
V. f a c a d e
F a c a d e
an outward appearance that is maintained to conceal a less pleasant or creditable reality.
"Kembalilah, Anna. Semuanya akan baik-baik saja." Suara Isabella melembut mendengar isak tangis anaknya.
"Tidak, Ma. Aku tidak bisa kembali." Savannah menarik nafas panjang. Isabella terdiam mendengar ucapan Savannah, tidak menyangka gadis itu akan mengatakan tidak kepadanya. "Aku tidak bisa kembali kesana."
"Anna.."
"Ku harap kau mengerti, Ma." Kata Savannah tergesa. Ia lalu segera memutuskan sambungan telfonnya dan mematikannya agar Isabella tidak berusaha menghubunginya lagi. "God." Savannah mengusap wajahnya lelah. Ia mengambil gelas wine yang berada diatas meja dapur dan segera menaruhnya ke bak cuci piring. Buku-buku jari tangannya memutih ketika kedua tangannya mencengkram pinggiran bak cuci piring, menahan dirinya sendiri agar tidak luruh dan jatuh sementara air mata terus turun membasahi pipinya.
***
Savannah memasang sepatu Christian Louboutin berwarna beige miliknya. Ia lalu merapikan rok sifon dan kemeja putih yang ia kenakan. James tidak mengatakan pada jam berapa ia harus datang kemarin, jadi menurutnya datang lebih cepat lebih baik. Ia tidak ingin memberikan kesan pertama yang jelek kepada rekan kerjanya nanti. Savannah meringis sesaat ketika teringat ia sudah memberikan kesan pertama yang jelek kepada Theo.
Siapa yang menyangka Theodore Jaxon Ruthbone akan menjadi rekan kerjanya nanti. Bila ia tau suatu hari nanti ia akan bekerja di Enlive Health, Savannah tidak akan menyemprot wajah pria itu dengan semprotan lada. Lebih buruk lagi, ia tidak akan menendang selangkangan pria itu.
Savannah merapikan rambut ikalnya. Rambutnya yang panjangnya melewati bahu, ia kuncir dengan rapi dan pastikan tidak ada satupun rambutnya yang mencuat keluar. Ia melihat penampilannya di cermin sekali lagi dan mulai mempraktekkan cara tersenyum yang baik agar ia tidak terlihat terlalu kaku nanti.
"Baiklah." Savannah tersenyum sekali lagi di depan cermin kemudian mengambil tas tangannya dan beranjak pergi. Udara dingin musim gugur membuat kakinya menggigil kedinginan tetapi Savannah memilih untuk mengabaikannya dan terus berjalan kaki menuju Enlive Health, ia berencana untuk membeli secangkir kopi dan croissant sebelum menuju Enlive Health. Mungkin juga ia akan membeli beberapa cup kopi untuk Emma dan Theo nanti. Savannah bertekad untuk memberikan kesan yang baik kepada mereka nantinya.
Langkah kaki Savannah berhenti ketika ia melihat seorang bocah laki-laki sedang duduk sendirian di atas ayunan. Bocah itu terlihat sedang memainkan pasir dengan ujung kakinya tanpa memperdulikan lingkungan sekitarnya. Savannah menatap anak laki-laki itu penasaran sebelum memutuskan untuk mendekatinya. "Apa yang kau lakukan disini?" Savannah bertanya kepada anak itu sementara dia hanya menatap Savannah sesaat dan kembali memainkan pasir. "Aku bertanya kepadamu."
"Aku tidak mengenalmu, miss. Dan ayahku bilang aku tidak boleh berbicara dengan orang asing." Gumam anak itu pelan ketika Savannah berjalan mendekatinya.
Saat ia mendekatinya, Savannah baru menyadari kalau bocah laki-laki yang berada di hadapannya ini adalah bocah yang sama yang pernah ia liat beberapa hari lalu. Bocah yang duduk di bangku pemain cadangan dengan wajah muram dan sedih. "Namaku Savannah Wright, aku baru saja pindah kesini." Anak itu memperhatikan Savannah yang kini berjongkok di hadapannya. Menyamaratakan pandangan mereka. "Apa aku masih menjadi orang asing bagimu?"
"Ya. Mungkin." Ucap anak itu tidak yakin. "Namaku Jonathan."
Savannah tersenyum tipis mendengar nama bocah itu. "Aku punya adik yang namanya hampir sama denganmu."
"Apa namanya juga Jonathan?"
"Tidak." Savannah menggeleng kemudian melanjutkan. "Namanya Nathaniel, tapi aku selalu memanggilnya Nathan. Apa aku boleh memanggilmu Nathan?"
"Hmm.. Tentu saja, miss. Ayahku juga memiliki panggilan lain untukku." Jonathan bergumam pelan.
"Apa yang kau lakukan sendirian disini?" Savannah menatap Jonathan penasaran. Taman bermain itu kosong, tidak ada satupun anak yang bermain kecuali Jonathan. "Kau tidak pergi ke sekolah?"
"Aku tidak ingin pergi ke sekolah."
"Kenapa?"
"Karena aku tidak bisa bermain baseball, dan teman-temanku mengejekku karena aku lebih suka bermain piano daripada baseball." Jonathan menunduk. Bibir mungilnya mengerucut kesal sementara kedua tangannya mencengkram rantai besi ayunan dengan kuat.
"Kenapa tidak ikut bermain piano saja kalau begitu?"
"Dad dulu merupakan pemain baseball, dan aku ingin menjadi sepertinya." Savannah terhenyak mendengar pengakuan Jonathan. Ia seperti melihat dirinya sendiri di masa lalu.
"Dengarkan aku, Nathan. Kau bisa tetap bermain baseball dan piano. Kau tidak harus memilih diantara keduanya." Ucap Savannah sesaat setelah ia cukup lama berpikir.
"Ta-tapi.."
"Aku akan mengajarkanmu bermain piano. Dan kau bisa bermain baseball di sekolah. Bagaimana?" Tawar Savannah sembari berharap dalam hati bocah itu mau menerima tawarannya.
"Ayahku mungkin akan marah."
"Ayahmu tidak perlu tau." Savannah tersenyum kecil. "Aku akan mengajarkanmu bermain piano dirumahku setiap jumat sore selama satu jam."
"Kau akan mengajarkanku?"
"Ya." Savannah mengangguk yakin. "Datang saja jumat sore minggu depan di sini. Aku akan menjemputmu lalu kita bisa pergi kerumahku bersama-sama."
"Kenapa tidak sekarang?" Jonathan menatapnya ragu-ragu.
"Karena sekarang kau harus ke sekolah."
"Eum.. Apakah aku boleh minta tolong?"
"Apa?"
"Bisa antarkan aku ke sekolah? Berikan alasan kepada guruku." Ucap Jonathan cepat.
"Baiklah." Savannah kemudian berdiri dan menepuk roknya. Merapikan kembali rok sifonnya yang berkerut karena ia terlalu lama berjongkok. "Ayo." Savannah meraih tangan mungil Jonathan. Mereka lalu bergandengan tangan dan berjalan tanpa merasa perlu tergesa-gesa menghadapi dunia.
***
Lupakan kopi. Lupakan segala hal yang ia hendak lakukan untuk mendapatkan brownie points dari rekan kerjanya.
"Kau terlambat." Ucap Theodore Jaxon Ruthbone singkat ketika Savannah akhirnya tiba di Enlive Health.
"30 menit!" Savannah hendak memprotes kesal tetapi berhenti melanjutkannya melihat tatapan tajam yang di berikan Theo kepadanya.
"Bila kau bertugas di ruang emergency sekarang, kau mungkin telah menyebabkan beberapa nyawa melayang karena keteledoranmu." Ucap Theo sinis dan kemudian kembali masuk ke dalam ruangannya.
"God." Savannah bergumam kesal dan berbalik melihat Emma yang sedaritadi menonton mereka. "Aku benar-benar mengacaukannya bukan?"
"Bila aku menjadimu. Aku tidak akan melakukannya untuk kedua kalinya." Kata Emma sementara wanita itu merapikan data-data pasien.
"Dr. Ruthbone tidak memberitahuku kapan aku harus datang kemarin." Savannah mendesah keras. Kakinya terasa sakit karena berjalan menggunakan hak tinggi seharian, yang ia butuhkan saat ini hanyalah duduk dan melepaskan sepatu sialan itu.
"Kukira kau sudah tau." Emma mengetukkan pulpennya di dekat plakat bertuliskan jam buka dan tutup Enlive Health. Great. Enlive Health buka dari pukul setengah sembilan pagi hingga empat sore. Mengingat sekarang sudah pukul sembilan lewat, Savannah benar-benar terlambat tiga puluh menit.
"Aku akan menunggu di ruanganku." ucap Savannah kesal. Ia segera masuk ke dalam ruangan yang bertuliskan nama dr. James Ruthbone, mengingat hari ini ia akan menggantikan pria itu.
Savannah melepaskan sepatunya dan menggantinya dengan slipper yang tersedia di ruangan itu. Tidak lama kemudian ia mendengar suara ketukan pintu dan Emma yang membuka pintunya.
"dr. Wright, ada pasien untukmu." Kata Emma. Wanita itu menyerahkan data pasien kepada Savannah.
"Dimana dr. Ruthbone?" Savannah mengerutkan keningnya. Ia tidak ingin melakukan kesalahan lagi di hari pertamanya bekerja disini.
"dr. Ruthbone sedang pergi membeli persediaan obat." Ucap Emma singkat. Wanita itu segera berbalik dan kembali dengan seorang wanita dan bayi yang cukup Savannah kenal.
"Anna?"
"Jenna?" Savannah tersenyum singkat melihat Jenna Jenkins menggendong Bella di pelukannya. "Ada apa?"
"Beberapa hari ini dia demam dan tidak mau makan." Jenna mendudukkan Bella diatas kasur pasien dan membiarkan Savannah memeriksa bayi kecil itu.
"Coba buka mulutmu, bilang 'aaa'." Savannah memeriksa tenggorokan Bella kemudian memeriksa mata, telinga, dan hidung bayi itu. Ia lalu memeriksa dadanya dengan stetoskop. "Apa dia habis flu baru-baru ini?"
"Ya. dr. Ruthbone memberikannya obat untuk flunya. Tapi demamnya tidak turun."
"Hm.. Demamnya tidak turun karena ada radang di tenggorokannya. Aku akan memberi resep obat penurun demam dan antibiotik."
"Terima kasih, Anna." Jenna kemudian menggendong bayinya keluar dari dalam ruangan Savannah.
Savannah menghela nafas panjang dan mengistirahatkan kakinya yang lelah. Selama beberapa saat ia merasa tenang tetapi kemudian ketenangannya terganggu ketika Theo masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Savannah kesal ketika pria itu masuk dan berdiri di tengah-tengah ruangan.
"Kau mengambil pasienku!" Kata Theo kesal menahan amarahnya.
"Ya. Lalu?"
"Bella Jenkins sudah menjadi pasienku sejak ia lahir."
"Aku tidak mengerti dr. Ruthbone. Aku hanya melakukan apa yang kau sarankan."
"Apa yang aku sarankan?"
"Kau tidak ada di tempat. Jadi aku menggantikanmu. Bila kau sedang berada di ruang emergency, mungkin telah banyak nyawa melayang bila aku tidak menggantikanmu." Kata Savannah memutar balikkan apa yang Theo ucapkan kepadanya pagi tadi.
"Seharusnya kau menungguku!"
"Lain kali aku akan menunggumu. Sekarang keluar dari ruanganku." Savannah memijit ujung hidungnya. Tidak mengerti kenapa Theo harus begitu marah untuk hal sesepele ini.
"dr. Wright, ada pasien untukmu." Tepat pada saat itu, Emma masuk dan melihat kecanggungan yang terjadi didalam ruangan itu.
"Mungkin maksudmu pasien untuk dr. Ruthbone." Ucap Savannah mengabaikan tatapan bingung Emma atau tatapan kesal Theo.
"Pasien untukmu dr. Wright, mereka secara khusus meminta ingin diperiksa olehmu." Ucap wanita itu bingung. Sementara Theo hanya mendengus kesal lalu berjalan keluar dari ruangan Savannah.
***
Savannah menepuk lehernya yang kelelahan dan meluruskan kakinya yang lelah. Ruang tunggu pasien yang tadinya sepi tiba-tiba penuh dengan pasien. Banyak diantaranya bahkan tidak sakit, mereka hanya penasaran dengan sosok Savannah dan mengajukan banyak pertanyaan mengenai kedatangannya di kota ini. Meja kerjanya penuh dengan bertoples-toples selai dan pai, sebagian besar diantara mereka memang datang dengan membawa makanan yang akan mereka berikan kepada Savannah.
"dr. Wright, ada tamu yang ingin menemuimu." Emma mengetuk pintu Savannah lalu segera masuk.
"Tamu? Bukan pasien?" Savannah menarik nafas panjang, setidaknya yang satu ini tidak perlu berpura-pura menjadi pasiennya bila hanya ingin mengintrogasinya.
"Hey." Savannah melihat Rafe yang ternyata berdiri tepat di belakang Emma, membuat wanita itu sedikit canggung dan segera menyingkir meninggalkan keduanya.
"Hey." Savannah tersenyum melihat Rafe, senyumnya semakin melebar melihat sebuah buket bunga yang dibawa Rafe.
"Aku liat kau sudah mendapatkan pekerjaan dan menetap di kota ini." Rafe tersenyum lebar lalu duduk diatas kursi di hadapan Savannah.
"Ya. Siapa yang menyangka aku akan menetap disini."
"Mereka semua membicarakanmu. Dokter muda baru di Enlive Health, ku lihat bahkan sebagian besar sudah menyambutmu di kota ini." Ucap Rafe, ia lalu mengalihkan pandangannya ke tumpukan selai dan pai yang memenuhi meja kerjanya.
"Eum. Yeah. Aku tidak darimana mereka bisa tau secepat ini."
"Gosip memang menyebar dengan cepat di Lockport." Rafe mengangguk setuju.
"Lalu?"
"Lalu?" Rafe mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Kau hanya ingin mengucapkan selamat datang kepadaku?"
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu malam ini untuk datang menonton pertunjukanku di pub luar kota."
"Tapi?" Tanya Savannah mengerti kalau akan ada kata 'tapi' dibalik ajakan Rafe.
"Tapi kau bukan wanita seperti itu." Rafe tersenyum tipis.
"Lalu aku tipe wanita seperti apa?" Savannah menaikkan alisnya, mereka bahkan tidak mengenal satu sama lain. Atas dasar apa Rafe ingin menjudgenya seperti apa.
"You're soft, delicate, easy to be broken. Like a chinese doll." Bibir Savannah mengkerut mendengar pendapat Rafe tentang dirinya. "Kau bukan tipe wanita yang diajak bersenang-senang di pub, Anna. Kau tipe wanita yang diajak ke restoran mahal dan mewah, restoran yang memiliki daftar menu dengan nama aneh yang takkan pernah bisa kau ucapkan dengan benar."
Savannah semakin mengkerut mendengar kebenaran yang di ucapkan Rafe. Kade tidak pernah mengajaknya ke pub murahan, meminum bir seharga sepuluh dollar. Mereka selalu menghabiskan kencan mereka di restoran bintang lima bertaraf Michelin, meminum wine seharga ribuan dollar. "Kau benar. Aku memang bukan wanita seperti itu."
"Bukan berarti aku tidak jadi mengajakmu. Kau bisa datang nanti malam kalau kau mau." Rafe menyeringai lebar, memperlihatkan lesung pipi yang ia miliki.
"Kita lihat saja nanti."
"Kita lihat saja nanti." Ucap Rafe menirukan ucapan Savannah. "Sebaiknya aku pergi. Bye Anna." Rafe lalu keluar dengan sebuah senyuman dan siulan yang tidak lepas dari bibirnya.
*******
There is no perfection.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro