3). Prelude: Jason Mahendra
Lo pada pernah nggak, sih, punya abang kalem, tapi pesona dia malah bertambah hingga dua kali lipat gara-gara kekaleman itu?
Dulu suka nggak percaya, trus nggak mau percaya, dan pada akhirnya terpaksa percaya. Gimana mau terima, coba? Di mana-mana, tuh, ya, pesona cowok identik dengan bergaya keren atau minimal lo bisa langsung tahu dari auranya. Lihat aja di tipi-tipi--eh, nggak usah jauh-jauh, deh. Lihat aja gue. Pakaian gue selalu up to date. Macam anak band gitulah kalau hang out sama temen-temennya; kaus bermerek, jaket yang selalu dicocok-cocokin sama warna sneakers, hingga celana denim. Oh, iya. Jangan lupa piercing yang menghiasi telinga gue. Soal rambut, udah pasti gue sisir rapi dengan bantuan hair styling gel, trus pada bagian surai yang paling depan, bakal gue atur sedemikian rupa hingga berbentuk comma. Itu, loh, macam Park Seo-Joon dalam drama What's Wrong With Secretary Kim. Gue terinsipirasi dari dia, betewe. Muehehe....
Oke, balik lagi ke si abang. Intinya, gue nggak habis pikir dengan selera cewek-cewek yang masih demen sama dia, padahal mereka nggak tahu aja yang namanya Julius Mahendra itu terlahir jadi bucing. Iya, bucing--budak kucing. Sayang aja, sih, menurut gue. Masa iya, lo bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk merawat mereka sepenuh hati seperti anak sendiri. Kalau kedelai hitam ya, iya. Worth it. Itu budidaya, loh, masih menghasilkan cuan. Coba kalau Bang Julius. Beh. Dia beruntung aja karena terlahir nggak kismin-kismin, eh, kismis-kismis--eh, apaan sih? Pokoknya dilahirkan di keluarga kaya, so nggak usah cemas kalau mau jadiin kamar gedenya sebagai panti.
Intinya, dia sesuka itu sama kucing sama halnya dengan gue yang menganggap game sebagai bagian penting dalam hidup gue. Begitulah adanya, tidak sedikit yang menghakimi kesukaannya tetapi herannya, tetap aja dia mempunyai daya tarik tersendiri. Gitu-gitu banyak juga cewek yang suka sama dia.
Trus satu lagi, nih, yang bikin gue kesal. Kadang suka kesal aja sama nasib Bang Julius yang lebih seringnya beruntung, seakan-akan ada dewi keberuntungan yang selalu menyertainya. Lihat saja sekarang. Tuh, tuh, tuh! Bang Julius beruntung banget bisa duduk sama cewek yang mana berhasil bikin gue pangling di area parkiran waktu hari pendaftaran sekolah, Rowena Hanasta. Gue baru aja berhasil kepoin dia. Nggak susah, sih, karena dia termasuk anggota OSIS.
Namanya cantik banget, ya? Secantik paras dan mewakili kepintarannya. Kalian tau nggak, sih, namanya sama dengan nama depan penyihir termasyhur di dunia Harry Potter--Rowena Ravenclaw?
Oh ya, gue lupa cerita. Gue udah resmi jadi murid SMA Bernard. Singkat cerita, bisa dibilang gara-gara Rowena si cantik, gue setuju bersekolah di sini. Nggak nyangka ternyata sesederhana itu gue mengkhianati SMA Berdikari demi seorang Rowena Hanasta.
Ah, forget it. Ada hal yang lebih menyebalkan. Lo tahu, nggak, apa bagian yang paling ngeselin? Ternyata, oh ternyata. Gue baru tahu kalau Rowena sekelas sama Bang Julius. Ck, udah lebih tua setahun dari gue, eh sekelas sama abang sendiri pula. Gimana nggak kesal, coba? Tahu gini, ngapain juga gue sekolah di sini?
"Jason, lo nggak masuk kelas?" tanya Geraldi, teman sebangku gue. Alisnya mengernyit sebelum melirik papan kelas yang berada di dekat pintu. Gue tahu kenapa. Dia pasti heran mengapa gue bisa berdiri di kelas XI MIPA-1 yang mana adalah kelasnya Bang Julius, bukannya kelas gue yang seharusnya berada di lantai bawah. Mungkin teman gue mengira gue masih belum menghapal rute sekolah sehingga nyasar.
Benar saja. Geraldi mengajak gue untuk kembali ke kelas bareng, tetapi segera gue tolak dengan halus. Niatnya, sih, pengin kepoin Rowena lebih lama lagi karena gue suka parasnya.
Lihat, deh, caranya menatap. Uh, angkuh banget. Tatapan yang kayak gitu baru pertama kali gue lihat. Rasanya pengin sandarin kepala di lipatan lehernya, trus....
Tunggu! Itu Bang Julius kenapa? Mata gue membola sempurna selagi menyaksikan dia menyandarkan kepala ke ceruk leher Rowena, lalu bergerak sedikit untuk mencari posisi nyaman. Heh, dia nggak mungkin cenayang--atau apalah istilahnya--yang bisa membaca pikiran orang lain, 'kan? Kenapa dia bisa mendekat kayak gitu trus sandarin kepalanya seperti yang gue inginkan tadi? Heh, apa-apaan itu?!
Kelas XI MIPA-1 langsung ribut. Nggak heran karena aksi Bang Julius benar-benar tidak seperti dirinya. Matanya masih terpejam, ternyata dia sedang tidur, tapi ya kali dia bisa beralibi demikian biar bisa sandarin kepalanya kayak gitu.
Sepemahaman gue sebagai adiknya, gue pengin bilang kalau ini nggak seperti Bang Julius banget, tapi nggak ada yang bisa gue lakuin karena sudah terlalu lama di sini. Bisa berabe kalau ada guru piket yang lewat, trus tahu kalau gue bukan siswa kelas XI.
Biar nanti gue interogasi aja sepulang sekolah atau kalau perlu, gue bakalan setrap Bang Julius sampai ngaku!
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro