
XIV. c o w a r d
c o w a r d
excessively afraid of danger or pain.
"Kejarlah dia nak." Neneknya menggerutu terus sejak Theo dan Savannah memutuskan untuk meninggalkan pesta natal karena keluarga Jenkins. Sekarang setelah Savannah pergi dari Lockport, Theo merasa adanya kekosongan di dalam hatinya. Banyak hal yang belum sempat ia beritahu kepada wanita itu, setiap kali ia maju selangkah, wanita itu mundur dua langkah. Membuatnya bingung untuk terus maju atau pergi dari hadapan wanita itu. "Ini benar-benar petaka! Semua laki-laki keluarga Ruthbone terlalu pengecut!" Neneknya berseru marah. Theo tersenyum sedikit mendengar seruan marah neneknya. Kata pengecut itu seperti cambuk di dalam hatinya teringat beberapa jam yang lalu ia baru saja mengatakan kalau Savannah adalah seorang pengecut, tidak jauh bedanya dengan dia.
"Savannah bukan siapa-siapaku, momma." Theo terkadang memang memanggil neneknya dengan panggilan momma karena secara tidak langsung nenek dan bibi-bibinya lah yang membesarkannya sejak ia kecil.
"Tapi kau menyukainya." Neneknya bergumam pelan. Theo meringis pelan mendengar gumaman neneknya. Bagaimanapun juga ini adalah kesalahannya karena dia berbicara dengan tunangan Savannah tepat di hadapan neneknya.
"Tapi dia sudah punya tunangan."
"Mantan tunangan." Theo meringis lagi, neneknya benar-benar sudah mendengar semua pembicarannya dengan Kade. "Dan kau tidak menyangkalku ketika aku mengatakan kalau kau menyukainya."
"Dia tidak tau kalau aku sudah memiliki Jonathan." ucap Theo ketika ia teringat ekspresi wajah kaget, bingung, sekaligus terluka ketika mendapati kalau Theo sudah memiliki anak.
"Dia akan mengerti." ucap neneknya bersikeras. "Savannah terlihat seperti wanita baik-baik. Demi Tuhan, aku rela menyerahkanmu bila aku bisa memiliki semua lemarinya. Kau tau kalau tas yang ia miliki itu belum keluar bukan?"
"Aku tau." Theo mendesah pelan lalu memijit pangkal hidungnya. Banyak hal yang belum ia beritahu kepada Savannah, salah satunya adalah kalau Theo mengenal wanita itu sejak kuliah. Dia bahkan tau kalau Savannah berasal dari New York. Nyaris semua orang di JH Medical School mengenal Savannah Wright. Dia anak Gordon Wright, salah satu pengusaha yang paling berpengaruh di New York. Rendah hati, cantik, anggun dan pintar.
"Kalau begitu kejarlah dia."
***
"Apa aku sudah terlambat Savannah?" kata-kata Kade membuat Savannah terdiam.
"Kade." Savannah tidak tau hendak mengatakan apa kepada pria yang berada di hadapannya ini. Apa Kade sudah benar-benar terlambat datang kepadanya? Atau dia yang terlalu keras kepala dan tidak membiarkan Kade datang kepadanya? Savannah tidak tau.
"Siapa Theodore Ruthbone?"
"Dia hanya rekan kerjaku." Savannah meneguk ludahnya susah payah. Ada berapa banyak rekan kerja yang saling berciuman seperti dia dan Theo?
"Savannah. Kau sudah tau kebenarannya, aku harap kau tidak memiliki apapun untuk kau sembunyikan."
"Aku tidak memiliki apapun untuk ku sembunyikan, Kade."
"Kalau begitu, mari mulai semuanya lagi dari awal. Menikahlah denganku, Anna." Kade kembali berlutut di hadapannya, mengingatkannya kembali saat Kade melamarnya pertama kali dulu. "Kembali padaku, Savannah."
***
"Dad." Jonathan masuk ke dalam ruang kerja ayahnya dan duduk di atas kasur yang diperuntukkan untuk pasien.
"Hm?" Theo tidak mengalihkan wajahnya dari kertas-kertas yang berada di atas mejanya. Sudah nyaris seminggu Savannah pergi dan meski tidak ingin mengakuinya, Theo mengakui kalau ada rasa kosong di hatinya. Rasa kosong yang bahkan berbeda dengan yang pernah ia rasakan dulu. Dulu, meski rasanya juga sakit, Theo menyadari kalau ia tidak lagi memiliki kesempatan atau pilihan. Wanita itu tidak pernah benar-benar mencintainya atau Jonathan, dia segera meninggalkan Theo begitu Jonathan lahir. Tapi sekarang, Theo memiliki kesempatan dan pilihan. Dia bisa mengejar Savannah ke New York atau bahkan ke ujung dunia sekalipun bila itu berarti dia bisa menyatakan perasaannya yang sebenarnya kepada wanita itu.
"Guru pianoku menghilang selama seminggu ini." Theo terdiam mendengar perkataan anaknya. Dia tidak tau kalau selama ini Jonathan belajar piano dari orang lain, ia mengira kalau selama ini Jonathan belajar dari sepupunya, Rafe, atau mungkin bibi-bibinya. "Aku tidak tau kalau aku melakukan kesalahan atau tidak." Jonathan mengayunkan kakinya dari atas kasur yang tinggi. "Kupikir dia berbeda," Jonathan terdiam sesaat.
"Apa yang membuatnya berbeda?" Theo mengerutkan keningnya bingung.
"Ku pikir dia tidak akan seperti ibuku. Ku pikir dia tidak akan pernah pergi."
"Jonathan." Theo bangkit dari atas kursinya dan berdiri di hadapan Jonathan. "Apa yang kau ketahui tentang ibumu?"
"Kalau dia tidak menyayangiku. Anak-anak lain yang mengatakannya."
"Lalu apa hubungannya ini dengan guru pianomu?"
"Miss Wright bilang kalau aku tidak boleh mendengar apa yang mereka katakan."
"Miss Wright?"
"Savannah Wright,"
***
Danny duduk di hadapan Savannah yang sibuk mengaduk kopinya. "Is there something wrong?"
"Aku tidak tau apakah ini salah atau mungkin sudah benar, Dan. Kau ingin memesan sesuatu?" Savannah baru saja hendak memanggil seorang pelayan ketika Danny menggelengkan kepalanya.
"Aku sudah makan tadi."
"Kalau kau menjadi aku, apa yang akan kau lakukan?" Savannah kembali menekuri kopinya, menyesapnya sedikit, menikmati rasa pahit yang menyebar di mulutnya lalu menghela nafas panjang.
"Apa yang Kade katakan kepadamu?"
"He asked me to marry him again."
"Lalu?"
"Aku tidak tau." Savannah merasa bingung. Segalanya akan lebih mudah bila dia tidak tau apa-apa, mungkin benar apa yang Nathaniel katakan kepadanya. Tidak mengetahui sesutu, tidak akan membuatmu terluka.
"Apa yang membuatmu bingung Savannah? Kade mencintaimu, dia tidak akan melukaimu lagi." Danny menghela nafas panjang, dia tidak akan pernah mengerti perkataan seorang wanita. Wanita itu begitu membingungkan, mereka bahkan tidak tau apa yang mereka inginkan. "Apakah ada orang lain?"
Savannah menatap Danny yang duduk di hadapannya cukup lama. Kenapa dia tidak bisa menyukai Daniel Wellington saja? Pria itu selalu ada kapanpun ia membutuhkan bantuannya, kenapa dia harus menyukai seseorang yang begitu rumit dan sulit seperti pria itu. "Aku tidak tau apakah dia bisa di kategorikan sebagai orang lain. Kami tidak memiliki hubungan apa-apa."
"You like him." Itu pernyataan, bukan pertanyaan.
"Aku bahkan tidak memiliki alasan untuk menyukainya, Dan. Dia menyebalkan, tukang perintah, tukang menyuruh, dia bahkan memiliki anak.."
"God, kau menyukai suami orang lain, Savannah?" Daniel tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget dari wajahnya.
"Aku.. Aku.." Savannah menjilat bibirnya gelisah lalu kembali menyesap kopinya. "Wanita itu meninggalkannya."
"Jadi dia bukan suami orang lain." Danny kembali menarik nafas lega.
"Tapi bersamanya masih terasa salah, Danny."
"Bagian mananya lagi yang salah, Savannah? Kau tidak bisa mengharapkan sebuah hubungan yang sempurna. Semua orang punya kesalahan, semua orang punya masa lalu."
"Aku guru piano anaknya. Aku bahkan tidak tau kalau dia sebenarnya anak pria itu."
"Kau bukan orang tuamu, Savannah." Entah berapa kali Danny harus mengingatkan Savannah kalau wanita itu berbeda dengan orang tuanya, dengan keluarganya. Wanita itu bisa mendapatkan kebahagiaannya sendiri tanpa perlu di bayang-bayangi oleh masa lalunya.
"Aku hanya takut kalau suatu hari nanti aku akan menjadi seperti mereka."
***
Savannah adalah guru piano anaknya. Savannah Wright. Demi Tuhan, Savannah Wright yang sudah mengganggu kehidupannya selama beberapa bulan terakhir adalah wanita itu. Wanita yang selalu di ceritakan oleh anaknya. Alasan Jonathan menginginkan piano untuk hadiah natalnya. Theodore Ruthbone nyaris tidak bisa melupakan fakta bahwa wanita itu selama ini begitu dekat sekaligus begitu jauh darinya.
"Momma, bisa tolong kau menjaga Jonathan selama aku pergi?" Neneknya begitu terkejut ketika melihat Theo datang bersama Jonathan lalu segera menitipkan anak itu.
"Kau mau kemana, Teddy?"
"Bisa aku minta satu hal lagi?" Theodore Ruthbone berkata tidak sabaran. "Bisa berhenti memanggilku Teddy?"
"Kau mau kemana, Theo?" Neneknya menatapnya lama lalu berkacak pinggang.
"Kau yang memintaku untuk mengejarnya, momma."
"Mengejar siapa?"
"Savannah Wright." Jonathan dan neneknya menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
"Akhirnya kau mendengarkan perkataanku nak!" Neneknya berseru panjang. "Setelah sekian lama kau mengabaikanku dan tidak mendengarkan perkataanku, menikah dengan wanita yang hanya melihat hartamu."
"Aku akan mengejarnya." Theo mengecup kedua pipi neneknya lalu menepuk kepala Jonathan. "Guru pianomu memang berbeda." Theo lalu berlari kecil dan masuk ke dalam mobilnya.
***
Savannah masuk ke dalam rumahnya yang berada di salah satu bagian perumahan elite Upper East Side, New York. Isabella dan Gordon mengundangnya makan malam hari ini bersama Nathaniel.
"Ma," Savannah mengecup kedua pipi ibunya yang menunggunya sedari tadi.
"Aku harus memperingatkanmu terlebih dahulu sebelum kau masuk ke dalam ruang makan, Anna."
"Ada apa, ma?"
"Ayahmu mengundang Kade." Nafas Savannah terhenti sejenak mendengar nama Kade. Hingga sekarang, dia belum menjawab pertanyaan Kade saat itu. Savannah tidak tau apakah dia harus menolak atau menerima lamaran Kade. "Ayahmu mengira kalian kembali bersama."
"Ma." Savannah meremas tangan ibunya lembut lalu masuk ke dalam ruang makan bersama-sama. Ia melihat Kade sudah duduk di ruang makan, di seberangnya ada Nathaniel sementara ayahnya duduk di ujung meja makan. Savannah lalu duduk di sebelah Kade sementara ibunya duduk di sebelah Nathan.
"Aku senang kau kembali lagi ke New York, Anna." Gordon Wright membuka pembicaraan sembari memakan makanan pembuka yang disajikan, semangkuk sup krim.
"Gordon." suara Isabella terdengar menegur Gordon.
"Aku harap kau menghentikan tingkahmu yang seperti anak kecil, ku dengar Kade sudah melamarmu kembali?"
"Dad." Kali ini terdengar suara Nathaniel yang menggerutu pelan.
"Kalian bisa kembali mempersiapkan pernikahannya kalau begitu." Gordon mengabaikan semua teguran yang diterimanya dan meneruskan pembicaraannya yang sempat tertunda.
"Aku tidak bisa." Savannah menarik nafas panjang dan menatap ayahnya tepat di kedua bola matanya.
"Apa?"
"Aku tidak bisa." Savannah mengulangi kembali perkataannya.
"Kenapa tidak, Anna?"
"Kenapa Dad berselingkuh dengan Katherine? Bahkan setelah semua yang Mom lakukan untukmu!"
"Savannah! Jaga bicaramu!" Gordon menegur anaknya, nafasnya naik turun karena emosi.
"Aku tau! Aku tau apa yang telah kau lakukan! Aku melihatmu mencium Katherine di ruang musik!" Savannah bisa mendengar suara tarikan nafas ibunya atau suara denting sendok Nathan. "Aku tidak bisa." Savannah menaruh serbet makannya di atas meja dan meninggalkan ruang makan.
Langkah kaki Savannah tidak berhenti hingga ia berdiri di hamparan rumput taman yang terletak di bagian paling belakang mansion keluarga Wright. Hamparan bunga dan suara derik jangkrik membuat Savannah merasa sedikit tenang. Akhirnya ia mendapatkan sedikit ketenangannya.
"Savannah."
"Kade." Savannah melihat pria itu tersenyum kepadanya dan kembali merasa bersalah.
"Kau ingat saat kita pertama kali bertemu dulu?"
"Di acara amal, bukan?" Savannah lalu duduk diatas bangku taman. Tumitnya sakit karena mengenakan sepatu hak tinggi sejak pagi.
"Ya. Dan kakimu terluka karena mengenakan sepatu hak tinggi." Kade berjongkok di hadapan Savannah lalu melepaskan sepatu hak tinggi yang Savannah kenakan. "Meski sepatu ini cantik, kadang ia bisa melukaimu."
"Aku minta maaf."
"Aku tau kalau akhirnya akan seperti ini." Kade kembali tersenyum kepadanya. "Pada akhirnya kau melepaskan semua beban masa lalumu, Anna." Kade melepaskan kedua sepatu hak tinggi Savannah lalu menaruhnya dengan rapi di sebelah kaki Savannah.
"Aku tidak bisa berpura-pura lagi kalau semuanya akan baik-baik saja."
"Apa aku terlalu terlambat Savannah?" Kade kembali bertanya kepadanya.
Ponsel Savannah tiba-tiba berbunyi, Savannah melihat nama Rafe di layar ponselnya. Dengan tatapan minta maaf kepada Kade, Savannah mengangkat sambungan telfonnya. "Halo?"
"Savannah!" Suara Rafe terdengar terburu-buru dan panik.
"Ada apa?"
"Aku tidak tau kenapa aku harus mengatakan ini.." Selama sesaat Rafe terdengar bingung.
"Kenapa?"
"Theo kecelakaan saat menuju ke New York."
"Apa?!" Savannah baru saja hendak bertanya kembali saat Rafe tiba-tiba memutuskan sambungan telfonnya.
"Ada apa?" Kade bertanya kepadanya, sebentuk raut bingung terlihat di wajahnya ketika ia melihat wajah panik Savannah.
"Theo.. Theo kecelakaan." Savannah menggigit bibirnya gelisah. Kedua tangannya gemetar ketika mengucapkannya.
"Jadi aku benar-benar sudah terlambat, huh?" Kade berdiri lalu menepuk kedua celananya kemudian membantu Savannah agar bisa berdiri dari atas bangku. "Seharusnya aku memukul Danny lebih keras saat itu agar ia segera memberitahu keberadaanmu."
"Aku minta maaf, Kade. Aku benar-benar minta maaf." Bulir-bulir air mata jatuh dari kedua pelupuk matanya.
"Apa kau masih mencintaiku, Anna?"
"I love you. But.. I just don't like you anymore."
"Itu sudah cukup bagiku." Kade tersenyum getir kepadanya. Dia lalu menggenggam kedua tangan Savannah yang gemetaran lalu memberikan sebuah ciuman singkat di bibir wanita itu. "Selamat tinggal, Savannah. Kejarlah dia."
*****
Jhene Aiko - Eternal Sunshine (Cover by Daniela Andrade)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro