VII. k i s s
k i s s
touch with the lips as a sign of love, sexual desire, reverence, or greeting
"You are not in love with him. You are in love with the idea of love."
"Kau pikir begitu?" gumam Savannah lirih. Kau tidak mencintainya, bila ada orang yang mengatakan hal yang sama kepadanya di New York pasti hal itu hanya di anggap omong kosong atau lelucon belaka. Tapi disini, di Lockport, di kota antah berantah yang bahkan baru Savannah ketahui ini, semua terasa lebih masuk akal.
"Ya." sahut Theo tidak kalah pelannya. "Kita sudah sampai."
Savannah melirik keluar jendela dan melihat halaman depan rumahnya yang memberikan kesan hangat dengan segala lampu pijar berwarna temaram yang diberikan Danny untuknya. Salah satu hadiah rumah baru dari sekian hadiah lainnya. "Kita sudah sampai." Savannah mengulangi ucapan Theo. Ia melihat botol air yang berada di pangkuannya dan memperhatikan jaket Theo yang tersampir di pundaknya. Kapan pria ini memberikannya jaket? Savannah tidak ingat. Pikirannya mengabur dan kepalanya berdenyut sakit akibat alkohol yang ia minum. Kau tidak mencintainya, kata-kata Theo terus berputar di kepalanya. "Terima kasih." Seperti mengetes teori yang berputar di kepalanya yang terpengaruh efek alkohol, Savannah memajukan badannya mendekati Theo, memberikan sebuah kecupan ringan di bibir pria itu. Menunggu getaran perasaan atau kupu-kupu yang berterbangan di perutnya seperti yang diceritakan di novel-novel yang pernah ia baca.
Sebuah kecupan ringan di bibirnya memberikan kejutan singkat di badannya. Theo tau kalau saat ini Savannah mungkin masih mabuk atau mungkin dia sudah mulai sadar. Theo memulai serangkaian hitungan di dalam kepalanya sebelum akhirnya otaknya menyerah dan tubuhnya mulai bereaksi. Alih-alih menghentikan ciuman ringan yang diberikan Savannah kepadanya, Theo menahan leher Savannah dan memperdalam ciuman mereka. Mengubah ciuman ringan itu menjadi sesuatu yang lebih, lebih dari sekedar ciuman. Terutama ketika wanita itu membalas ciumannya tidak kalah panasnya, memberikan gigitan-gigitan kecil di bibirnya sebelum lidah mereka saling beradu. Satu-satunya alasan yang membuat mereka menghentikan ciuman itu hanyalah karena mereka membutuhkan oksigen untuk bernafas.
"Savannah." ucap Theo pada akhirnya ketika ia melihat Savannah terengah-engah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"This is wrong." Savannah merapikan rambutnya yang berantakan dan berusaha keluar dari dalam mobil secepat mungkin.
"Anna." Theo berjalan keluar dari dalam mobil lalu setengah berlari mengikuti Savannah yang terburu-buru berjalan menuju ke dalam rumahnya. "Savannah." Theo menarik lengan Savannah, mau tidak mau memaksa wanita itu berhenti dan menatapnya.
"Theo, please." ucap Savannah memelas. "Aku mabuk. Dan.. Dan seharusnya itu tidak terjadi." Savannah melepaskan tangan Theo yang menahan lengannya lalu segera merapatkan jaket yang ia kenakan dan berjalan cepat memasuki rumahnya tanpa merasa perlu berbalik dan melihat raut wajah kaget dan tidak percaya Theo.
"Fuck." Theo mengumpat kesal. Ia mengusap wajahnya gusar lalu berbalik pergi.
***
Setelah merasa cukup aman dari segala hal yang ia takutkan, Savannah melipat lututnya dan duduk bersandar di pintu kamarnya. Tidak percaya dengan segala hal yang baru saja terjadi. Demi Tuhan, ia baru saja mencium seorang Theodore Jaxon Ruthbone, rekan kerjanya yang menyebalkan, bukan sekedar ciuman singkat yang ia niatkan terjadi. Sebuah ciuman panas yang akan terus berlangsung bila saja ia tidak segera menyadari kesalahannya.
Bagaimana mungkin ia mencium seseorang hanya demi mengetes teori yang terbentuk di kepalanya? Sebuah teori konyol yang kini terasa semakin tidak masuk akal. Bila ia memang tidak mencintai Kade, seharusnya ia merasakan kupu-kupu berterbangan atau getaran aneh di perutnya. Tapi tidak ada yang ia rasakan. Tidak ada. Null. Nada. Mungkin kah benar-benar tidak ada atau perasaannya kepada Kade menutupi hasrat lain yang terbentuk di kepalanya?
Savannah mengumpat pelan di dalam hati. Ia melihat jaket Theo yang tergeletak di atas kasurnya, bagaimana nanti ketika ia kembali bekerja di Enlive Health? Semuanya terasa semakin memusingkan di kepalanya.
***
Savannah mengusap kepalanya yang pening ketika ia tiba di The Break. The Break terlihat cukup lengang pagi ini. Annie menyapanya ketika ia baru tiba dan segera mengantarnya ke salah satu booth.
"Kau terlihat buruk." komentar pertama Annie sejak ia menjejakkan di The Break.
"Kau tidak akan bisa membayangkan apa yang terjadi kemarin." sahut Savannah lelah. "Boleh aku minta kopi hitam tanpa gula?"
"Hungover, huh?" Annie tersenyum tipis kepadanya.
"Huh-uh." Savannah bergumam pelan.
"Oh sudahlah, aku bisa membayangkan apa yang terjadi kemarin. Terutama setelah semua gosip yang beredar pagi ini." Annie berkata ringan. "Kau tidak ingin memesan yang lain? Bacon?"
"Gosip?" Savannah menatap Annie lelah. Bahkan di Lockport ia juga harus di kejar-kejar oleh gosip-gosip yang melelahkan.
"Yeah," Annie mengangkat bahunya lalu kembali tersenyum lebar. "Dr. Ruthbone dan Rafael, huh?"
"Apa yang kau bicarakan?" Savannah membulatkan matanya tidak percaya. Ia lalu menatap ke segala penjuru The Break, memperhatikan pengunjung satu demi satu meski saat itu The Break nyaris kosong dan sepi. Tidak mungkin ada yang melihatnya sedang berciuman dengan Theo kemarin. Rasanya Savannah ingin tenggelam dan tidak bangkit ke permukaan lagi.
"Semua yang datang ke White Horse tau kejadian kemarin."
"White Horse?" Savannah mengernyitkan dahinya tidak mengerti.
"Nama pub yang kau datangi kemarin."
"Oh." Oh, White Horse nama yang terlalu aneh bahkan untuk pub sekelas Lockport. Savannah terlalu sering datang ke tempat-tempat mahal bersama Kade untuk tau sebuah nama pub kelas bawah. "Jadi apa yang mereka bicarakan?"
"Tenang saja. Tidak banyak hal yang mereka ceritakan tentangmu." Savannah mengangkat alisnya tidak percaya dengan apa yang Annie ucapkan, menunggu wanita itu melanjutkan perkatannya. "Hanya kalau kau berkelahi dengan Rachel karena memperebutkan Rafe, lalu dr. Ruthbone datang menyelamatkanmu."
"Itu bahkan lebih parah dari yang ku bayangkan. God." Savannah mengusap wajahnya gusar. Ia ingin lari rasanya. "Wanita itu menyerangku duluan."
"Tenang saja, Anna. Ini Lockport, bukan New York." Annie menepuk bahunya ringan tidak merasakan badan Savannah yang tiba-tiba menegang ketika ia mengucapkan New York. "Setidaknya tidak akan ada videomu di youtube. Aku akan memesankanmu bacon dan sunny side up, bagaimana?" Suara dentingan bel yang berada di atas pintu The Break berbunyi, menandakan salah seorang tamu datang. "Uh-oh, trouble is coming." Annie segera beranjak pergi sebelum Savannah sempat memprotes. Savannah mengalihkan wajahnya ke arah pintu dan melihat Rafe yang terlihat lega melihatnya.
"Hey." Rafe segera menghampiri Savannah dan duduk di bangku yang berada di hadapan Savannah. "Kau baik-baik saja?"
"Apa aku terlihat baik-baik saja?"
"Lebih baik dari kemarin setidaknya." Rafe terlihat sedikit gugup. "Maafkan aku, Anna." Untuk sesaat Savannah merasa jantungnya berloncatan dan berpacu cepat saat mendengar ucapan maaf Rafe. Bayangan Kade saat hari dimana seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagi mereka memenuhi ingatannya. "Savannah?"
"Yeah?" Savannah menjilat bibirnya yang tiba-tiba terasa kering. Kade membawa efek yang buruk, bukan hanya untuk jantungnya tetapi juga perasaannya yang hingga kini terasa menggantung. Tidak jelas apakah ia benar-benar mencintai pria itu atau itu hanya sekedar perasaan sesaat yang akan segera hilang.
"Kau terlihat pucat. Aku benar-benar minta maaf untuk Rachel kemarin." Rafe terlihat semakin merasa bersalah melihat Savannah.
"Seharusnya kau tidak meminta maaf untuknya."
"Kami sudah putus. Tapi entah kenapa Rachel tidak ingin mengakuinya." Rafe membuat rambut ikalnya yang sudah berantakan semakin berantakan ketika pria itu mengusap kepalanya gugup.
"Hubunganmu dan Rachel bukan urusanku, Rafe." Savannah mengetuk-ngetukkan kukunya yang bermenikur Prancis diatas permukaan meja yang halus.
"Aku benar-benar minta maaf, Anna." Rafe menundukkan wajahnya tidak tau harus melakukan apa lagi.
"Oh sudahlah." Savannah tersenyum lebar lalu menepuk bahu Rafe. "Teman?"
"Teman?" Rafe terlihat sedikit bingung dengan perkataan Savannah.
"Teman. Kita kembali berteman Rafael."
Rafe baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika Annie datang mengantarkan kopi serta sarapan untuk Savannah. "Kopi dan sarapanmu, Anna. Jadi bagaimana Rafe, dia sudah memaafkanmu?"
"Uh, yah. Kurasa sudah."
"Tentu saja aku sudah memaafkannya. Maksudku, itu cuma kesalahpahaman bukan?" Savannah menyesap kopi yang diberikan Annie kepadanya.
"Ya. Itu cuma kesalahpahaman."
"Seharusnya kau meninggalkan Rachel dari dulu, Rafe. Wanita itu terlalu mengekangmu." Annie menggelengkan kepalanya tidak mengerti. "Sebaiknya aku melanjutkan pekerjaanku."
"Bye An." Savannah melambaikan tangannya kemudian ia kembali menikmati kopi dan sarapan yang ia pesan.
"Apa Theo mengantarmu hingga rumah kemarin?" Savannah nyaris saja tersedak mendengar pertanyaan Rafe.
"Y-ya. Dia mengantarku hingga rumah kemarin."
"Dia tidak melakukan sesuatu kepada mu bukan?" Rafe menatap Savannah dengan tatapan menyelidik yang hanya di balas hembusan nafas kesal dari wanita yang berada di hadapannya ini.
"Tentu saja tidak. Dia hanya menyuruhku meminum sebotol besar air dan sebutir aspirin." Savannah menarik nafas panjang, bahkan kalau boleh di bilang ialah yang melakukan sesuatu kepada pria itu. Mengingat ia yang mulai inisiatif untuk mencium pria itu terlebih dahulu.
"Dia hanya bersikap menyebalkan seperti biasa."
"Dia memang menyebalkan." Menyebalkan karena sama sekali tidak mau keluar dari dalam pikirannya, batin Savannah. "God, aku tidak tau apa yang harus ku lakukan bila bertemu dengannya senin nanti."
"Bersikap seperti biasa saja." sahut Rafe ringan.
"Kau tidak tau apa-apa, Rafe. Maksudku.. Kami rekan kerja dan.. God. Kejadian kemarin cukup memalukan."
***
Savannah berdoa di dalam hati lalu mendorong pintu kaca Enlive Health. Savannah menarik nafas lega ketika melihat Emma tersenyum kaku kepadanya.
"Selamat pagi, dr. Wright."
"Pagi Em." Savannah berusaha tersenyum tetapi senyumnya malah terlihat lebih kaku daripada senyum yang diberikan Emma kepadanya. "dr. Ruthbone sudah datang?"
"dr. James Ruthbone belum datang,"
Savannah nyaris saja berteriak 'Halleluja' dan berdansa bahagia mendengar kalau hari ini James lah yang datang. Bukan Theo. Setidaknya dia masih punya satu hari lagi untuk menghindari pria itu. "Terima kasih, Emma." Kali ini Savannah benar-benar tersenyum lebar kepada wanita itu. "Berarti aku akan menggunakan ruangan dr. Theo Ruthbone, bukan?"
"dr. Wright!" Peringatan Emma jelas-jelas tidak berarti banyak bagi Savannah saat ini mengingat Savannah sudah membuka pintu ruangan Theo dan mendapati pria yang ingin ia hindari itu menatap lurus kepadanya.
"Well, selamat pagi Savannah." Theo memberikan sapaan paginya dengan wajah kaku dan senyum tipis di wajahnya.
"dr. Ruthbone, kukira dr. James yang akan datang hari ini." Savannah mengumpat kepada Emma didalam hati karena wanita itu jelas-jelas tidak memberitahunya kalau Theo sudah tiba.
"Ayahku akan datang jam sepuluh nanti." Theo menatap Savannah lama seolah-olah hendak menelisik isi hati wanita yang berada di depannya ini.
"Baiklah. Sebaiknya aku menunggu di ruangan dr. James." Savannah hendak berbalik dan segera menjauhi pria itu.
"Tunggu sebentar dr. Wright, ada yang ingin ku bicarakan denganmu. Di ruanganku. Sekarang." Theo menekankan kata sekarang, memaksa Savannah mengikuti keinginannya. Saat wanita itu ikut masuk ke dalam ruangan kerjanya, Theo menutup pintu lalu bersandar dan mendekapkan kedua tangannya di dada.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan, dr. Ruthbone?"
"That kiss. Kenapa kau menciumku?"
"Itu hanya ciuman, Theo. Aku mabuk dan melakukannya karena refleks."
"Aku tau kalau kau tidak benar-benar mabuk, Anna."
"Oh Tuhan. Baiklah. Baiklah. Aku memang tidak benar-benar mabuk, oke?"
"Lalu?"
"Aku hanya mengetes teori konyol yang sedang berputar di otakku saat itu."
"Teori konyol?" Theo mengangkat alisnya, menunggu Savannah melanjutkan penjelasannya.
"Kau bilang kalau aku tidak mencintainya. Jadi.."
"Jadi? Menurutmu dengan menciumku kau bisa tau kalau kau benar-benar mencintainya atau itu hanya perasaan sesaat?"
"Ya." Savannah menggigit bibirnya gelisah. Tau kalau perbuatan konyolnya malam itu akan membawa petaka baginya. Diantara puluhan lelaki yang berada didekatnya, kenapa harus Theodore Ruthbone yang menjadi sasarannya.
"Jadi apa hasil dari percobaanmu ini?"
"Aku tidak tau." Savannah menatap Theo bingung. Apa maksud dari pertanyaan Theo ini?
"Kalau begitu kenapa tidak kita lakukan saja lagi?"
"A-apa?"
"Cium aku." Savannah membelalakkan matanya tidak percaya mendengar perkataan Theo tetapi ia tidak sanggup berkata-kata karena pria itu sudah mendaratkan bibirnya terlebih dahulu diatas bibir Savannah. Membungkam perkataan wanita itu dengan sebuah ciuman. Ciuman yang bahkan tidak lagi dimulai dengan sesuatu yang ringan dan lembut seperti saat mereka ciuman pertama kali.
Sanggupkah satu buah ciuman mengubah segalanya. Atau mungkin tidak?
***
Justin Bieber ft. Halsey - The Feeling
Let me ask you something, are you in love with the person or are you in love with the feeling?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro