❬ 20 ❭ Closed Smile
Halo semua! Oke, jadi aku tu ikut event CreaWiLi dan disuruh buat cerpen bergenre Teenfict yang notabenenya bukan genreku :" jadi aku agak sulit heuheu. Tapi semoga aja kakak-kakak suka, ya. Dibaca ya hehe. happy reading!
💖💖💖
"Giselle!" Suara riuh ombak kian membaur dengan teriakan nelangsa beronggok-onggok tubuh yang terombang-ambing di bentangan laut.
"Pegang tangan kakak!"
"Dimana mama sama papa?" Gadis itu meraih tangan kekar yang terulur menggenggam jemarinya. Wajahnya mendongak, berusaha menghindari air laut yang ingin menggapai mulut dan hidungnya. Napasnya megap-megap, sulit untuknya berbicara.
"Mereka ... mereka ada! Pokoknya kamu harus aman dulu!" Gulungan ombak semakin membesar, melahap apapun yang menghalangi jalannya. Giselle tak pernah berharap tangannya terlepas dari uluran sang kakak. Tapi Tuhan tak pernah mengabulkan harapannya.
"Kakak!"
____________
Giselle tersadar akan mimpi buruk yang selama beberapa tahun terakhir tak pernah absen menghampiri tidurnya. Sebuah memori mengenaskan yang tak pernah ia pinta kepada Yang Kuasa.
Giselle menoleh dan mendapati bahwa dirinya masih berada di kelas. Dengan tatapan-tatapan aneh dari para murid yang menghujam penglihatannya.
"Boneka bisa mimpi juga, ya?
"Mungkin itu program yang diatur di mesinnya kali."
"Hahaha ...."
Giselle terdiam. Mereka tak pernah menganggap dirinya manusia. Mereka selalu berkata bahwa ia adalah boneka berjalan yang tak memiliki emosi. Tentu saja Giselle paham. Memang, ia hanya lah seorang gadis dengan wajah datar, tak pernah terlihat sedih atau marah, tersenyum pun ia tak kuasa.
Tapi Giselle tak pernah meminta itu semua. Giselle tak pernah meminta kecelakaan itu menimpa ia dan keluarganya. Giselle sebenarnya tak mau menjadi seonggok 'boneka'.
Bel sekolah sudah berkumandang menyegarkan telinga-telinga para murid yang dengan ceria meninggalkan kelas untuk mengikuti berbagai ekstrakulikuler. Lagi-lagi Giselle sendirian. Lagi pula dirinya bingung, klub apa yang harus ia ikuti? Giselle sudah dikeluarkan dari klub sastra dan teater. Apa lagi penyebabnya kalau bukan ia yang tak dapat berekspresi.
Giselle beranjak dari bangku. Melangkah pelan sembari menikmati angin yang membelai lembut rambut sebahunya. Tak sengaja matanya menangkap sebuah poster yang tertempel di mading sekolah.
Sesaat mata Giselle menampakkan binar, namun meredup kembali setelah teringat akan realita yang ada. Ia tak akan pernah bisa membacakan puisi untuk semua orang. Yang ada ia hanya akan ditertawakan karena wajah datarnya.
Giselle sedikit mengintip pada jendela yang menampilkan sedikit orang yang sedang berlatih di dalam gedung teater. Memang tak banyak yang menggemari sastra. Mereka yang tak suka seolah menganggap sastra merupakan hal aneh nan lebay. Ingin rasanya Giselle menampar mulut kotor mereka dengan puisi sindiran yang begitu menusuk. Tapi nyatanya ia tak bisa.
Hatinya selalu bertanya-tanya, bagaimana rasanya berekspresi riang seperti mereka. Menjiwai setiap kata yang tergores oleh sang pembuat karya, merasakan emosi bergejolak hingga wajahnya menampilkan raut penghayatan dari segaris pena emas.
Giselle menoleh sedikit pada jendela yang menampilkan wajah tanpa ekspresinya. Setiap urat sarafnya ia paksa untuk membentuk sedikit saja respon, tapi selalu saja gagal. Giselle kembali memalingkan wajah, enggan melihat mukanya yang menurutnya sangat lah mengerikan.
"Kamu ikut lomba puisi di festival seni nanti, kan?" Giselle menoleh malas pada lelaki yang tiba-tiba muncul dengan sedikit mengagetkan.
"Nggak," balas Giselle ringan.
"Kenapa?" Giselle mendengus sebal. Ini lah sebab ia sangat malas bertemu Althan, si ketua OSIS yang tak sengaja menemukan buku catatan puisi milik Giselle dan dengan lancang membaca isinya. Lelaki itu sangat lah penasaran dengan apa yang mau dilakukannya. Hal ini dimulai saat Althan mengembalikan buku catatannya, dan ya, semenjak hari itu, Althan selalu mengganggu Giselle dan tentu saja membuat gadis itu muak.
"Kamu nggak lihat wajahku?" Giselle balik bertanya dengan nada kesal. Apa laki-laki itu tak punya sedikit rasa peka? Tentu saja Giselle hanya akan ditertawakan jika membaca puisi dengan wajah datar itu.
"Cantik," celetuk Althan dengan cengiran lebar.
"Bodoamat!"
"Tapi ... kamu nggak ada sedikit pun niatan atau usaha buat ikut lomba?"
"Aku bilang nggak." Giselle terus berjalan lurus, menghalangi pandangan Althan untuk melihat wajahnya yang memerah kesal.
"Tapi kamu suka puisi. Harusnya kamu punya sedikit semangat untuk itu."
"Maaf, Kak. Aku sudah muak dengan semuanya. Semangat? Sudah berjuta-juta raungan semangat aku kerahkan. Namun nggak ada satu pun yang menghargai itu semua. Bahkan para guru yang katanya pendidik terbaik, menatap aku seolah mencaci dalam hati. Seorang pembuat karya seolah mati tanpa ada satu orang pun yang menghargainya dan membantunya hidup." Giselle sedikit menahan emosinya. Ia tak tahan dengan mereka yang benar-benar tak paham dengan maksud hatinya. Percuma kalau kau berdiri tegak di tengah lapangan, meneriakkan sebuah seruan, namun sama sekali tak dianggap.
Althan terdiam mendengar perkataan Giselle. Ia mulai sedikit mengerti bahwa semuanya tak semudah itu, terkadang ada saja hal yang sulit dimengerti dan agak berliku. Althan hanya perlu memahami dan pergi. Giselle tak pernah meminta lelaki itu membantunya. Giselle hanya ingin kembali sendiri dan enyah.
"Mengerti kah kamu hidup sebagai boneka usang yang telah lepas dari tangan Tuhan? Seolah dibuang karena aku memang rusak. Aku cuma robot yang nggak bisa berekspresi, nggak bisa sedih, nggak bisa senyum. Aku ... kayak nggak punya hati." Giselle mengembuskan napas berat. Ia melangkah dengan cepat, yang kemudian bertambah cepat, hingga tak terasa ia berlari dan lenyap dari pandangan sendu Althan.
_________
Festival seni dimulai. Semuanya berlangsung meriah, dengan sorakan gembira dari siswa-siswi berwajah bahagia. Giselle termasuk dari mereka, ia antusias, namun seolah menutup telinga pada lomba puisi yang sangat ingin ia ikuti, namun tak mampu ia lakukan.
Giselle hanya bisa menatap semaraknya acara dari jendela kelas yang mengarah langsung pada panggung. Giselle lebih nyaman seperti ini. Sendirian, tanpa ada bisikan ejekan yang seolah menikam telinganya.
Giselle mulai menajamkan telinganya ketika pendengarannya menangkap rangkaian kata yang sangat familiar di telinganya.
Mereka bilang aku sakit
Seolah aksara mati yang bergerak hidup
Mereka bilang aku aneh
Bak seekor lalat bau yang bertengger di sarang kupu-kupu
Giselle terbelalak ketika puisi yang berada di catatannya dibacakan di atas panggung oleh suara laki-laki.
Tak tahan rasa tertikam bisikan kelabu
Teriak sudah, kuserukan kata penghancur
Remukkan wajah ini!
Biar kau tahu, aku memang rusak!
Tanpa berpikir lagi, Giselle beranjak dari bangkunya, berlari meneruskan arus angin. Mencari siapa sosok yang sudi membacakan puisinya di atas panggung. Walau di otaknya hanya ada satu lelaki yang bisa melakukan hal itu.
Enteng mereka anggap sajakku
Menginjak kata, berbalik, tersenyum riang
Remeh mereka angkat kalimatku
Padahal tinta emas, mereka anggap tinta hitam
Di sana Giselle melihat. Seorang lelaki tengil yang selalu mengganggunya, bersikap tegas bercampur emosional di atas panggung itu. Membacakan tiap kata hasil dari goresan pena Giselle.
Bosan sudah sabar yang selalu menunggu
aku toleh, merangkak maju, berdiri tegak
Coba saja! Koyak bahasa yang terus kuseru!
Lalu kurobek pula kalimat yang darimu yang mengganggu!
Akhir dari kalimat Althan bercampur riuh dengan tepuk tangan dari para penonton. Mata Giselle terlihat berbinar, menampakkan air yang menyelimuti iris malamnya. Sedikit bergetar hatinya kala melihat senyum Althan mengembang untuknya. Rasa haru seolah memeluk tubuh Giselle. Ia tak menyangka, Althan yang bahkan tak tahu apa-apa bahkan tak menyukai sastra, kini rela membacakan buah pena dari torehan tangan Giselle.
_____________
"Mbak?" Giselle menoleh kala mendapati asistennya menyadarkannya dari lamunan akan kenangan lama.
"Lagi ngapain?" tanya asistennya.
"Cuma mengingat-ingat memori lama."
"Waw. Seru banget kayaknya."
"Memang." Kalau Giselle mempunyai ekspresi, mungkin saja senyumnya sudah mengembang manis sekarang ini.
Mata Giselle menghangat, menatap secarik kertas usang berisi rangkaian kalimat yang begitu membangkitkan gejolak rasa.
Biar saja senyummu terbingkai dalam jiwa. Mungkin memang aku dan mereka tak pantas melihat senyummu yang menurut Tuhan terlalu indah. Sebagai ganti, aku akan terus tersenyum. Tersenyum, lalu tersenyum lagi. Biarkan aku mewakili setiap tarikan senyum yang selalu kaudambakan. Sudi kah kau?
"Sudah kesekian kalinya aku bilang 'tentu saja' pada surat ini. Tapi kenapa aku nggak pernah lagi melihat senyumnya? Dan kemudian aku sadar, kalau dia hanya membual dan berbohong. Dia ingkar akan janjinya." Giselle tertunduk. Menatap surat kecil itu dengan sorot sendu. Sang asisten yang ikut merasakan aura kelam yang menghiasi masa lalu partner kerjanya itu hanya tersenyum lemah, mengharap Giselle melanjutkan curahan hatinya yang tertunda
"Karena Tuhan tak mengizinkan dia meminjamkan senyumnya lebih lama untukku. Tuhan mengambil senyum beserta nyawa dan raganya."
Giselle bergetar ketika tak sadar sebuah sungai kecil telah turun melintasi pipinya.
Baru saja sang asisten ingin bertanya, Giselle telah lebih dulu menjawab,"Iya. Dia Althan Hendrawan. Sastrawan terkenal yang sudah menutup senyumnya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro