Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 14

***

"Mama!" Rafael kecil mengguncang tubuh Mama yang terbujur kaku. "Bangun, Ma! Rafael takut sendirian!"

Percuma Rafael berteriak sekuat tenaga. Sekalipun ia menangis hingga air matanya habis, Mama tidak akan pernah terbangun lagi. Mama telah pergi untuk selamanya, setelah siang tadi penyakit jantungnya kambuh.

"Mama! Aku tidak ingin tinggal dengan ibu baru! Aku hanya ingin Mama! Bangun, Ma! Bangun!" Teriakan Rafael semakin kencang saat Nona Elma menyentuh pundaknya, lalu membawa Rafael mundur beberapa langkah.

Saat brankar mulai didorong suster, Rafael mencoba menggapai tubuh Mama lagi, tetapi Nona Elma menahan gerakan Rafael. Rafael mencoba memberontak. Namun, ia tidak memiliki kekuatan sedikitpun. Selama ini, satu-satunya sumber kekuatannya hanyalah Mama. Dan sekarang, saat Mama harus pergi, ke mana lagi Rafael harus mendapatkan kekuatan itu?

"Mama! Kenapa Mama tega meninggalkan aku sendiri? Kenapa Mama tidak mengajakku pergi? Rafael ingin pergi bersama Mama! Tunggu Rafael, Ma!" Rafael ingin melanjutkan kata-katanya, tetapi mendadak ia tidak bisa bicara seperti orang gagu. Terisak kencang hingga rasanya isakannya tidak bisa berhenti. Dan dadanya mulai terasa sesak.

"Tenang, Rafael. Kau tidak sendiri, masih ada kami." Nona Elma mengusap punggung Rafael, menenangkan.

Masih ada kami?

Rafael berteriak histeris, tidak kuat menyaksikan tubuh kaku Mama yang semakin menjauh. Perlahan, ia mendongak dan menatap wajah Nona Elma dengan ekspresi penuh kebencian, seolah ingin memprotes. Kami? Aku tidak ingin menjadi bagian dari kalian!

Aku membencimu, Nona Elma! Aku membencimu! Kau yang membuat penyakit Mama kambuh dan harus berakhir seperti ini! Semua ini gara-gara kau dan bayimu!

Kalau saja Rafael mampu berucap, maka kalimat itu yang ingin ia teriakkan pada dunia. Ya, kalau saja Nona Elma tidak datang ke rumah dengan menggendong bayinya, dan meminta pengakuan bahwa bayi bernama Joshua itu adalah putra Papa.

Ah, sejak pertengkaran waktu itu, Rafael pikir keadaannya sudah membaik. Nona Elma yang sedang hamil tidak pernah datang ke rumah lagi. Rafael pun tidak pernah melihat Papa dan Mama bertengkar. Semuanya terlihat baik-baik saja.

Sampai tadi siang, Nona Elma datang lagi bersama bayinya, menyodorkan selembar kertas pada Mama. "Tes DNA membuktikan putraku benar anak kandung suamimu."

Hanya butuh waktu beberapa detik bagi Mama untuk menatap tulisan di kertas sialan itu, lantas Mama memegangi dada kirinya hingga akhirnya ambruk tidak berdaya. Rafael yang saat itu mengintip dari celah pintu, berteriak dan berlari menghampiri Mama.

Namun, keberuntungan tidak sedang berpihak pada Mama. Mama lelah dan memilih untuk menyerah pada kematian. Rafael bisa apa selain memprotes pada bayangan Mama di kejauhan sana?

Kenapa, Ma? Kenapa Mama tidak bertahan, hah? Kenapa membiarkan Rafael hidup bersama Papa dan Nona Elma? Kenapa Mama memberikan kesempatan pada Nona Elma untuk menggantikan posisi Mama di dalam hidup Papa? Rafael benci Nona Elma dan putranya!

Dan setelah dewasa, Rafael tahu kenapa Mama ditakdirkan untuk menyerah. Sejak kehadiran Nona Elma dalam hidup Papa, Mama tidak pernah bahagia lagi. Pun saat Rafael kecil berpikir semuanya baik-baik saja karena Mama dan Papa tidak pernah bertengkar lagi, Rafael dewasa akhirnya tahu. Bukan hidup Mama yang baik-baik saja, hanya saja Mama menyembunyikan rasa sakitnya dari Rafael.

Mama yang selalu tersenyum di depan Rafael, meski dalam kesunyian harus menangis seorang diri. Mama yang selalu bertahan di samping Papa hanya demi kebahagiaan Rafael. Papa dan Mama yang selalu menyembunyikan pertengkarannya, hanya untuk melenyapkan ketakutan di dalam benak Rafael.

Dan semua kebohongan itu akhirnya terbuka, saat Nona Elma datang dan meminta pengakuan, bahwa Joshua adalah bagian dari keluarga Alexander. Lantas, dalam sekejap bom waktu itu pun meledak, menghancurkan Mama. Akhirnya, Mama menyerah. Kalah. Hancur tidak bersisa.

***

Rafael mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Malam itu, jalanan ibukota cukup padat. Sembari mendengarkan musik yang mengalun lembut, dengan sabar Rafael mendengarkan Selly yang sejak tadi tidak berhenti mengoceh.

"Kita ke mana?" tanya Selly, wajahnya terlihat sumringah.

"Restoran Jepang."

"Merindukan sushi favoritmu? Yah, padahal aku ingin menonton di bioskop. Bagaimana kalau dinner-nya nanti saja?"

"Sekarang, Sel. Aku lapar."

Selly tertawa. "I know. Kau pasti lapar setelah menghabiskan tenagamu tadi. Ah, Raf. Belakangan ini kau terlalu bersemangat saat melakukannya denganku. I like it."

Rafael hanya tersenyum singkat sembari mengangkat bahu. Tentu saja ia tahu apa yang sedang dibicarakan Selly. Percintaan mereka beberapa menit yang lalu. Gila, rasanya Rafael tidak ingin mempercayainya. Ya, ia begitu bergairah sampai-sampai Selly dibuat takluk olehnya. Hanya saja, satu hal yang tidak Selly tahu. Rafael membayangkan gadis lain ketika melampiaskan hasratnya pada Selly.

Gila, bukan? Rafael mencintai Selly, tetapi bayangan percintaannya dengan Queen tidak bisa ia lupakan begitu saja. Desahan dan erangan lembutnya, wajah polos yang tersipu malu, serta kulit lembut di mana Rafael meninggalkan banyak jejak kepemilikan di sana.

Yang paling tidak bisa dilupakan, saat Rafael menghunjamkan dirinya jauh ke dalam tubuh Queen, begitu lembut tetapi panas, mencengkeram Rafael dengan begitu erat, membawa Rafael melayang setinggi-tingginya. Kenikmatan yang tidak akan Rafael dapat dari gadis manapun.

"Damn," desis Rafael. Tidak seharusnya ia membayangkan Queen saat sedang bercinta dengan Selly. Rafael merasa bersalah.

Malam itu, suasana restoran jepang cukup ramai. Hampir semua kursi penuh oleh pengunjung. Rafael dan Selly berjalan bergandengan, mengambil tempat duduk kosong di sudut ruangan.

"Mau pesan sushi yang seperti biasa, Sayang?" tanya Selly saat waiter membawakan buku menu.

"Ya," sahut Rafael singkat. Tidak perlu menyebutkan apa saja yang ingin dia makan, Selly sudah tahu semua makanan favorit Rafael. Restoran ini salah satu tempat langganan Rafael, karena menyajikan menu lengkap dengan rasa yang tidak mengecewakan.

Rafael memijit kepala menggunakan sebelah tangan. Belakangan ini ia sering merasakan pusing. Barangkali efek pekerjaan di kantor yang menumpuk, belum lagi ia juga harus memperhatikan Selly. Semenjak kepulangannya dari liburan di luar negeri, Selly semakin manja, tidak suka diabaikan. Selalu meminta Rafael agar menyempatkan diri datang ke apartemen, meski hanya untuk mengantarkan satu porsi menu makan malam.

Suasana restoran semakin ramai. Di sisi kanan meja Rafael, dua orang pria—yang nampaknya berkewarganegaraan Jepang—berbincang dengan bahasa mereka. Pembicaraan serius tentang bisnis, tetapi Rafael tidak tertarik mendengarkannya. Entahlah, Rafael lebih suka mendengar obrolan dua orang gadis yang duduk di belakangnya.

"Kau sudah menghabiskan empat porsi, astaga! Dan kau ingin menambah satu porsi lagi?"

"Ayolah, aku masih lapar."

"Aku masih ingat, waktu SMA kau bilang tidak suka makan ikan mentah. Hanya mencium sushi saja kau hampir muntah. Lalu, sekarang seleramu berubah, begitu?"

"Aku mendengar dari salah satu pelanggan toko kue, katanya sushi di sini rasanya enak."

"Jadi karena itu kau mengajakku makan di sini? Hanya di sini, tidak mau sushi di tempat lain. Ya Tuhan, kau banyak berubah. Bertahun-tahun aku mengenalmu, baru kali ini kau tidak keberatan menghabiskan uang banyak hanya untuk satu kali makan."

"Aish, tenang saja, Ra. Aku yang membayar semua."

"Tunggu dulu, apa memang belakangan ini porsi makanmu bertambah, hah? Tubuhmu semakin gemuk, Queen. Lihat pipimu yang bertambah chubby."

Queen? Rafael mengerutkan dahi. Apa ia tidak salah dengar? Apakah gadis di belakangnya adalah Queen yang sama? Rafael menoleh ke belakang, dan ia pun menghela napas kasar. Pantas saja, Rafael merasa tidak asing dengan suara-suara mereka.

Sialnya, mata Rafael harus bertemu dengan tatapan gadis itu. Queen meletakkan sumpitnya, urung membawa sushi ke dalam mulutnya. Di meja mereka, terdapat beberapa piring kosong serta piring yang masih terisi penuh. Benar yang dikatakan Nara, Queen terlalu banyak menyantap menu makan malamnya.

Tatapan mereka hanya beradu sejenak, karena detik selanjutnya Queen menunduk, sementara Rafael memalingkan wajahnya. Kembali menatap ke depan, di mana Selly sudah selesai memesan menu makan malam mereka.

"Sudah, Baby?" tanya Rafael, sekadar menghilangkan rasa gugupnya. Satu bulan sejak malam panas itu, Rafael pikir ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan Queen.

Ya, tentu saja Rafael tidak ingin bertemu lagi. Keinginannya sudah selesai, dan ia merasa puas bisa melihat Joshua hancur. Benar, Joshua hancur setelah tahu bahwa kakaknya telah menggagahi gadis yang dicintainya. Hampir setiap malam Joshua menghabiskan waktu untuk pergi club dan pulang dalam keadaan mabuk.

Piano di rumahnya tidak tersentuh lagi. Dan ia tidak berani lagi mendekati Queen. Bukan berarti Joshua tidak bisa menerima kondisi Queen yang sudah kehilangan kesuciannya. Hanya saja, Joshua tidak ingin Rafael semakin menghancurkan Queen jika Joshua masih mendekatinya. Entahlah, Joshua hanya tidak tahu harus mengambil keputusan seperti apa.

Rafael tersenyum miring. Sejak dulu Joshua memang pecundang, bukan? Joshua tidak pantas menjadi bagian dari keluarga Alexander! Joshua tidak sepatutnya terlahir ke dunia!

Rafael mengepalkan kedua tangan. Rasa sakit karena kematian Mama masih tersimpan rapi di hatinya.

***

To be Continued
13-09-2020

Akhir bulan ini FALLEN Open PO, nanti sekalian TRAPPED juga mau cetak ulang. Yang kemarin kehabisan, bisa order nanti ya

❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro