemu denganku?"
"Aku usahakan."
"Aku menjemputmu di mana?"
"Emmm ... ngomong-ngomong aku ingin memainkan piano di rumahmu. Boleh kita bertemu di sana besok malam?"
Terdengar suara tawa di seberang sana. "Dengan senang hati, Queen! Pintu rumahku selalu terbuka untukmu. Datanglah, aku akan meminta Mama untuk mempersiapkan lasagna favoritmu."
"Thanks, Jo."
"Okay. Bye, Queen! Aku tidak sabar menunggu besok malam!"
Joshua memutuskan sambungan telepon. Queen tertegun, tidak percaya pada apa yang sudah ia katakan pada Joshua. Ia menepuk mulutnya. Lancang. Mengatasnamakan piano hanya untuk melihat Rafael? Ia bahkan hanya perlu berpikir setengah detik untuk mengambil keputusan konyol itu.
***
Untuk kedua kali, Queen berkunjung ke rumah keluarga Alexander. Elma, ibu Joshua sangat ramah menyambut kedatangan teman putranya. Di usianya yang sudah setengah baya, kecantikan Elma masih jelas terpancar dari wajahnya.
"Kata Joshua kau suka bermain piano?" tanya Elma sembari tersenyum.
"Iya, Nyonya. Tapi sayang Mama tidak mendukungnya."
"Tidak masalah, kau boleh bermain piano di sini sesuka hatimu."
"Terima kasih, Nyonya."
"Bermainlah sekarang, aku ingin menyiapkan makan malam. Jo, bisa bantu Mama?"
"Oke, Ma." Joshua mengecup pipi kanan Elma. Interaksi antara ibu dan anak yang sangat manis. Joshua terlihat begitu menyayangi Elma.
Sepeninggal Elma dan Joshua, Queen menghampiri tempat piano berada. Duduk di sana, lantas mengedarkan pandangan, mencari-cari seseorang. Akan tetapi, ia tidak menemukannya. Queen menggembungkan pipi, mengutuk kebodohannya. Ia duduk di sana, berharap Rafael kembali menemuinya. Namun, harapannya kosong.
Oke, sekarang lupakan Rafael. Queen mulai menekan tuts piano. Tak lama, instrument River Flows in You mengalun merdu. Jari-jari lentik gadis itu begitu piawai memainkan nada-nada ceria. Menekan sebuah tuts, berpindah ke tuts yang lain. Tiga menit kemudian, Queen mengakhiri permainannya.
Tatapan Queen terjatuh pada tuts-tuts piano. Mendadak, ia teringat pada instrument di music box pemberian Rafael. Kedua sudut bibir gadis itu tertarik ke atas, membentuk senyuman tipis. Terlintas dalam benaknya untuk memainkan instrument yang sama.
Queen kembali menjelajah tuts piano, nada favoritnya mengalun ke segala penjuru. Semakin lama, Queen semakin terhanyut dalam nada-nada itu.
"Kau menyukai hadiah dariku?"
Napas Queen tertahan, ia mendongak dan bertemu dengan mata lelaki yang dirindukannya. Apa? Rindu? Sebelum Quuen sempat menjawab, Rafael sudah terlebih dulu berkata, "Merindukanku?"
Queen menggeleng cepat. "Tidak."
Rafael menyilangkan kedua lengan di depan dada, sementara bibirnya tersenyum menggoda. Lelaki itu masih mengenakan setelan kerja. Kemeja putih dengan dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. Membiarkan Queen bebas menikmati bulu-bulu halus yang tersembul dari balik kemeja. Ah, dada bidang itu membuat Rafael terlihat semakin seksi.
"Kau bahkan menghafal nada-nada instrument music box itu."
"Hampir semua pianis juga tahu instrument itu."
"Tapi wajahmu terlihat ceria saat memainkannya. Akui saja, kau merindukanku."
"Ti−"
"Aku tidak suka pada orang yang menyia-nyiakan kesempatan. Jika kau menjawab tidak, maka selamanya kau akan terpuruk dalam kerinduanmu. Tapi jika terang-terangan merindukanku, maka aku akan datang padamu. Lagi."
Kalimat panjang itu seolah menyihir Queen untuk mengurungkan kata 'tidak' yang hampir keluar dari mulutnya. Ia lebih memilih untuk diam. Takut Rafael mengabaikannya? Ya, tentu saja. Astaga, Queen!
Rafael terkekeh, kemudian pergi meninggalkan Queen, tepat saat Joshua kembali ke ruang tamu.
"Kakakku menggodamu?" tanya Joshua curiga.
"Tidak."
"Apa yang dikatakannya padamu barusan?"
"Eh, dia hanya mengatakan jika ... permainan pianoku bagus."
"Syukurlah. Lain kali, jangan menanggapi apa pun yang dikatakan kakakku."
"Kenapa?"
"Dia bukan lelaki baik-baik."
"Ya, aku bisa melihatnya."
"Kau harus berhati-hati dengannya. Dia berbahaya."
Huh, percuma Joshua memperingatkan Queen, karena gadis itu bahkan jelas-jelas mengabaikan alarm tanda bahaya di dalam dirinya sendiri. Queen terlalu lemah untuk keluar dari perangkap yang disiapkan Rafael. Kedua tangan dan kakinya sudah terikat, sehingga ia tidak bisa lagi bergerak, kecuali untuk pasrah di hadapan lelaki tampan itu.
Bisa dibilang, kepolosan Queen telah membuat dirinya merasa penasaran pada Rafael. Ah, tidak. Bukan hanya penasaran, melainkan karena cinta telah membutakan mata hatinya. Queen memang tidak menyadari apakah perasaan di hatinya itu cinta atau bukan.
Ia tidak bisa berharap banyak. Sekuat apa pun ia menyangkal, jerat itu semakin kuat mengikatnya. Oke, anggaplah perasaan itu bukan cinta, bukan pula rindu. Hanya sekadar penasaran pada kenikmatan yang pernah ditawarkan Rafael.
Queen tertawa dalam hati. Sehina itukah dirinya? Tenang saja, Queen sudah terbiasa menghadapi godaan para lelaki. Ia bisa mengatasinya.
***
To be Continued
24-08-2020
Di KaryaKarsa udah sampai Part 28 ya. Ebook-nya juga ada di Play Store, atau bisa langsung WA ke 08568627278
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro