Part 22

Argh! Ingin rasanya Rafael berteriak sekencang-kencangnya. Selly hamil, bersamaan dengan Queen yang juga mengandung anaknya.
"Bukankah selama ini kau memakai kontrasepsi?" Rafael menatap Selly ragu, berharap wanita itu hanya berbohong.
"Aku melepas kontrasepsi tanpa sepengetahuanmu." Selly meletakkan test pack di atas meja.
Rafael mengacak rambut frustrasi. "Tapi kenapa, Sel? Seharusnya kau tidak melepasnya!"
"Kenapa, Raf?" Nada suara Selly meninggi. "Kita bahkan sudah merencanakan pernikahan satu tahun yang lalu. Kita memiliki harapan yang sama. Memiliki keluarga bahagia bersama anak-anak kita."
"Tapi bukan seperti ini caranya! Ini salah, Sel."
"Kekasihmu hamil dan kau menganggap ini salah? Lalu pengkhianatanmu kau anggap benar? Kau berubah sejak mengenal Queen!"
"Ini bukan milikmu, kan?" Rafael menunjuk test pack di atas meja. "Kau hanya ingin aku membatalkan pernikahanku dengan Queen."
"Kau ingin membuktikannya? Kita ke dokter sekarang! Dan kau akan melihatnya sendiri. Di dalam perutku, anakmu sedang tumbuh. Anak yang kita impikan bersama."
Anaknya. Kenapa di saat Rafael ingin sepenuhnya menjadi ayah dari anak yang dikandung Queen, ternyata ia juga memiliki anak dari wanita lain? Rafael terjebak oleh permainannya sendiri!
"Kau harus memilih salah satu, Raf! Anak kita, atau anaknya." Suara Selly terdengar gemetar. "Tapi, jika kau memilihnya, aku terpaksa akan melenyapkan bayi ini. Aku tidak sanggup melahirkan anak tanpa seorang suami."
"Sel!"
"Pilih aku, Raf! Aku yang selama ini mendampingimu. Kita sudah merencanakan banyak hal untuk masa depan kita. Kita juga saling mencintai."
Tatapan Rafael bertemu dengan mata sembab Selly. Ya, Rafael memang mencintai Selly, tapi bagaimana dengan bayi di dalam kandungan Queen? Rafael juga mencintai bayi itu! Juga bayi yang dikandung Selly. Argh! Siapa yang harus Rafael pilih?
Kenapa hidup selalu menghadirkan dua pilihan? Layaknya berada di sebuah persimpangan, dan tidak tahu ke mana arah terbaik untuk melangkah. Salah sedikit saja, kau akan tersesat.
***
Queen menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Tubuhnya terbalut gaun pengantin dengan desain simple tetapi elegan. Sementara itu, kalung berlian melingkar cantik di lehernya. Perhiasan yang dipilih Rafael memang istimewa, lihatlah bagaimana Queen menjelma seperti bidadari yang turun dari surga.
"Kau sangat cantik. Mama bangga padamu." Maura menyentuh pundak putrinya. Matanya memancarkan kebahagiaan.
"Ma, aku sedih karena harus pindah ke rumah suamiku, dan Mama tinggal sendirian." Queen memeluk Maura erat, matanya berkaca-kaca.
"Tidak apa-apa, Sayang. Lagipula rumah Rafael tidak terlalu jauh. Kau bisa sering-sering mengunjungi Mama."
"Aku sayang Mama."
"Mama juga menyayangimu. Ah ya, Mama ingin menemui saudara kita yang datang dari luar kota. Mama akan memanggil Nara untuk menemanimu di sini, menunggu prosesi pernikahan dimulai."
"Oke, Ma."
Maura meninggalkan ruangan, menyisakan Queen seorang diri. Pikirannya berkelana lagi. Jujur, ia tidak bisa mengingkari jika hari ini dia merasa bahagia. Bahkan, ia menganggap momen ini akan menjadi momen terindah dalam hidupnya.
Selangkah lagi, kehidupannya akan berubah. Ia akan menjadi bagian dari keluarga Alexander. Rafael, lelaki tampan yang diidamkan oleh banyak gadis, akhirnya takluk dalam pelukan Queen. Ah, Queen tidak pernah membayangkan sebelumnya.
Dan kebahagiaannya akan semakin lengkap ketika bayi di perutnya terlahir. Queen tersenyum, mengusap perutnya dengan lembut. Suatu saat, bayi ini akan tumbuh besar, jika laki-laki pasti wajahnya tampan seperti ayahnya, dan jika perempuan maka akan menjelma menjadi gadis cantik. Kira-kira, wajah siapa yang lebih dominan, Queen atau Rafael? Yang jelas, perpaduan dari bibit unggul pasti akan menghasilkan kualitas terbaik.
Queen meraih ponselnya dan membuka galeri. Senyumnya semakin lebar saat menemukan fotonya bersama Rafael. Mendadak ia teringat momen terakhir kali ia tidur bersama Rafael. Pagi itu, Queen terbangun saat merasakan usapan lembut di perutnya.
"Selamat pagi," ucap Rafael sembari terus mengelus perut Queen.
Jari-jari Rafael membuat Queen merasa nyaman. Tetapi, Queen tidak perlu membalas salam Rafael, karena ia tahu lelaki itu hanya menyapa bayinya.
"Kau terlihat menggemaskan saat sedang tidur," ujar Rafael lagi. "Aku sudah tidak sabar bayiku terlahir dan aku ingin menciumi wajahnya."
"Anda masih harus menunggu delapan bulan lagi." Queen menarik selimut untuk menyembunyikan tubuh tanpa busananya.
"Hemmm ... sepertinya aku perlu mengabadikan momen penting ini. Kita perlu foto bersama setiap sebulan sekali. Untuk kenang-kenangan saat aku mengucapkan selamat pagi pada anakku pada saat dia masih berada di dalam perut ibunya. Dia harus tahu bahwa ayahnya sangat mencintainya."
Rafael beringsut dan mengambil ponsel dari atas nakas. Lantas, mengaktifkan fitur kamera sembari mendekatkan diri pada Queen.
Queen semakin merapatkan selimutnya, menatap kamera dengan tidak nyaman. "Bisa singkirkan ponselnya? Saya baru bangun tidur."
"Apa masalahnya? Justru saat bangun tidur, seseorang memancarkan inner beauty-nya." Tidak menghiraukan Queen yang memprotesnya, Rafael mendekap wanita itu dengan sebelah tangan. Dalam hitungan ketiga, wajah bersisian mereka sudah diabadikan kamera.
"Sudah, satu kali saja."
"Hei, bayiku harus membiasakan diri berada di depan kamera. Saat dia besar nanti, akan ada puluhan kamera pers yang mengarah padanya. Dia bukan anak sembarangan. Aku menurunkan darah biru padanya." Sekali lagi, Rafael mengambil angle terbaik, mengecup pipi Queen dan dalam hitungan detik keromantisan itu terpampang nyata di dalam foto.
"Cukup, jangan lagi."
Rafael beringsut menjauh, menggulir layar ponsel dan mengecek hasil bidikannya. "Walau kau cemberut, tapi foto ini tidak terlalu buruk. Pasti anakku yang memancarkan aura di wajahmu. Aku akan mengirimkan foto ini ke ponselmu."
"Anda berlebihan, Tuan. Janin ini bahkan masih berupa segumpal darah, tetapi Anda begitu membanggakannya seolah dia Presiden Amerika."
"Dia bahkan lebih hebat dari Presiden Amerika. Kau tahu, rasa trauma masa kecilku masih membekas sampai sekarang. Dan aku tidak ingin dia merasakan hal yang sama sepertiku, karena itu aku akan membahagiakannya mulai dari sekarang."
"Tetap saja, bagi saya Anda terlalu berlebihan."
"Sudahlah, toh itu tidak merugikanmu. Fotonya sudah kukirim ke ponselmu. Jangan dihapus, kapan lagi kau bisa mendapatkan foto terbaik, ini momen satu bulan anakku."
Oke, kembali ke dunia nyata. Queen mengusap wajah tampan Rafael di layar ponsel. Ah, setelah prosesi pernikahan usai, Queen bisa menatap lelaki yang dicintainya hampir setiap detik. Lalu, setiap pagi ia bahkan bisa menyentuh bulu-bulu halus yang tercukur rapi di wajah berhidung mancung itu. Kebahagiaan yang sempurna.
Queen melirik jam dinding. Tinggal menunggu hitungan menit. Ayolah, ia sudah tidak sabar ingin melihat Rafael dalam balutan tuxedo putih serta jas hitam dengan setangkai mawar di sakunya. Rambutnya yang acapkali berantakan, akan ditata rapi.
Satu menit kemudian, ponsel di tangannya berdering. Nama Rafael terpampang di layar. Tanpa sadar, Queen tersenyum. Apa Rafael juga sedang memikirkan Queen dan menelepon untuk mengatakan, 'Aku sudah tidak sabar ingin mengecup keningmu. Kau pasti terlihat cantik dengan gaun pengantin yang aku pilihkan.'
"Halo," sapa Queen. Hening, tidak ada jawaban. Senyum Queen semakin lebar, barangkali Rafael gugup sehingga kehilangan kata-kata. "Halo, Tuan Rafael?"
Lima belas detik berlalu dan Rafael masih menyukai keheningan. Hingga di detik ke dua puluh, suara baritone itu terdengar. "Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini."
Refleks, senyum di bibir Queen memudar. "Maaf, apa saya salah dengar?"
"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini."
Lalu, sambungan telepon terputus. Queen mematung di tempatnya. Masih belum percaya dengan pendengarannya. Siapa pun, tolong katakan jika Rafael hanya berbohong! Atau ini hanya prank seperti yang sering ia lihat di social media, setelah ini Rafael pasti akan datang bersama keluarganya, lantas memberikan sebuah buket bunga untuk Queen. Benar, 'kan?
Queen merasakan dadanya begitu sesak. Tangannya gemetar, terulur ke meja untuk meletakkan ponsel. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan tangis. Akan tetapi, percuma. Buliran-buliran bening itu meluncur deras membasahi gaun pengantinnya. Apakah semuanya harus berakhir sampai di sini?
***
To be Continued
03-10-2020
Kalau udah penasaran, kalian bisa baca duluan di KaryaKarsa. Atau bisa juga beli ebook-nya di Play Store. Chat aku langsung juga boleh
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro