Part 19
Maura meletakkan sepiring sandwich dan segelas susu putih di atas meja. Sementara itu, Queen menatapnya lesu, duduk bersandar di kepala ranjang dengan kedua tangan menyilang di depan dada.
"Sejak semalam kau tidak makan. Makanlah, bayimu butuh nutrisi."
"Rafael sudah pulang, Ma?" tanya Queen lirih.
"Ya, Rafael pulang setelah sarapan bersama Mama. Dia kelaparan, sampai-sampai menghabiskan banyak sandwich. Katanya, masakan Mama enak." Maura tersenyum tipis.
"Mama senang karena dia akan menjadi menantu Mama?"
"Sayang, kenapa kau bertanya begitu? Mama menghargai niat baik Rafael untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya."
"Tapi Rafael sudah memiliki tunangan, Ma."
"Tunangan, kan? Bukan istri?"
"Rafael mencintai tunangannya."
"Dan nanti dia pasti akan mencintai istri dan anaknya."
"Aku tidak yakin, Ma. Mungkin lebih baik batalkan rencana pernikahan itu sebelum terjadi sesuatu yang lebih buruk." Queen menunduk. "Tidak apa jika aku harus pergi ke suatu tempat yang jauh, untuk menjaga nama baik Mama."
Maura duduk di sisi Queen, menarik gadis itu agar bersandar di pundaknya. "Tidak semudah yang kau pikirkan, Nak. Hamil tanpa seorang suami, beban yang kau pikul akan semakin berat."
"Aku bersedia menanggungnya, Ma."
Maura semakin erat memeluk putrinya. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia memang kecewa pada Queen, tetapi semua sudah terlanjur terjadi. Emosi bukanlah jalan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini. Terlepas dari kesalahan yang dilakukan, saat ini Queen sangat membutuhkan dukungan keluarganya.
"Tidak, Sayang. Kau satu-satunya anak Mama. Apa pun yang terjadi, sudah seharusnya Mama mendampingimu. Mama sudah banyak menikmati asam garam kehidupan. Karenanya Mama tahu, menikah dengan Rafael, itu satu-satunya keputusan terbaik. Percayalah, Sayang."
"Tapi, Ma—"
"Dengarkan Mama, Sayang." Maura membelai rambut Queen dengan lembut. "Anggaplah kau pergi jauh dari sini. Ya, nama baik Mama memang terselamatkan. Apa kabar denganmu di sana, dunia luar akan menggunjingkanmu dengan kejam. Oke, mungkin kau masih bisa melaluinya. Lalu, saat anakmu terlahir dan tumbuh besar, apa kau tega melihatnya jika orang-orang di luar sana menyebutnya anak haram?"
Queen menggeleng lemah. Air matanya bercucuran, menangis tanpa suara. Ya, bukankah lebih baik jika anaknya tumbuh dengan didampingi kedua orang tuanya? Sekarang, Queen tidak punya pilihan lain, menikah dengan Rafael.
***
"Mama sudah menyiapkan kamar untukmu, Raf. Jangan tidur di kamar Queen," kata Maura saat malam itu Rafael kembali datang.
"Terima kasih, Ma. Tapi aku harus menemui Queen dulu, kami akan membicarakan sesuatu yang penting." Dengan bersemangat Rafael menaiki anak tangga dan melangkah cepat menuju kamar Queen.
Sejak beberapa jam lalu, ia sudah tidak sabar ingin menemui bayinya. Meski masih di dalam perut bayinya, tapi bagi Rafael sama saja, seolah bayi itu sudah berwujud nyata.
"Selamat malam," ucap Rafael, tersenyum singkat.
"Memberikan ucapan untuk si bayi lagi?" sindir Queen. Gadis itu duduk bersandar di kepala ranjang—posisi ternyaman sejak pagi ketika ia bersantai di kamarnya. Telapak tangan kanannya berada di pipi.
"Selamat malam, ibu dari anakku." Rafael menekankan kalimatnya. Tidak ada salahnya memberikan ucapan itu sebagai tanda Rafael menghargai Queen karena sudah mengandung anaknya.
Rafael mendesah, tidak tega melihat wajah lesu Queen. Wajah dan bibir gadis itu terlihat pucat, rambutnya tidak serapi hari-hari biasa. Lalu, kelopak matanya masih sedikit bengkak efek terlalu banyak menangis. Meski begitu, Queen tetap terlihat cantik.
"Katakan apa yang ingin Anda katakan, lalu tinggalkan kamar saya."
"Ada banyak yang ingin aku bicarakan. Tapi sebelumnya, boleh aku menyapa bayiku dulu?" Rafael melemparkan jas hitamnya ke kursi, lalu melonggarkan dasi dan tanpa izin naik ke atas ranjang.
"Anda bisa duduk di kursi, tidak perlu ke—"
"Selamat malam, Baby." Rafael merunduk dan mengecup perut Queen. "Malam ini Papa akan menemanimu tidur lagi. Papa menyayangimu."
Queen tersenyum sinis. "Sulit dipercaya, pria brengsek seperti Anda bisa bersikap manis seperti ini. Sedang memasang perangkap lagi?"
"Jangan berprasangka buruk."
"Bagaimana tidak berprasangka buruk, baru dua hari yang lalu Anda mengancam saya untuk memastikan bayi yang saya kandung bukan anak Anda."
Rafael mendengus. "Harusnya kau bersyukur karena aku berubah pikiran."
"Secepat itu?"
"Nasehat Papa yang membukakan mata hatiku. Lalu, saat melihatmu dan menyadari ada bayiku yang sedang tumbuh di dalam sana, aku bahagia."
"Lalu bagaimana dengan Selly?"
Rafael mengacak rambut frustrasi. Pertanyaan yang sulit dijawab. "Selly hanya sebatas wanita yang singgah dalam hidupku. Aku memang mencintainya, tapi ada yang lebih pantas mendapatkan cintaku. Anakku, darah dagingku."
"Sulit dipercaya. Anda mampu meninggalkan orang yang Anda cintai? Maaf, Tuan. Saya meragukan pernikahan ini."
"Apa yang membuatmu ragu? Kalau tidak percaya, aku akan menelepon Papa. Papa bahkan sudah membicarakan ini dengan Mama mertua."
"Saya takut ketika kita sudah menikah nanti, tetapi Anda tidak bisa melepas Selly."
Rafael tertawa, ketakutan Queen cukup masuk akal. "Aku bersumpah tidak akan membawa masuk wanita lain ke dalam pernikahanku. Aku tidak ingin membuat anakku menderita. Apa yang pernah terjadi padaku, aku pastikan tidak akan pernah terjadi pada anakku."
"Maksud Anda?"
"Kau sudah tahu, bukan? Kenapa aku tidak menyukai keluargaku? Aku membenci pelacur yang sudah membuat pernikahan orang tuaku berantakan, lalu Mama dan aku menjadi korban." Rafael menghela napas kasar. "Trust me, aku tidak akan bermain-main dengan pernikahan."
Queen memicingkan mata. "Bagaimana mungkin Anda rela meninggalkan wanita yang sudah bertahun-tahun Anda cintai, hanya untuk wanita asing yang kebetulan terjebak dengan Anda."
"Dan wanita asing itulah ibu dari anakku."
Queen menggigit bibirnya, sebisa mungkin menyembunyikan senyum yang hampir terulas di bibirnya. Seketika, wajahnya memanas. Kenapa kalimat terakhir Rafael membuat hatinya menghangat? Itu seperti sebuah pujian yang melambungkan Queen menuju langit ke tujuh. Menjadi ibu dari anak-anak Rafael, sangat manis, bukan?
"Pembicaraan selesai, Anda bisa pergi ke kamar yang disiapkan Mama." Queen mengallihkan pembicaraan. Ia tidak bisa terus-terusan berada di dekat Rafael. Queen bergegas berbaring membelakangi Rafael, menyembunyikan wajahnya yang memanas, rona merah pasti sudah menjalari kedua pipinya sejak tadi.
"No. Aku ingin tidur dengan anakku lagi." Tidak butuh persetujuan Queen, Rafael berbaring sembari melingkarkan lengan di pinggang Queen. Sementara wajahnya menyuruk di leher gadis itu.
"Tolong pergilah, Tuan."
"Sssst ... tidurlah. Kau butuh istirahat agar anakku sehat."
Wanita hanya makhluk lemah ketika mendengar kata-kata manis dari mulut lelaki. Sama halnya dengan Queen, ia pernah lengah hingga akhirnya masuk ke dalam perangkap Rafael. Dan sialnya, mereka terjebak bersama-sama.
Seharusnya Queen belajar dari pengalaman, tetapi hati memang tidak bisa dibohongi. Sepandai-pandainya menipu diri, toh kenyataannya Queen tetap saja terbuai oleh rayuan itu. Lagi. Debaran lembut itu tetap terasa saat lengan kokoh Rafael mendekapnya. Aroma musk bercampur feromon itu tetap memabukkan. Argh, cinta, sialan!
Aku bersumpah tidak akan membawa masuk wanita lain ke dalam pernikahanku. Aku tidak ingin membuat anakku menderita. Apa yang pernah terjadi padaku, aku pastikan tidak akan pernah terjadi pada anakku.
Queen tersenyum. Janji termanis yang pernah ia dengar. Dari lelaki yang ia cintai. Ayah dari anaknya. Katakan, wanita mana yang tidak bahagia ketika mendengar itu? Rafael melakukan tindakan yang benar, bukan? Ia belajar dari pengalaman masa kecilnya.
Namun, kebahagiaan Queen dihempas dalam hitungan detik. Ponsel Rafael berdering. Masih dengan sebelah tangan yang mendekap Queen, Rafael mengangkat telepon. Dan suara di seberang sana terlebih dulu menyambut.
"Sayang, aku lapar."
"Hem? Malam ini aku tidak bisa datang, ada pertemuan penting dengan klien. Delivery order saja, oke?"
"Tidak, tidak. Aku merindukanmu. Kalau begitu aku tunggu sampai urusanmu dengan klien selesai."
Queen ingin melepaskan diri dari pelukan Rafael, tetapi lelaki itu justru semakin erat mendekapnya. Kalau begitu, apa bedanya dengan Rafael dengan Tuan Alexander yang mengkhianati istrinya? Sekarang, Queen merasa seperti wanita simpanan Rafael. Apa-apaan ini?
"Tidak bisa, Baby. Aku tidak bisa memastikan jam berapa aku pulang. Bahkan mungkin sampai pagi aku di sini."
Baby? Ugh! Queen memberontak, namun tenaganya tidak ada apa-apanya dibanding kekuatan lengan kokoh Rafael.
"Oke, Sayang. Aku tidak menunggumu kalau begitu. Tapi besok malam kau harus datang dan bermalam di sini. Miss you."
"Jaga diri baik-baik. Sebelum tidur, pastikan pintu dan jendela dalam keadaan terkunci. Good night, Baby!" Rafael mengakhiri sambungannya.
"Tinggalkan kamar saya!" seru Queen.
"Cemburu, eh?" Bukannya melepaskan, Rafael justru membalik tubuh Queen hingga posisi mereka saling berhadapan.
"Menjijikkan. Akui saja, Anda tidak bisa berhenti mencintai Selly."
"Queen, aku akan meninggalkan Selly, tetapi secara bertahap. Aku tidak bisa serta merta memutuskan hubungan detik ini juga. Selly orang yang keras kepala, aku butuh waktu untuk membuatnya mengerti keadaan ini."
"Bagaimana jika ia tidak mengerti juga?"
"Aku tetap akan meninggalkannya, tolong beri aku waktu untuk membicarakan ini dengannya."
Queen tertawa hambar. "Kenapa di sini saya terlihat seperti seorang wanita yang sedang mengemis cinta? Pergilah dengan Selly, saya bisa menjaga diri saya sendiri. Lepas!"
"Berhenti memberontak, Queen. Kau hampir membangunkan singa tidur," ucap Rafael dengan suara serak. "Tidurlah, aku sedang menahan diri. Jangan biarkan aku lepas kendali, hem?"
Ancaman Rafael membuat Queen patuh. Wanita itu pun membiarkan Rafael mendekapnya dengan erat. Dan itu terasa nyaman.
"Biarkan tetap seperti ini sampai besok pagi. Biarkan anakku mengenal ayahnya yang paling hebat."
"Pemaksa," desis Queen kesal.
***
To be Continued
24-09-2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro