Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11). Jason's Way

Rowena masih berusaha menahan tawanya seolah-olah gue melakukan pertunjukan stand-up comedy. Plislah, plis. Gue pengin banget ngasih tahu supaya nggak menganggap enteng masalah yang gue hadapi sekarang.

Mungkin dia mengira kalau gue menanggapi semua ini terlalu berlebihan, padahal gue yakin pendapatnya nggak akan sama jika berada di posisi gue. Maksud gue, memangnya bisa, ya, menganggap enteng sesuatu yang di luar nalar kayak begini? Andaikata mau melapor polisi pun, mereka pasti nggak bakal percaya!

Ya, kali!

“Gue bakal bantuin lo.” Rowena berkata tiba-tiba, membuat gue merasa seperti sedang dialiri air dingin. Gue spontan terhenyak, bersamaan dengan kedua mata yang membeliak secara estetik.

“Kenapa memangnya?” tanya Rowena, terlihat bingung karena gue bereaksi seperti itu. Iya, sih, kayaknya tanggapan gue rada berlebihan, tapi dia seharusnya bisa mengerti mengapa gue kayak gitu.

Yaaa ... soalnya nggak nyangka saja dia bisa menawarkan bantuan di balik karakternya yang sedingin es, yang mana berpotensi bikin orang-orang langsung menyimpulkan dia sebagai insan yang hampir tidak pernah bersosialisasi. Meski tidak menjamin penampilan luar bisa mewakili isinya, tetap saja sepengamatan gue, Rowena bukan tipikal yang mau repot-repot ‘mengurus’ orang lain.

Gue rasa andaikan gue sama Rowena terjebak di sebuah pulau tak berpenghuni dan hanya ada satu perahu yang tersisa untuk menyelamatkan diri, gue rasa dia nggak akan mengalah atau minimal, dia nggak mungkin memilih untuk senasib sepenanggungan menunggu tim penyelamat datang.

Oke, lagi-lagi gue mikirnya kejauhan. “Cuman nggak nyangka aja, lo bisa menawarkan bantuan kayak gini.”

“Kayaknya lo salah paham.” Rowena menatap gue dengan sebelah alis terangkat.

“Salah paham gimana, ya?”

I just copied what people do. Seperti lo yang dengan gampangnya meminta maaf sama semua orang, bukankah pengertiannya juga sama dengan menawarkan bantuan? Sesederhana menarik simpatik orang, ternyata cukup dengan berbasa-basi.”

“Hah?!” Kenapa, sih, gue nggak bisa berakting jaim atau kelihatan pintar di depan dia? Selalu saja gue sukses dibikin cengo untuk yang entah keberapa kalinya hari ini.

“Lagian apa yang bisa diharapkan dari gue, coba? Jule mungkin adalah kucing gue, tapi gue nggak bisa mengendalikan atau bahkan ngomong sama dia supaya nggak pindah ke tubuh lo lagi. Kalau memang dia berusaha mengambil alih tubuh lo, menurut gue nggak bakalan bisa bertahan lama. Gue bisa menjamin itu. Karena apa? Karena penyesuaian dari kucing ke manusia jauh lebih sulit ketimbang sebaliknya. Dia nggak cuman harus beradaptasi dengan tubuh lo, tapi juga harus menghadapi lingkungan setelah menjadi manusia. Dan lo kira itu gampang? Manusia menjadi ‘manusia’ saja susah. So?”

Iya juga, ya. Teorinya cukup masuk akal. Nggak heran, sih, prestasinya gemilang bersinar gemintang layaknya bintang yang melintang.

“Kalau gue ketiduran lagi di sebelah lo, bangunin gue aja, ya.” Setelah jeda yang lumayan lama, akhirnya gue memilih untuk tidak merespons teorinya barusan. Lebih baik langsung ngomong kayak gitu, deh, soalnya semakin lama berada di sebelah dia—–gue baru sadar, yang ada malah bikin gue semakin insecure.

Rowena mengangguk, lalu kembali menekuri buku ensiklopedia yang sedari tadi terbuka lebar. Namun sayangnya, bel masuk sudah keburu berdering. Gadis itu lantas mendengkus, terlihat kesal karena aktivitasnya harus terhalang.

“Let’s take this for our assignment.” Rowena memilih buku ensiklopedia yang dimaksud dengan kerlingan. Gaya angkuhnya jadi terlihat keren, membuat gue otomatis membayangkan bagaimana ekspresi Jason jika berada di posisi gue. Sebab, jika ditilik dari pengakuan dia tentang kesukaannya pada gadis angkuh-angkuh rasa tsundere, Rowena jelas menang banyak.

Meskipun demikian, jikalau harus menarik kesimpulan atas kejadian di perpustakaan hari ini, gue jadi merasa kalau Rowena ternyata nggak se-cool yang gue kira.

Gue nggak tahu apakah ini adalah sebentuk sugesti karena mendengar perspektif yang sangat tidak mewakili dirinya yang biasa, yang jelas, cara gue memandang Rowena tak lagi sama dengan yang sebelum-sebelumnya.

*****

“Bang, si Rowena gimana?” Alih-alih menyapa, Jason malah mengajukan pertanyaan yang bikin gue memandangnya dengan tatapan datar.

Jika selama ini gue selalu cuek dengan kecengan dia yang tidak ada habisnya, kali ini jujur aja gue agak terganggu. Gue baru nyadar kalau gebetannya selama ini nggak pernah lebih tua dari dia, minimal usianya seumuran.

Bukannya sok julid, sih. Cuman kebayang saja bakal gimana repotnya gue ke depan hari soalnya kebawelan Jason juga berlaku dalam circle asmaranya. Dia tipikal yang pantang menyerah kalau sudah ke-trigger. Love language dia aja giving gifts. Jadi, dia kang jagonya mengiming-imingi cewek dengan beragam hadiah.

“Gimana apanya?” Gue membalas sambil lalu dengan handuk di tangan, bersiap untuk mandi.

“Rowena suka apa, sih? Gue jadi kepo.” Tuh, kan, baru aja dibilangin. Gue juga sudah langsung menebak kalau dia akan menjadikan gue sebagai perantara untuk kesenangannya. “Besok gue nitip hadiah kecil buat dia, ya.”

“Kasih aja langsung.” Tersirat nada sebal dalam kata-kata gue. Ini yang bikin gue rada malas. Biasanya kalau berhadapan sama orang, tuh, gue suka salting gimanaaa gitu. Kebiasaan overthinking juga, yang jadinya bikin gue makin gugup kalau ketemu orang.

Intinya, gue tipikal yang butuh penyesuaian di awal sebelum ketegangannya mencair. Cuman sayangnya, orang-orang keburu bosan sama gue.

“Belum dulu. Gue masih mau mantau gimana reaksinya Rona.”
“Rona?” Gue bertanya refleks, langsung nge-lag.

“Duh, Abang. Lemotnya bisa nggak, sih, dikurang-kurangi? Rona is short for Rowena. Bisa juga, sih, dibaperin buat panggilan sayang. Muehehe.”

“Oh.”

“Kayaknya kalau gue perhatiin, dia sukanya sama kucing.”

“Kenapa lo bisa bilang gitu?”

“Eh, gue belum cerita, ya, asal muasal hati gue sukses dibuat cenat-cenut oleh dia? Untuk pertama kalinya, loh, padahal gue nggak pernah tertarik sama cewek yang lebih tua. Biasanya setelah tahu, gue langsung ganti haluan—–eh, tapi ternyata nggak berlaku buat Rona Sayang. Spesial banget, ya, dia.”

“Gue mandi dulu, deh, ya.”

“Ish, mau curhat malah melipir.”

“Lo kalau cerita pasti lama. Lagian, nanti air hangatnya keburu dingin.”

“Nggak lama, elah. Bentar doang sebelum gue cabut ke warnet.”

“Warnet lagi, warnet lagi. Nggak bosan, apa?”

“Lo juga. Kapan pensiun jadi bucing? Kasihan, dong, sama cewek yang demen sama lo. Lo-nya ngurus kucing mulu, bikin cewek-cewek jadi insecure karena kalah saing dan kalah imut.”

“Bukannya pecinta hewan itu idaman sejuta umat?” Gue jadi betah debat sama Jason. Yaaa namanya juga di dalam nadi gue mengalir darah yang setipe sama dia, so terkadang debat-debat kayak gini lebih seringnya bikin gue nggak mau mengalah juga.

“Iya, sih.” Jason spontan melirik jam di pergelangan tangannya. “Waktu gue nge-game sudah mau tiba, nih. Balik ke topik Rona. Lo inget, nggak, yang pas gue muji cewek cantik di parkiran? Yang pas di hari pendaftaran itu, loh.”

“Oh. Yang bikin lo mau daftar di SMA Bernard?”

“Nah. Cewek itu adalah Rowena. Kebayang, kan, garis takdirnya? Dia yang bikin gue jatuh sejatuh-jatuhnya. Ibarat kata dunia transmigrasi, gue jatuh ke masa peradaban gara-gara dia.”

Hmm, transmigrasi. Oke, terima kasih buat Jason karena gue berhasil diingatkan kembali tentang perpindahan jiwa dan bikin kekhawatiran gue kambuh.

“Trus yang lo bilang kucing-kucing itu apa? Apa kaitannya sama Rowena?”

“Ada, dong. Waktu itu dia lagi meluk kucing, makanya gue langsung menyimpulkan kalau dia suka sama kucing. Ah, apa karena gue merasa adem ngelihat dia meluk hewan, ya? Kayak penyayang binatang, gitu.”

“Jadi mengingatkan lo tentang gue, ya?” Gue menarik seulas senyuman, langsung ke-geer-an.

“Dih! Beda, dong! Dia, kan, cewek. Sama binatang aja sayang, apalagi sama calon suaminya di kemudian hari. AW!” Jason bergoyang lebay sebelum mengubah ekspresinya menjadi serius demi menuding kalimat ini ke gue, “Kalau cowok kayak kita ini harus lakik! Nge-game atau nyari kecengan, contohnya.”

“Yang kayak lo maksudnya?” Gue bertanya dengan nada julid. Eh, tapi tunggu. Ngomong-ngomong tentang kucing yang dibawa Rowena di hari pendaftaran, apakah ada sesuatu yang gue lewatkan?

Apakah ... ada yang bisa gue temukan sebagai petunjuk?

“Jason.” Gue mengangkat kepala untuk menatap langsung ke netra sang adik. “Ada yang aneh, nggak, waktu lo lihat kucing yang dipeluk Rowena?”

“Aneh gimana? Nggak ada yang—–oh, iya. Gue baru ngeh sekarang.” Jason meninju telapak tangannya dengan terlalu excited, membuat gue mencelus.

Jantung gue refleks berpacu cepat hingga mencapai kecepatan abnormal. Gue jadi bersemangat. Semoga setelah mendengar cerita dan perspektif Jason, gue bisa menemukan solusi yang entah apalah itu.

“Kucing itu, kan, kucing yang sama dengan kucing yang lo obati di koridor itu! Bener, ‘kan? KUCINGNYA SAMA, ELAH!”

Ya, ampun. Kirain. Ugh, pengen jitakin Jason, sumpah, tapi nggak jadi karena ingat fakta kalau dia itu adik gue.

Huh!

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro