Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

VI. l o v e

l o v e

An intense feeling of affection and care towards another person.


Savannah duduk di depan bar dengan perasaan gelisah. Ia merapikan celana kulit, syal berwarna marun, dan tank top putih bergambar band rock yang pernah ia hadiri dulu di New York. Savannah bukanlah penggemar band rock atau semacamnya, ia lebih seperti tipe gadis rumahan yang akan menghabiskan waktu berjam-jam duduk di tepi jendela atau diatas sofa membaca buku sembari mendengarkan musik klasik. Saat ia masuk ke dalam pub yang diberitahukan Rafe kepadanya, ia kembali merasa seperti remaja tanggung yang sedang memberontak.

"Anda ingin minum apa, miss?" Seorang bartender berwajah masam mendekatinya. Savannah bisa merasakan tangannya gemetar, ia menahan dirinya sendiri agar tidak loncat dan segera pergi dari ruangan ini.

"Martini dengan zaitun." Bartender itu hanya mengangkat alisnya mendengar perkataan Savannah membuat wanita itu semakin gugup. "Lupakan. Beri aku bir saja kalau begitu." Savannah menjilat bibirnya yang terasa kering dan segera melihat ke segala penjuru arah. Pub ini terlihat lebih ramai daripada The Break, beberapa orang berkumpul di sudut-sudut ruangan sementara lainnya berdansa di lantai dansa. Lumayan untuk ukuran kota kecil seperti Lockport, mereka benar-benar menghabiskan waktu jumat malam di sini.

"Ini." Tak lama kemudian bartender itu kembali dengan sebotol bir murahan seharga sepuluh dolar dan meninggalkan Savannah sendirian. Membuat wanita itu merasa lega sekaligus sedikit relaks. Savannah menegak bir murahan itu dan segera menahan dirinya agar tidak muntah. Rasa pahit bir itu memenuhi mulutnya seperti racun, tapi ia tidak ingin terlihat memalukan di pub ini.

"Hey. Kau datang." Rafe menepuk punggungnya dan membuatnya sedikit kaget. Savannah meraih tissue dan melap bibirnya yang nyaris saja memuntahkan bir murahan yang tadi ia minum. "Maaf." Rafe menyengir lebar, ia lalu melambaikan tangannya. "Guys. Kenalkan ini Anna. Dia dokter baru di Lockport."

Savannah membalik punggungnya dan melihat segerombolan pria bersama seorang wanita datang menghampiri mereka. "Hey, namaku Anna." Savannah mengulurkan tangannya hendak memberikan jabatan untuk mereka, tetapi mereka hanya melihat tangan Anna sekilas lalu meraih wanita itu ke dalam pelukan. Semuanya memberikan pelukan atau sapaan ringan kecuali satu, wanita yang bersama mereka sama sekali tidak menghiraukan Savannah.

"Kau bekerja di Enlive Health?" Salah seorang pria berambut coklat bertanya kepada Savannah.

"Ya." Savannah menjawab singkat, perhatiannya masih tertuju pada wanita itu.

"Kau bekerja bersama Theo? Cool. Apa kau datang bersamanya kemari?"

"Apa yang kau bicarakan? Aku tidak datang bersamanya kemari." Savannah mengerutkan keningnya bingung. Perhatiannya dari wanita itu segera teralihkan kepada Rafe.

"Aku melihat tadi disana, dude. Kenapa kau tidak memberitahu kalau sepupumu juga datang?" Pria berambut coklat itu hanya menepuk punggung Rafe dan meninggalkan mereka tanpa menunggu jawaban.

"Percayalah. Aku juga tidak tau kalau Theo juga datang kemari." Rafe mengangkat bahunya tak peduli lalu mengambil bir milik Savannah dan menegaknya. Savannah hanya mengernyit sembari bersyukur karena ia tidak perlu meminum bir itu.

"Aku tidak melihat dr. Ruthbone."

"Aku juga tidak."

"Aku tidak tau kalau kau sepupunya," Savannah menatap Rafe dengan tatapan tidak percaya sementara pria itu hanya tersenyum melihatnya.

"Kau tidak pernah bertanya." Rafe lalu tertawa kecil melihat raut wajah Savannah. "Sudahkah aku bilang kalau kau terlihat cantik malam ini?"

"Belum. Terima kasih anyway." Savannah bisa merasakan pipinya memanas dan memerah mendengar pujian Rafe.

"Anytime Savannah, anytime." Rafe menegak birnya hingga tandas, ia lalu melihat Savannah dengan senyum kecil yang terpatri dibibirnya.

"dr. Wright, Rafe." Savannah bisa merasakan dirinya menegang kembali mendengar suara berat yang sepertinya menghantuinya sejak pagi tadi.

"dr. Ruthbone." Savannah hampir tidak percaya mendengar nada mencicit yang keluar dari mulutnya. Theodore Ruthbone lagi-lagi tidak terlihat seperti dokter. Pria itu masih mengenakan kemeja putih dan celana hitam yang ia kenakan di Enlive Health pagi tadi tetapi kali ini tanpa mengenakan jas dokternya. Dengan lengan kemeja yang di gulung hingga siku dan rambut yang berantakan, tidak akan ada yang menduga kalau pria yang berada di hadapannya ini adalah seorang dokter.

"No snarky remarks like usual, dr. Wright?" Savannah lagi-lagi bisa merasakan darah yang memompa cepat ke pipinya karena ucapan pria itu. Berani-beraninya pria itu menegurnya di tempat umum. Savannah hanya mendengus kesal, ia hendak meminum birnya yang berada di atas meja ketika menyadari kalau bir itu sudah berpindah ke tangan Rafe.

"dr. Wright, dr. Ruthbone. Kalian seperti berada di tempat kerja saja." Rafe berkata sarkastik dan mendengus kesal melihat Theo yang datang menghampiri mereka. "Apa yang kau lakukan disini, Theo?"

"Aku bertemu dengan teman." Theo menunjuk ke sekumpulan pria dan wanita. Seorang wanita berpakaian minim dengan make up menggoda terang-terangan menatap Theo seperti menunggu pria itu kembali ke kepadanya.

"Yep. Teman." Savannah bergumam pelan tanpa menyadari kalau kedua pria yang berada di dekatnya bisa mendengar suaranya dengan jelas.

"Jealous, dr. Wright?" Theo bertanya dengan nada bercanda yang di tanggapi dengan dengusan kesal Savannah.

"You wish."

"Ah, kata-kata tajam dr. Wright yang ku rindukan." kata Theo sarkastik mengabaikan Savannah yang memutar bola matanya kesal.

"Sebaiknya kau kembali ke 'teman'mu disana, Theo. Sepertinya dia menunggumu." Rafe menunjuk ke wanita yang sedari tadi memperhatikan mereka.

"Sebaiknya aku kembali, sampai jumpa senin nanti dr. Wright." Theo kembali ke kerumunannya, sesekali pria itu menatap Savannah dan Rafe dan melemparkan senyuman kepada keduanya.

"Dia menyebalkan bukan?" Rafe memesan beberapa botol bir dan memberikan salah satu botolnya kepada Savannah.

"Sangat." Savannah menerima bir yang diberikan Rafe dengan senang hati. Ia segera menegak bir itu, mengabaikan rasa pahit yang memenuhi mulutnya, karena tenggorokannya terasa kering tiba-tiba.

"Aku tidak tau kenapa kau harus kesal kepadanya tetapi aku senang punya teman yang sama dalam hal ini." Rafe mengulurkan botol bir lainnya dan memandang takjub ke arah Savannah yang sudah menghabiskan satu botol bir dan beralih ke botol bir lainnya.

"Ayo menari." Savannah menarik tangan Rafe, mengabaikan rasa sakit yang perlahan menusuk kepalanya.

"Kau gila." Rafe hanya bergumam pelan tetapi kemudian tersenyum lebar ketika mereka berada di lantai dansa.

"Dan kenapa menurutmu aku gila, huh?" Savannah tau kalau alkohol kemungkinan besar sudah meracuni darahnya tetapi ia tidak peduli. Savannah merasa ringan dan bersemangat. Ia mengalungkan tangannya di leher Rafe dan untuk pertama kalinya menyadari kalau pria itu jauh lebih tinggi darinya, mungkin nyaris setinggi Kade. Savannah menggelengkan kepalanya, ia ingin melupakan Kade bukan semakin mengingat pria itu.

"Karena kau membuatku gila." Rafe berbisik di telinga Savannah membuat wanita itu tertawa ringan. Kedua tangan Rafe bergerak ringan di pinggang Savannah mengikuti irama musik.

"Jadi apa menurutmu aku masih seperti boneka cina?"

"Hmm.. Mungkin ya. Mungkin tidak." jawab Rafe ambigu membuat Savannah sedikit kesal.

"Mungkin ada hal yang bisa membuatmu berubah pikiran?" Savannah berjinjit hendak mendekatkan bibirnya di telinga Rafe ketika tiba-tiba mereka berdua di pisahkan dengan paksa. Membuat Savannah nyaris tersandung dan jatuh ke belakang bila tidak ada seseorang yang menahan dirinya.

"Rafael!" Seorang wanita, yang datang bersama gerombolan teman Rafael dan mengabaikan Savannah, datang dan memisahkan mereka.

"Apa kau baik-baik saja?" Savannah merasakan nafas hangat pria yang menolongnya tepat di lekukan lehernya. Membuatnya merinding seketika.

"Aku baik-baik saja, dr. Ruthbone." Savannah berusaha berdiri tetapi dia nyaris saja kembali tersandung ketika efek alkohol yang ia minum menyerangnya kembali.

"Sebaiknya aku memegangmu. Kau meminum terlalu banyak alkohol tadi." Theo memegang lengannya dan membantu Savannah agar wanita itu berdiri tegak. Mau tak mau Savannah menerima bantuan pria itu dan bersandar di badannya.

"Rachel." Rafe nampak sedikit kaget melihat wanita itu.

"Apa yang kau lakukan?!" Rachel menunjuk-nunjuk dada Rafe dengan telunjuknya yang berkuku tajam. "Kita belum putus, Rafe. Belum!"

"Oh Tuhan." Savannah bergumam pelan membuat wanita itu mengalihkan pandangannya ke arah Savannah.

"Diam kau, bitch. Rafe adalah kekasihku. Jangan dekati dia lagi." Rachel menggeram marah sementara Savannah yang setengah mabuk menatap wanita itu seolah-olah wanita itu adalah seorang medusa berkepala dua.

"Rachel." Rafe berusaha mendekati wanita itu ketika Rachel menampar pipinya membuat perhatian seluruh pengunjung pub teralih ke mereka. "Kau belum putus dariku Rafe, kau tidak akan putus dariku sebelum aku yang memutuskanmu."

"Apa kau terobsesi dengannya?" Savannah tau seharusnya pada saat-saat seperti ini dia diam dan tidak ikut campur tetapi sepertinya karena alkohol yang berada di dalam darahnya, membuatnya jauh lebih berani dari biasanya.

"Bitch." Rachel menggertak Savannah, wanita itu hendak melayangkan sebuah tamparan ke pipi mulus Savannah ketika sebuah tangan menahannya.

"Kurasa sudah cukup kau menampar satu orang hari ini, Rachel." ucap Theo yang sedari tadi berada di belakang Savannah.

"Akh!" Savannah menjerit kesal ketika Rachel menjambak sejumput rambut coklatnya.

"Cukup!" Rafe menarik Rachel menjauhi Savannah sementara wanita itu tersenyum sinis bagaikan wanita gila. "Maafkan aku, Anna. Tunggu sebentar, aku akan mengantarmu pulang nanti."

"Tidak perlu. Aku akan mengantar Savannah pulang. Kau bisa mengurus Rachel." ucap Theo dan segera menarik Savannah pergi.

***

Savannah menyenderkan kepalanya di jendela mobil. Rasa sakit akibat jambakan dan alkohol yang ia minum tidak juga reda meski ia sudah memijitnya sedari tadi.

"Minum ini." Theo melemparkan sebotol besar air putih ke pangkuan Savannah. "Ini akan membuatmu lebih baik."

Savannah memutar bola matanya kesal dan membuka tutup botol lalu menegaknya cepat, wanita itu berhenti sesaat dan segera kembali meminumnya ketika Theo menatapnya tajam.

"Habiskan. Lalu minum ini." Theo memberikan sebutir aspirin di tangan Savannah dan memaksa wanita itu menghabiskan minuman yang ia beri.

"Sial." Savannah mengumpat pelan dan kembali memijit kepalanya, rasa sakit akibat alkohol memang telah jauh berkurang tetapi rasa sakit akibat jambakan di rambutnya tidak berkurang sedikit pun. Kulit kepalanya rasanya nyaris terlepas.

"Besok akan lebih baik." kata Theo ringan sementara pria itu menyetir Porsche Savannah.

"Bukan kau yang merasa sakit." balas Savannah kesal sementara ia menutup matanya. "Aku tidak tau kenapa aku kesana. Mungkin hanya itu sekedar membuktikan diriku."

"Membuktikan dirimu?"

"Rafe bilang kalau aku rapuh seperti boneka kaca."

"Kau jelas-jelas tidak rapuh." Theo mendengus kesal mendengar Savannah. "Kau pernah menendang selangkanganku dan menyemprotku dengan semprotan lada, ingat?"

"Aku tidak rapuh." gumam Savannah pelan. "Aku tidak tau kenapa aku harus berhenti di tempat antah berantah ini." Savannah menarik nafas pelan. Entah karena ia mabuk atau karena ia memang benar-benar ingin menceritakannya kepada Theo, Savannah mulai bergumam pelan. "Tunanganku berselingkuh dengan sahabatku."

"Itu cerita klasik."

"Klasik?"

"Bukankah itu yang sering terjadi? Sahabatmu merebut kekasihmu, bukan hal baru lagi."

"Kau tidak mengerti. Tau apa kau tentang diriku?" Tanya Savannah kesal. "Aku mencintai Kade, dia mencintaiku. Kami nyaris saja menikah kau tau, bila saja wanita itu tidak datang dan memberitahukan semuanya mungkin saat ini aku sedang menikmati bulan maduku di Maldives bagaikan orang dungu tanpa mengetahui apapun."

"Apa kau yakin kau mencintainya?"

"Aku.. Mencintainya." gumam Savannah ragu. Apakah dia benar-benar mencintainya? Savannah tidak tau karena selama ini tidak pernah ada orang yang mempertanyakan cintanya kepada Kade. "Dia.. Sempurna. Kade adalah sebuah bentuk mimpi nyata bagi setiap wanita, dia perhatian, tampan, kaya hanyalah salah satu tambahan yang melengkapi kesempurnaannya."

"Dia terdengar terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan."

"Aku mencintainya." gumam Savannah lagi, seolah-olah ia ingin memastikan kalau ia benar-benar mencintai pria itu. Tapi perasaan yang dulu ia kira adalah cinta kini terasa hambar bukan hanya di lidahnya tetapi juga di hatinya.

"You are not in love with him. You are in love with the idea of love."

*****

Siapa yang pernah jatuh cinta? Atau mungkin mengira dirinya sedang jatuh cinta?




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro