Part 20
"Queen hamil." Rafael membuka pembicaraannya di ponsel.
"Brengsek!" umpat Aldric dari seberang sana. "Sudah aku duga akan berakhir sedramatis ini."
"Apa bedanya denganmu? Lupa apa yang baru saja kau perbuat pada istrimu? Setidaknya aku mau bertanggung jawab, lain halnya denganmu. Melarikan diri ke New York seperti pecundang."
"Wait! Apa aku tidak salah dengar? Maksudnya kau akan menikahi Queen?"
"Ya. Kau tahu? Pertama kali aku menyentuh perut Queen, aku merasa bangga menjadi seorang ayah."
Aldric tertawa. "Sulit dipercaya, lelaki brengsek sepertimu, hatinya tersentuh hanya karena seorang bayi?"
"Meragukanku? Itulah keajaiban. Naluriku sebagai seorang ayah melunturkan kebrengsekanku."
"Lalu mau kau kemanakan Selly?"
"Tidak ada pilihan lain, aku akan meninggalkannya. Aku lebih mencintai anakku."
"Selly tidak mungkin semudah itu menerima keputusanmu. Dasar brengsek! Dia pasti terluka!"
"Apa aku punya pilihan lain?" Rafael bersandar di sofa, mengawasi Queen yang sedang berbincang bersama Elma. Malam itu, Rafael mengajak calon istrinya ke rumah untuk membicarakan beberapa persiapan pernikahan. Hanya itu?
Jangan sebut dia Rafael jika tidak pandai memanfaatkan situasi. Sambil menyelam minum air. Selain membahas pernikahan, tentunya ia ingin sedikit bermain-main. Joshua pasti akan merasa sakit hati melihat kedekatan antara Queen dan Rafael. Oke, melengkapi rasa sakit Joshua, hal yang sangat menyenangkan bagi Rafael.
Rafael tahu benar, meski Joshua mendukung pernikahan kakaknya, tetapi hati lelaki pecinta musik itu pasti hancur lebur, persis seperti abu. Bagus, kenapa Joshua tidak sakit jantung sekalian, agar dia mati mengenaskan dengan membawa cintanya. Huh, kejam!
"Oke, aku yakin itu memang pilihan terbaik. Tapi aku ragu apa semua itu akan berjalan lancar? Astaga, aku yakin baik Queen ataupun Selly akan sama-sama terluka. Tidak sesimple yang ada di bayanganmu, Dude! Bahkan rasanya akan lebih rumit dari masalah yang terjadi pada aku dan istriku."
"Kau menyumpahiku? Hah, bilang saja kau iri karena aku akan memiliki bayi yang menggemaskan." Rafael tersenyum sinis.
"Untuk apa aku iri? Jika aku mau, aku bisa menebar benih sekarang juga."
"Oke, tebarlah benihmu! Jika kau memiliki anak perempuan dan anakku laki-laki, ataupun sebaliknya, mungkin kita bisa menjadi besan."
"Jangan mimpi! Jika anakku perempuan, aku tidak sudi memiliki besan sepertimu. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Jika ayahnya sebrengsek dirimu, apa kabar dengan anaknya?" Aldric mengumpat.
Dan sepertinya, perdebatan kedua sahabat itu tidak akan berakhir jika saja Queen tidak menghampiri Rafael. "Mama mengajak saya makan malam di sini, Anda mau ikut?" tanya Queen.
Rafael mematikan ponsel dan mengangguk. "Tentu, mana mungkin aku membiarkan calon istriku sendirian. Di sini banyak serigala berkeliaran."
Rafael beranjak dari sofa dan menggandeng Queen menuju meja makan. Di sana, Elma dan Joshua sudah menunggu. Aroma khas daging panggang dan olahan seafood menguar memenuhi ruangan. Sajian makan malam yang menggugah selera.
"Papa masih ada meeting di luar, jadi tidak bisa menemani kita makan. Ayo, Queen. Jangan sungkan-sungkan. Sebentar lagi kau akan menjadi bagian dari kami." Elma mempersilakan.
Rafael menarik sebuah kursi, menyentuh pundak Queen dan dengan lembut menggiringnya duduk di sana. Setelahnya, ia mengambil tempat duduk di sisi wanita itu. Tidak hanya itu, Rafael juga mengambil piring dan menyendokkan nasi untuk Queen.
"Kau mau daging atau udang, Sayang?" tanya Rafael.
Sayang? Queen menghela napas, tuluskah Rafael mengucapkan itu? "Terserah Anda saja."
"Oke, kau harus makan banyak. Bayi kita membutuhkan nutrisi agar dia tumbuh besar dan tampan seperti ayahnya." Rafael memenuhi isi piring Queen dengan berbagai macam lauk dan sayuran.
Untuk pertama kali Queen mendengar kata 'bayi kita'. Biasanya, Rafael menyebut 'bayiku', seolah ia hanya menganggap bayi itu sebagai anaknya sendiri, tidak dengan Queen. Queen melirik Rafael dengan sudut mata, sekilas dilihatnya lelaki itu tengah beradu tatapan dengan Joshua. Dari sana Queen tahu, Rafael berpura-pura manis hanya untuk mengelabui adiknya.
"Bagaimana kondisi kehamilanmu, Queen?" tanya Elma.
"Rafael sudah mengantar saya ke dokter kandungan, Nyonya. Semuanya dalam keadaan sehat. Hanya saja, tiap pagi saya sering merasa mual."
"Morning sickness, itu biasa terjadi pada trimester awal kehamilan. Kau bisa meredakannya dengan minuman yang mengandung jahe."
Queen senang berbincang dengan Elma, wanita itu sangat ramah. Queen bahkan tidak yakin jika wanita seperti inilah yang telah merusak rumah tangga orang tua Rafael. Entahlah, Queen tidak berani menilai lebih jauh. Memang, apa pun alasannya, ketika ada orang ketiga masuk ke dalam pernikahan orang lain, itu jelas salah. Di setiap kali hal itu terjadi, seorang anak sudah pasti menjadi korban, terlebih Rafael.
Peristiwa yang terjadi belasan tahun lalu pasti menyisakan trauma mendalam bagi Rafael. Ibunya meninggal setelah mengetahui suaminya memiliki anak dari wanita lain. Sebagai seorang wanita, Queen bisa merasakan kesakitan itu. Jangankan pernikahan Tuan Alexander yang sudah bertahun-tahun, Queen melihat Rafael dinner dengan Selly saja, hati Queen serasa tercabik-cabik.
Beberapa menit kemudian, acara makan malam keluarga diakhiri dengan hidangan penutup. Meski Elma pandai mencairkan suasana, tetapi tetap saja kehadiran Rafael dan Joshua membuat aura ruangan itu terasa mencekam. Terlebih, Rafael berkali-kali menyuapkan makanan pada Queen. Joshua dengan terang-terangan meletakkan gelas berisi air putih dengan kasar, atau membuat dentingan keras antara sendok yang beradu dengan piring.
Lalu, Rafael justru semakin bersemangat memanjakan Queen. Mengusap sisa makanan di sudut bibir Queen, dan menyingkirkan helaian rambut Queen yang menjuntai ke wajah. Queen berteriak dalam hati. Jangan pedulikan Rafael, Queen! Lelaki itu terlalu pandai berakting.
"Malam kau menginap di sini, Sayang. Aku sudah menelepon mama mertua."
"Eh? Mama tidak mungkin memberi izin, 'kan?"
"Tidak ada yang bisa menolak permintaanku."
"Tapi—"
"Tidak apa-apa, Queen," sela Elma. "Sekarang sudah malam, menginaplah di sini. Ini rumahmu juga, jangan merasa sungkan. Aku akan menyiapkan kamar untukmu."
"Tidak perlu, Queen tidur di kamarku." Rafael menegaskan.
"Baiklah." Elma beranjak dari kursi. "Mama ke kamar dulu, mungkin kalian bertiga ingin berbincang-bincang. Selamat malam, Queen."
"Terima kasih, Nyonya."
Sepeninggal Elma, suasana meja makan begitu hening. Joshua masih duduk di tempat semula. Queen menoleh pada Rafael. "Boleh aku bicara berdua dengan Joshua?"
"Sebenarnya aku tidak suka wanitaku berbincang dengan lelaki lain. Tapi, karena ini pertemuan terakhir kalian, aku izinkan. Aku tunggu di ruang tengah. Jangan lama-lama, Sayang. Kau tahu aku tidak suka menunggu." Rafael mengecup bibir Queen, lalu meninggalkan mereka.
Hening lagi. Queen meneguk sisa air putih dari gelas. Detik selanjutnya, ia beradu pandang dengan Joshua. Pria itu tersenyum getir.
"Maaf, gara-gara aku, kau terjebak oleh permainan Rafael. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain melihat kedekatanmu dengan kakakku." Joshua mengacak rambut frustrasi.
"Jangan menyalahkan diri, Jo. Takdir yang membawaku hingga ke titik ini."
"Aku hanya ingin mengatakan satu hal. Hati-hati terhadap Rafael, dia persis seperti serigala berbulu domba."
"Tidak perlu cemas, aku bisa menjaga diri."
Joshua mengepal, menatap Queen lekat-lekat. "Kalau saja aku bisa menggantikan posisi Rafael. Tapi itu tidak mungkin. Aku tidak bisa membantah Papa yang bersikeras mengirimku ke Swiss. Awalnya, aku pikir jika Rafael bertanggungjawab, maka semuanya akan baik-baik saja. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, rupanya aku tidak bisa mempercayai Rafael. Aku takut, Queen."
Queen memberanikan diri meraih telapak tangan Joshua, lantas menggenggamnya untuk menguatkan. "Percayalah padaku, Jo. Aku menikmati kehamilanku, dan aku mempercayai Rafael sepenuhnya. Aku bisa melihat ketulusannya dalam menyayangi bayi di perutku."
"Queen, dia menyayangi bayimu, bukan dirimu. Oke, aku beritahu satu hal. Awalnya Rafael menolak bertanggung jawab, lalu Papa mengancam akan mengusirnya. Jelas, bukan? Rafael terpaksa melakukannya."
"Dia juga mengatakan tentang itu padaku, Jo. Aku tahu semuanya."
"Berjanjilah, Queen. Jika Rafael menyakitimu, katakan padaku. Biar aku yang memberinya pelajaran."
"Kenapa kau setakut itu?" Queen terkekeh. "Baiklah, akan aku pastikan pernikahan kami baik-baik saja, begitu pula dengan Rafael yang menyayangi keluarga kecilnya. Percayalah, Jo. Kehadiran seorang anak akan mampu merubah sifat buruk seseorang menjadi lebih baik."
Queen mengusap punggung tangan Joshua, menenangkan. Meski dalam hati, Queen membenarkan kalimat Joshua. Ia tidak bisa mempercayai Rafael begitu saja. Ah, sudahlah. Queen hanya bisa berharap semuanya baik-baik saja.
***
To be Continued
27-09-2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro