Part 18
Rafael mengunci pintu kamar Queen, lantas melangkah perlahan menuju ranjang. Ia tidak ingin membangunkan gadis yang sedang terlelap. Sepertinya Queen lupa mematikan lampu utama, sehingga kamar bernuansa pink itu terlihat terang.
Tatapan Rafael tertuju pada boneka kelinci dan music box di atas meja kecil tepat di samping ranjang. Rafael tersenyum pahit. Bahkan setelah Rafael melukainya, Queen tetap menyimpan barang pemberian Rafael? Apa Queen sangat mencintai Rafael? Atau memang gadis itu berhati lembut sehingga tetap mempertahankan benda pemberian Rafael, tidak peduli meski ia sudah terluka.
Rafael melangkah semakin dekat ke arah ranjang. Dengan hati-hati, ia naik ke sana, duduk di bagian sisi ranjang yang kosong. Ditatapnya tubuh lemah Queen. Gadis itu berbaring telentang, mengenakan celana jeans selutut serta kaos longgar berwarna putih. Tatapan Rafael beralih pada wajah sayu di hadapannya.
Rafael membungkuk, menatap wajah Queen dari jarak yang sangat dekat. Wajah berkulit halus itu memperlihatkan sisa-sisa air mata yang sudah mengering. Rafael menyingkirkan sehelai rambut yang menjuntai di wajah gadis itu. Queen pasti sangat terpukul dengan kejadian ini. Lihatlah bagaimana Queen lupa mengganti celana jeans-nya dengan piyama. Atau bahkan mungkin Queen tidak mengganti baju sejak pagi.
Mungkin Queen lelah menangis, sampai-sampai ia tertidur begitu lelap hingga tidak menyadari kehadiran Rafael. Tangan Rafael terulur, mengambil benda kecil dari genggaman Queen. Tanpa sadar ia tersenyum saat melihat dua garis merah, pertanda jika bayinya tengah bersemayam di rahim sang ibu.
Ada getaran lembut yang terasa di hatinya. Perlahan, ia membungkuk dan memberikan kecupan lembut di perut Queen. Beginikah rasanya menjadi calon ayah?
"Selamat malam, Nak. Bagaimana kabarmu hari ini? Papa bahagia bisa menyapamu. Baik-baik di dalam perut ibumu, ya?"
Ah, alangkah bahagia bisa menyapa calon anaknya. Rafael mengerjap, matanya berkaca-kaca. Senyumnya semakin lebar. Dan tanpa membuang waktu, ia membuka kemejanya—salah satu kebiasaannya saat tidur—dan melemparnya ke sembarang arah. Ia ingin tidur sembari mendekap calon anaknya.
Rafael berbaring di sisi Queen, beringsut semakin dekat, lantas melingkarkan lengan kokohnya di atas perut wanita itu. Sekali lagi, ia membelai perut itu dengan hati-hati. Ia menyayangi anaknya.
Jika beberapa jam lalu ia terpaksa mengambil keputusan untuk menikahi Queen hanya karena takut melepas gelar Alexander, namun sekarang tidak lagi. Alasannya, ia bangga menjadi seorang ayah. Bayangan bayi lucu dan tawanya yang menggemaskan, melintas di benaknya. Seperti apa rupa wajah anaknya nanti? Tampan seperti Rafael, atau cantik seperti ibunya? Atau perpaduan keduanya? Entahlah, yang jelas Rafael Alexander pasti akan menghasilkan bibit unggul.
"Selamat malam, Nak," gumam Rafael. Matanya terpejam, rasa nyaman saat mendekap Queen membuat Rafael cepat terlelap dan terbawa ke alam mimpi. Melupakan segala beban hidupnya, ah ... Rafael belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.
"Papa! Tangkap bolanya!"
Rafael menangkap bola putih yang digelindingkan oleh bocah lelaki berumur empat tahun. "Yeah, anak Papa memang hebat! Hug me, please!" Rafael merentangkan kedua lengannya.
Bocah lelaki itu tertawa, lantas berlari cepat menuju ke pelukan ayahnya. "Love you, Papa!"
"Love you more, My Son!" Rafael memberondong wajah putranya dengan kecupan hingga bocah lelaki itu terkikik geli. Ah, Rafael sangat menyayangi putranya.
***
Queen mengerjap, terbangun dari tidurnya yang lelap. Malam ini terasa berbeda. Kehangatan dan kenyamanan itu melingkupi hampir seluruh tubuh Queen. Ya, tidur ternyaman sepanjang sejarah hidupnya. Dekapan lengan kokoh itu—
Tunggu dulu! Dekapan? Seseorang mendekapnya? Sekuat tenaga Queen mengumpulkan kesadaran. Benar saja, ia menemukan lengan berotot itu sedang memeluknya dengan erat. Queen bergegas menyingkirkan tangan itu dan beringsut menjauh.
Merasakan pergerakan Queen, Rafael membuka mata dan berkata dengan santai, "Sudah bangun?"
Mata Queen membulat sempurna. "Anda!"
"Selamat pagi."
"Saya tidak butuh ucapan selamat pagi." Queen turun dari ranjang, memeriksa pakaian yang dikenakan. Masih lengkap.
"Aku tidak sedang menyapamu, tapi sedang menyapa bayi di perutmu." Masih dengan posisi berbaring, Rafael mengusap rambutnya. Meski sudah menyerobot masuk ke dalam kamar Queen, wajahnya terlihat datar dan tidak merasa bersalah.
"Apa yang Anda lakukan di sini?"
"Aku ingin tidur dengan anakku, apa itu salah?"
"Tidur dengan anak dengan bertelanjang dada seperti itu?" Queen memalingkan wajahnya yang memanas. Dada bidang serta pahatan otot di perut Rafael membuat gadis mana pun akan salah fokus saat melihatnya. Lalu lengan kekar yang semalam memberikan kehangatan itu—
"Aku tidak suka memakai baju saat tidur. Tapi tenang saja, malam ini aku tidak melepas celanaku."
"Bagaimana Anda bisa masuk ke sini? Mama—"
"Mama mertua yang membukakan pintu. Memangnya kau pikir aku masuk dari jendela seperti pencuri, begitu?"
Queen memijit keningnya. Apa yang terjadi kali ini sangat sulit dimengerti. Rafael yang awalnya menolak kehamilan Queen, mendadak ingin tidur dengan anaknya. Lalu, bagaimana mungkin Maura membiarkan lelaki masuk dan tidur bersama dengan putrinya?
"Apa saya sedang berhalusinasi?" Queen menatap Rafael dengan lesu. Jika memang hanya berhalusinasi, kenapa wajah Rafael terpampang begitu jelas di depan matanya? Seperti biasa, dengan hidung mancung serta kumis dan janggut yang tercukur rapi, Rafael terlihat begitu menawan.
Bahkan di saat Queen membenci Rafael pun, ia masih saja terpesona oleh garis-garis wajah yang membuatnya takluk pada lelaki bertubuh tinggi tegap itu. Argh! Rafael dengan sejuta pesonanya!
Rafael beranjak dari ranjang, turun mendekati Queen. Berdiri tegak di depan Queen, lalu merunduk dan mengecup singkat bibir gadis itu. "Apa sekarang masih terlihat seperti halusinasi?"
Queen membelalak sembari menyentuh bibirnya. Kecupan itu terasa begitu nyata, mengalirkan desiran halus ke seluruh pembuluh darahnya. Lelaki itu benar Rafael, bukan sekadar bayangan. Lihatlah bagaimana Rafael tersenyum. Rambut berantakannya justru semakin membuat ketampanan wajahnya bertambah dua kali lipat.
Jantung Queen berdegup kencang. Oh, sesuatu bernama cinta memang kurang ajar! Queen ingin membenci Rafael, tetapi kenapa debaran itu tidak musnah juga? Berdiri dengan jarak sedekat itu, aroma feromon yang menguar dari tubuh Rafael begitu memabukkan.
"Apa sebegitu mudahnya ciuman Anda berpindah dari satu wanita ke wanita lain?"
"Apa salahnya mencium calon istri sendiri?"
"Bahkan dengan entengnya menyebut saya calon istri, sementara Anda sudah memiliki kekasih?"
"Mama mertua meminta pertanggungjawaban. Papa akan mendepakku jika aku sampai menolak. Lalu aku harus bagaimana?"
"Jadi Anda ingin menikahi saya karena paksaan orang tua kita?"
"Tentu saja tidak. Aku menikahimu karena aku menyayangi anakku."
"Saya tidak paham."
"Hidup ini memang rumit. Ikuti saja alurnya," jawab Rafael santai. "Sudahlah, aku lapar. Apa sepagi ini Mama mertua sudah menyiapkan sarapan?"
"Saya belum selesai bicara."
"Kita bicara lagi nanti malam, dari kantor aku pulang ke sini."
"Ini bukan rumah Anda dan saya tidak ingin Anda pulang ke sini!"
"Kenapa? Takut tergoda lagi?"
"Saya membenci Anda, Tuan Rafael!"
"Aku mencintai anakku, dia milikku dan aku berhak mengunjunginya kapan pun."
"Tapi—"
"Aku lapar, Queen. Beri aku kesempatan untuk mengisi perut." Rafael meraih kemejanya yang tergeletak di ranjang dan mengenakannya sembari berjalan ke pintu.
Queen mengacak rambutnya. Masih belum bisa mencerna kejadian yang sedang ia alami, terutama sikap aneh Rafael. Jadi, apa yang sebenarnya diinginkan Rafael? Menikahi Queen? Lalu bagaimana dengan kekasihnya? Apa Rafael rela meninggalkan wanita yang dicintainya hanya untuk wanita asing yang terjebak dengannya? Oh, sulit dimengerti.
Queen pernah berharap Rafael mengakui bayi di rahimnya sebagai anaknya. Akan tetapi, entah kenapa detik ini Queen ingin berlari sejauh-jauhnya dari Rafael. Queen takut berada di dekat pria berkuasa seperti Rafael! Bagaimana ini?
***
To be Continued
22-09-20
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro