Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XI. w i s p

w i s p

a small thin or twisted bunch, piece, or amount of something.

Ada bagian-bagian kecil dari dalam diri Savannah yang tanpa ia sadari telah mengubah jalan hidupnya. Seperti kesenangannya pada hewan membuatnya mengenal Kade atau keinginannya belajar piano membuat keluarganya mengenal Katherine. Hal-hal kecil yang mengubah hidupnya, mengubah jalan pikirannya, mengubah cara pandang seorang gadis kecil menjadi seorang wanita dewasa.

Pertama kali ia bertemu Katherine, ia tidak pernah membayangkan akan mendapatkan wanita itu sebagai guru pianonya. Katherine tidaklah seperti yang selama ini ia bayangkan. Wanita itu memang cantik, dengan jenis kecantikan yang memancar lembut dengan aura keibuan yang kental, tapi Katherine tidak sempurna. Kedua kakinya cacat, ia tidak mampu berjalan sebagaimana orang normal lainnya. Katherine butuh bantuan kursi roda untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya tapi hal itu tidak mengurangi senyuman yang terbentuk di bibirnya atau kecantikannya yang nyata.

Ibunya, Isabella, selalu mengatakan kepadanya untuk tidak bertanya kenapa Katherine tidak bisa berjalan sebagaimana manusia normal lainnya. Tapi seiring waktu berjalan, Savannah tau kalau Katherine kehilangan kemampuan berjalannya juga suami dan anaknya dalam sebuah kecelakaan maut. Pada saat itu, dia tidak hanya kehilangan kakinya tetapi juga orang-orang yang ia cintai.

***

Savannah menggosok lengannya yang kedinginan, sebentar lagi natal dan akan ada banyak persiapan yang harus ia lakukan sebelum natal tiba. Lagi-lagi Enlive Health mengadakan jamuan makan malam bersama para pegawai dan keluarga Ruthbone dan meski jamuan makan malam terakhir bukan merupakan pengalaman menyenangkan baginya, Savannah bertekad untuk tetap menghadirinya karena dia nyaris tidak memiliki keluarga di Lockport untuk menemani malam natalnya.

Saat ini ibunya juga pasti akan sangat sibuk, menyiapkan pesta makan malam yang dihadiri semua kolega bisnis ayahnya. Pesta yang meriah di iringi orkestra, di tengah-tengah ruang tamu mereka akan ada gelas-gelas sampanye yang berjejer tinggi hingga membentuk piramid. Pesta natal di keluarganya akan menjadi rapat bisnis, berisi banyak orang-orang yang berusaha mendekat kepada ayahnya.

Savannah menghembuskan nafas ke tangannya yang membeku dan kembali menggosok kedua tangannya yang tidak terbalut kaus tangan. Ia lalu mendorong pintu klinik Enlive Health, melihat Emma yang dengan sigap membantunya membawa barang-barang yang berada di tangannya.

"Belanja untuk natal?"

"Yep." Savannah mengangguk. Ia cepat-cepat melepaskan topi rajut yang ia kenakan dan merapikan rambutnya yang lembap. "Tidak banyak pilihan disana." Savannah mengeluh pelan. Lockport memang cuma kota kecil, nyaris semua ornamen natal yang di jual di toko serba ada kecil di Lockport adalah barang-barang tua atau ketinggalan jaman.

"Kau harus pergi ke New York kalau ingin mencari barang baru." Savannah lagi-lagi berjengit pelan, ia masih belum terbiasa orang-orang menyebut kota New York di dekatnya. "Ayo taruh disini." Savannah menaruh belanjaannya di sudut Enlive Health lalu merapikan pohon natal yang di taruh James disana.

"Anak-anak akan menyukai ini." Savannah tersenyum tipis ketika ia dan Emma mulai menata ornamen-ornamen natal diatas pohon. Pohon yang tadinya terlihat polos dan biasa saja kini mulai terlihat ceria dan indah.

"Uh-huh." Emma memasang setiap ornamen tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bibirnya mengatup sementara tangannya sibuk melem kado-kado natal yang akan di taruh di bawah pohon.

"Kau akan datang ke jamuan makan malam di Ruthbone?"

"Ya." Emma menjawab singkat, matanya masih terpaku pada kado yang ia bungkus.

***

Savannah merapikan rambutnya yang ia gerai, merapikan lipstik berwarna merah dengan jemarinya lalu memasang sepatu berwarna beige kesayangannya kemudian bersiap menaiki mobil Mini Cooper miliknya. Kini dia tidak perlu lagi menunggu Theo karena ia sudah tau tempat kediaman keluarga Ruthbone. Setelah hari itu Savannah memutuskan untuk menghindari Theo sebisa mungkin, begitu juga Theo, pria itu juga berusaha menghindari Savannah. Mereka nyaris tidak pernah bertukar sapa atau berbicara selain membahas pasien dan pekerjaan, meski canggung Savannah merasa mungkin ini yang terbaik bagi mereka. Sebaiknya hubungan mereka tidak lebih dari hubungan antara rekan kerja.

Perjalanan menuju kediaman Ruthbone kini lebih cepat dibandingkan yang ia ingat ketika pertama kali mengunjungi kediaman Ruthbone untuk makan malam Thanksgiving bersama Theo beberapa saat yang lalu. Savannah masih ingat perasaan tidak nyaman dan tegang ketika berada satu mobil bersama Theo.

Savannah memarkir mobilnya di pelataran parkir dan melihat Rafe yang berdiri diluar pintu sedang merokok.

"Rafe." Savannah menyapa Rafe, hidungnya mengernyit jijik melihat sebatang nikotin yang ia hisap.

"Anna." Rafe nampak kaget. Ia segera membuang rokok yang berada di bibirnya dan menginjaknya hingga lumat diatas es yang membeku. "Kau datang."

"Merry christmas, Rafe"

"Selamat natal juga, Anna." Rafe tersenyum, ia menahan dirinya untuk tidak memeluk wanita itu dan memberikan kecupan di kedua pipinya karena ia yakin Savannah tidak akan suka dengan aroma nikotin yang melekat di badannya. Rafe membuka pintu untuk Savannah dan mempersilahkan wanita itu untuk masuk terlebih dahulu sebelum dirinya. Para bibi Theo dan juga Rafe sedang menari bersama di bawah James yang sedang berdandan ala Sinterklas. "Welcome to the Ruthbone."

Savannah tersenyum, keluarga Ruthbone jelas terlihat jauh berbeda di bandingkan keluarganya. Keluarga Wright akan duduk di hadapan meja yang teratur rapi dan sempurna kemudian makan tanpa suara lalu kembali ke ruangan masing-masing tanpa adanya kehebohan yang berarti seperti keluarga Ruthbone. "Selamat natal." Savannah mengecup kedua pipi nenek Theo ketika wanita itu menghampirinya dan menawarkan segelas anggur merah. "Aku menyetir malam ini."

"Kau sama kakunya seperti Teddy." Wanita tua itu menggerutu dan meneguk wine yang tadinya ia akan berikan kepada Savannah hingga tandas. "Rafael! Turunkan kakimu dari meja." Wanita itu kembali menggerutu melihat Rafe yang duduk diatas sofa dan mengistirahatkan kakinya diatas meja.

"Don't be to angry." Rafe memberikan senyumannya yang menawan, senyum yang Savannah sadari merupakan ciri khas keluarga Ruthbone, dan mengecup kedua pipi neneknya.

"Aku tidak tau apa yang harus ku lakukan kepadanya." Salah seorang bibi Theo datang dan menyapa Savannah. "Kau datang bersama Teddy, nak?"

"Eum, tidak." jawab Savannah kaku, ia menerima sebuah cheesecake blueberry dari bibi Theo dan duduk di salah sofa berlapis kain merah dengan ornamen khas natal. "James," Savannah tersenyum kaku melihat James yang sedaritadi duduk diatas sofa memangku cucunya yang juga merupakan anak Ben.

"Ini memalukan." ucap James malu tetapi sama sekali tidak keberatan melihat cucunya memakan es krim diatas pangkuannya. "Kau melihat Theo?"

"Aku tidak melihatnya." Savannah nyaris mengerang kesal karena mereka terus menerus bertanya tentang Theo. Ia mengambil coatnya dan berjalan keluar dari dalam kediaman Ruthbone dan melihat Theo yang baru saja selesai berbicara di ponselnya.

"Kau datang?" Theo terlihat bingung melihat Savannah.

"Kau baik-baik saja? Semua orang mencarimu." Savannah menarik nafas dan melihat Theo yang terlihat berantakan seperti biasanya.

"Yeah. Sedikit masalah dirumah, aku akan segera pulang setelah menyapa mereka." Savannah hanya mengangguk singkat mendengar penjelasan Theo dan kembali menikmati dinginnya bulan Desember. "Apa yang kau lakukan disini?"

"Aku hanya mencari ketenangan sesaat." Kaki Savannah membeku tetapi dia tidak peduli.

"Keluargamu tidak pernah mengadakan pesta semacam ini?"

"Mereka lebih memilih pesta besar dengan banyak kerabat dan rekan bisnis." Jawab Savannah singkat.

"Old money." Theo bergumam lirih hingga nyaris tidak terdengar. "Mereka terdengar kaku."

"Sebenarnya tidak." Savannah ingat kalau keluarga yang ia miliki juga pernah menjadi keluarga yang hangat dan saling mencintai tapi semenjak ia beranjak dewasa rasa hangat dan cinta yang pernah ia rasakan perlahan mendingin. "Mereka hanya lupa bagaimana caranya menunjukkan perasaan mereka." Mereka terdiam sesaat, menikmati dinginnya bulan Desember yang menusuk tulang dan suara nyanyian yang berasal dari dalam rumah. Rafe bernyanyi diiringi gitar sementara para bibi Theo ikut menari dan bernyanyi. "Dimana ibumu?" Savannah kembali bertanya. 

"Sudah tidak ada sejak aku kecil. Jadi secara tidak langsung aku di besarkan bibiku."

"Dia meninggal?"

"Sakit kanker payudara." Lagi-lagi Savannah terdiam. Dia tidak bisa memberikan simpatinya kepada Theo, dia tidak tau bagaimana perasaan yang Theo rasakan. Pria itu mungkin sedih mungkin juga tidak.

"dr. Wright! dr. Ruthbone!" Savannah nyaris terjengkang kaget melihat David yang berlari terburu-buru menuju mereka. "Jenna sebentar lagi melahirkan."

***

Mobil yang mereka kendarai melaju cepat menuju kediaman keluarga Jenkins. Berbanding terbalik dengan David yang terlihat panik dan terburu-buru Jenna sedang duduk di atas sofa menonton film Home Alone dengan popcorn diatas pangkuannya.

"Sudah ku bilang kalau kau terlalu berlebihan David." Jenna mengunyah popcornnya dan tersenyum melihat Savannah dan Theo yang masih mengenakan pakaian formal mereka. "Selamat natal, dr. Wright, dr. Ruthbone."

Theo menarik nafas panjang dan membalas senyum Jenna. "Bagaimana sakitnya?"

"Masih seperti biasa, setiap lima belas menit aku merasa sakit." Jenna kembali meringis pelan.

"Dimana Bella dan Tommy?" Kali ini giliran Savannah yang bertanya melihat rumah mereka yang juga di penuhi hiasan natal tidak diiringi tawa anak-anak.

"Mereka di rumah ibuku. Oh my God!" Jenna Jenkins kembali meringis pelan, David segera menghampiri Jenna dan menggenggam tangannya. "Ini sudah anak ketigamu, Dave, dan kau masih seperti saat aku melahirkan Tommy."

"Kau tidak tau kalau aku nyaris pingsan saat itu." David berusaha tersenyum tetapi wajahnya masih terlihat tegang dan kaku.

"Aku akan mengambil perlengkapanku di mobil. Anna, bantu Jenna untuk berbaring di lantai dan siapkan air hangat."

"Kita tidak akan membawanya ke rumah sakit?" Savannah membelalakkan matanya tidak percaya melihat Theo.

"Bagaimana sakitnya?" Theo mengabaikan perkataan Savannah dan kembali bertanya ke Jenna.

"Kali ini semakin sering."

"Tahan nafas dan mulai menghitung dalam hati, mulai mengejan bila aku tiba." Theo segera berbalik dan mengambil perlengkapannya di atas mobil sementara Savannah menyiapkan perlengkapan lainnya seperti seprei dan air hangat.

Suara erangan, rasa sakit dan tangis bayi tidak lama kemudian memenuhi rumah itu. Savannah memandang takjub ke bayi merah yang diberikan Theo kepadanya.

"Dia cantik." Savannah tersenyum lebar. Ia membersihkan anak ketiga Jenna dan David di air hangat dan segera menyelimutinya lalu menyerahkannya kepada Jenna yang terlihat lemas.

"Dia memang cantik." David tersenyum kecil di sebelah Jenna. "Siapa namanya?"

"Eve. Karena dia lahir di christmas eve," Jenna dan David terlihat bahagia

"Anna." Theo memanggil Savannah yang sedaritadi masih melamun menatap Jenna dan David Jenkins memeluk bayi kecil mereka.

"Ya?" Savannah menatap Theo bingung.

"Sebaiknya kita membawa Jenna ke Enlive Health, aku akan memanggil ayahku."

***

"Bagaimana dengan mobilku?" Tanya Savannah setelah mereka akhirnya meninggalkan pasangan Jenkins bersama James. Mereka terlihat bahagia dan lagi-lagi Savannah merasa iri kepada mereka.

"Ada dirumahku, Ben mengantarkannya tadi."

"Okay." Savannah kembali terdiam. Ia menatap lurus ke jalanan menuju rumah Theo, terkadang ia penasaran dan ingin tau kenapa Theo tidak tinggal di kediaman besar Ruthbone tapi ia rasa kalau hal itu tidaklah begitu penting, lagipula mereka hanya rekan kerja.

"Anna." Theo menghentikan mobilnya tepat di hadapan rumah bercat putih dan beratap hitam yang terlihat kontras sekaligus menyatu dengan salju. Mobil Mini Cooper milik Savannah berada di pelataran parkirnya. Terparkir dengan rapi disana. "Kunci mobilnya ada di dalam."

Savannah mengikuti langkah Theo masuk ke dalam rumah, ia nyaris terjembap kaget karena Theo menghentikan langkah kakinya dengan tiba-tiba dan bergumam kesal. "Ada apa?"

"Lampunya mati." Lampu yang berada di ruang tengah mati tapi Savannah masih bisa melihat ekspresi wajah Theo dengan bantuin lilin-lilin kecil didekat pohon natal.

"Ini bagus. Kau membuatnya?" Savannah mengambil sebuah pesawat mainan yang berada di pinggir jendela dan melihat pesawat kayu itu diukir halus. JR. Junior? Apa kepanjangan JR?

"Terima kasih untuk malam ini."

"Tidak masalah. Jenna juga temanku kau tau." Entah kenapa tiba-tiba tenggorokan Savannah terasa kering. Ia melihat sebuah piano yang terlihat baru di sudut ruangan. "Kau bisa bermain piano?"

"Tidak." Theo bergumam singkat. "Savannah, selamat natal." Theo memberikannya sebuah kecupan singkat di bibirnya. Bukan, bukan kecupan singkat. Pria itu melepaskan kecupannya dan menatap Savannah sebelum kembali menciumnya kali ini lebih dalam dan menuntut.

Mereka berciuman di bawah mistletoe. Entah Theo menyadarinya atau tidak kalau Savannah juga membalas ciuman Theo dengan gairah yang sama. Pria itu menahan leher Savannah dan sesekali menggigit bibir wanita itu, memberikannya kesempatan untuk mengambil nafas.

"Dad?" Savannah terkesiap kaget. Theo merapatkan badannya di dinding, kedua tangan pria itu menahan pinggang Savannah agar tidak bergerak.

"Ya, kiddo?" Suara Theo terdengar serak. Jantung Savannah terasa sakit karena berdetak begitu cepat dan keras.

"Lampunya mati."

"Aku akan melihatnya nanti, kembali ke kamarmu." Setelah terdengar suara dentuman pintu Savannah segera memberontak agar terlepas dari cengkraman tangan Theo. "Anna."

"Apa-apaan ini?" Tanya Savannah gusar. Sejak awal dia tau ini salah, mengetahui Theo punya anak hanya akan menambah daftar panjang kenapa ia tidak boleh menyukai pria itu. Oh Tuhan, bisa saja Theo memiliki istri saat ini. Ini kacau, sangat kacau. Savannah tidak pernah melihat cincin di jari manis Theo tapi ia tidak bodoh, ia pernah mengenal banyak pria yang meski tidak mengenakan cincinnya mereka memiliki keluarga yang menunggunya di rumah.

"Aku bisa menjelaskan." Theo menahan lengan wanita itu tetapi Savannah segera menepis tangannya.

"Cukup. Sebaiknya aku pulang sekarang." Savannah mengambil kunci mobilnya yang berada di atas meja, ia terdiam sesaat melihat foto yang berada di dekat kunci mobilnya. Jonathan dan Theo. God, Jonathan yang juga merupakan murid pianonya. Semua kejadian antara Katherine dan keluarganya seolah-olah terulang kembali dan Savannah tiba-tiba merasa sakit. Ini gila, dia benar-benar harus pergi sekarang.

"Savannah!" Savannah mengabaikan teriakan Theo dan segera masuk ke dalam mobil Mini Coopernya, berlalu pergi menjauhi rumah itu.

***

Seakan kejadian yang berada di rumah Theo tidak cukup untuk membuat perasaan Savannah kacau, ia lagi-lagi melihat sebuah mobil hitam yang terparkir di hadapan rumahnya. Persis seperti saat Danny datang dulu. Tapi kali ini ia cukup yakin kalau yang datang bukanlah Danny, karena ia mengenal mobil itu sebaik Savannah mengenal pemiliknya. Mobil yang sering datang dan pergi dari rumahnya. Mobil milik Kade.

Pria itu bersandar di mobilnya terlihat sama kacaunya seperti Savannah saat ini. Salju yang turun di malam puncak natal mungkin akan membuat sebagian orang berteriak kegirangan tetapi tidak untuk Savannah, keadaannya saat ini terlihat ironis. Beberapa saat yang lalu ia baru saja pergi dari Theo dan kini ia menemui pria lain. Orang-orang bisa saja mengira kalau ia wanita murahan yang tidak bisa menyukai satu pria saja.

"Kade?" Savannah bergumam ragu. Pria itu menolehkan kepalanya dan menatap Savannah cukup lama tanpa berusaha mendekati wanita itu. "Apa yang kau lakukan disini?" Savannah mendekati Kade ragu.

"Anna." Kade bergumam pelan. Ia lalu meraih Anna dan merengkuhnya ke dalam pelukan. Pipi dan tangan Kade terasa dingin, sudah berapa lama pria itu berada disana menunggu Savannah datang kepadanya? Bagaimana kalau dia tidak pulang malam ini? Apakah pria itu akan menunggu semalaman? "Maafkan aku. Ayo kita kembali ke New York dan memulai semuanya dari awal kembali."

*****

Daniela Andrade - No One But You




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro