Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IX. f r i e n d

f r i e n d

a person whom one knows and with whom one has a bond of mutual affection


"Danny?" Savannah membelalakkan matanya tidak percaya melihat pria yang terakhir kali ia temui saat pernikahannya sebulan yang lalu kini berada di hadapannya. Terlihat lelah dan berantakan.

"Hello, Anna." Danny melambaikan tangannya lalu memeluk Savannah sekilas ketika wanita itu sudah berada di hadapannya dan masih diam mematung.

"Apa yang terjadi?"

"Aku merindukanmu." Daniel Wellington tersenyum sembari meringis pelan.

"Danny." Savannah memutar bola matanya kesal. "Apa yang terjadi? Apa yang terjadi dengan wajahmu?" Ucap Savannah ragu-ragu ketika memperhatikan wajah Danny yang membiru di beberapa sudutnya. Saat jemarinya berusaha menyentuh wajah Danny, pria itu meringis pelan. "Sebaiknya kita masuk. Aku akan memberikan es untuk lukamu." Savannah segera membuka pintu rumahnya dan menyampirkan mantelnya ke gantungan mantel yang berada di dekat pintu sementara Danny mengikutinya dari belakang.

"Rumahmu bagus." Danny duduk di salah satu sofa menghadap ke perapian sementara Savannah yang berada di dapur mengambil es dan kain.

"Jangan bercanda. Kau yang memilih interiornya." 

"Kalau begitu berarti seleraku bagus." Savannah mendengus kesal mendengar tawa kecil yang keluar dari mulut pria yang berada di hadapannya ini. Daniel Wellington, pria pemilik jaringan W Hotel ini memiliki aksen british dan sikap casanova yang anehnya tidak berlaku bagi Savannah. Pria itu hanya merupakan salah satu sahabat Kade hingga sebulan yang lalu, ketika ia memutuskan untuk membantu Savannah lari di hari pernikahannya. Rambutnya yang berwarna gelap terlihat mempesona meski berantakan. Tapi diantara seluruh kehebatan atau keindahan yang Tuhan berikan kepada pria yang berada di hadapannya ini, Savannah hanya terpukau dengan kedua mata Danny. Pria itu memiliki kelainan genetika heterochromia, yang membuat kedua matanya memiliki warna yang berbeda. Salah satu matanya berwarna biru sementara mata lainnya berwarna separuh coklat separuh biru.

"Ada apa dengan wajahmu?" Savannah mengambil salah satu gel untuk luka dari kabinet obatnya lalu duduk di hadapan Danny, menempelkan es batu di wajahnya.

"Kade." 

"Kade?"Gerakan tangan Savannah yang sibuk tiba-tiba berhenti dan membatu.

"Dia mencarimu, Anna." Savannah memilih untuk berpura-pura tuli dan kembali mengambil es batu karena es yang berada di tangannya sudah mulai mencair. "Anna, semua orang mencarimu. Isabella, Gordon, Nathaniel.."

"Apa kau juga ingin menyuruhku kembali seperti mereka?"

"Demi Tuhan, tidak." kata Danny gusar. "Setidaknya kau harus berbicara atau menemui salah satu dari mereka."

"Aku berbicara dengan ibuku." Savannah bergumam pelan.

"Dia mengkhawatirkanmu."

"Sudah terlambat lima belas tahun untuk itu." Ucap Savannah getir, teringat bagaimana selama lima belas tahun terakhir ini ibunya sibuk mengasihani dirinya sendiri, tenggelam dalam kesedihannya atas pernikahannya yang berantakan dan nyaris melupakan anak-anaknya yang masih membutuhkan bantuannya. 

"Anna." Danny mengenggam tangan Savannah.

"Apa dia juga melakukan ini?" Savannah melihat luka lebam yang juga terbentuk di buku-buku jari tangan Danny.

"Aku yang melakukannya." Danny terkekeh pelan dan membiarkan Savannah mengoles gel untuk luka di buku-buku jari tangannya. "Aku meninjunya sekali. Kurasa cukup sebagai balasan atas tinjuan yang ia berikan kepadaku."

"Maafkan aku."

"Kau tidak perlu minta maaf, Savannah. Kurasa aku juga salah karena turut andil membantumu lari darinya. Dia pantas meninjuku."

"Dia meninjumu?"

"Tepat di hotelku. Saat aku baru saja selesai rapat dengan para pemegang saham. Kesabaran Kade semakin menipis kurasa." Danny mendecakkan lidahnya. "Dia datang nyaris setiap hari menemuiku, Anna. Awalnya dia hanya memintaku berbicara denganmu.."

"Karena itu kau berikan nomor ponselmu kepadanya." Savannah memotong perkataan Danny.

"Yap. Lalu setelah berbicara denganmu, dia memaksaku agar bisa bertemu denganmu. Ada hal yang belum ia jelaskan kepadamu.."

"Tapi apa yang Kanya katakan kepadaku.."

"Savannah. Sudahkah kau mendengar apa yang terjadi dari dua pihak?" Savannah menggelengkan kepalanya lalu kemudian Danny melanjutkan. "Aku yakin Kade memiliki alasan untuk pilihan yang dia pilih, Anna. Lagipula aku tidak bisa percaya wanita itu. Kanya tidak pernah benar-benar menjadi sahabatmu."

"Apa maksudmu?"

"Wanita itu selalu iri denganmu. Aku tidak tau apa yang ada didalam pikirannya ketika ia memutuskan untuk mengkhianatimu, mengkhianati orang yang menganggapnya sebagai seorang sahabat."

"Kau tidak tau, Dan. Maksudku.. Ini bukan hanya Kanya dan Kade."

"Lalu apa, Anna? Apakah ada hal lain yang tidak ku ketahui?"

Savannah menarik nafas dalam lalu kemudian menceritakan semuanya. Mulai dari ibunya, ayahnya, Katherine, hingga Kade. Semuanya. Hingga nyaris tidak tersisa. "Kau sekarang bisa mengira bagian mana yang paling menyakitkan, Dan. Ini bukan hanya Kade berselingkuh dariku. Aku bisa saja memaafkannya dengan mudah bila itu semudah.. sesimpel yang dibayangkan."

"Kade bukan ayahmu." Danny bergumam pelan.

"Aku tau." Savannah mengerjapkan matanya beberapa kali. Tidak menyadari kalau ia sedang menahan tangisnya sedari tadi.

"Kau menerima surat-surat yang kukirimkan bukan?"

"Aku belum membuka surat yang dikirimkan Kade untukku." Surat itu masih berada di salah satu tumpukan buku diatas mejanya. Nyaris tidak terlihat.

"Anna.."

"Aku tidak bisa, Danny. Aku tidak bisa menjadi seperti ibuku, yang memaafkan pria yang telah menyakiti hatinya begitu dalam dan terus bersamanya."

"Savannah. Kade bukan ayahmu, dan kau bukan ibumu. Kau harus belajar mempercayainya."

"Aku mempercayainya, Dan! Bila aku tidak mempercayainya, aku tidak akan menerima lamaran yang ia berikan. Aku tidak akan nyaris menikah dengannya." Tiba-tiba Savannah merasa begitu sesak. Seolah-olah semua oksigen yang berada didalam tubuhnya di gantikan karbon dioksida. Perasaan yang ia pendam selama lima belas tahun ini kembali muncul ke permukaan, membuatnya sesak.

"Kau tau kalau kau tidak bisa sembunyi selamanya bukan?"

"Aku tau. Beri aku waktu, sedikit lagi." Savannah tau kalau saat ini ia sedang bersikap egois. Bersembunyi dibelakang Danny sementara pria itu siap menjadi tamengnya. Bukti sikap egoisnya sudah terlihat jelas sekarang, Danny terluka saat ia menolak memberitahu keberadaan Savannah sekarang. Tapi Savannah masih ingin bersikap egois, dia belum siap. Belum siap mengetahui kebenarannya, belum siap menemui Kade kembali. Savannah belum bisa mempercayai dirinya sendiri karena ia takut, ia takut kalau dia memang benar-benar mencintai pria itu dan akan kembali kepadanya.

"Dia akan datang."

"Aku belum siap, Danny."

"Aku hanya ingin memberitahumu agar kau bisa mempersiapkan dirimu, Anna." Danny menatap kedua bola mata coklat Anna. Wanita itu punya mata yang indah, meski tidak unik seperti kedua bola matanya. "Dia akan datang. Ku harap kau siap bila dia tiba."

"Apa kau akan segera kembali ke New York?" Savannah merapikan baskom berisi es yang telah mencair. "Sebaiknya kau menginap dulu disini."

"Baiklah bila kau memaksa." Danny kembali tersenyum. Aura berat dan sedih yang tadinya melingkupi mereka tiba-tiba terangkat dengan mudah. Pria ini memang mudah mengganti suasana, dari sedih ke ceria dalam sekali jentikan tangan.

"Aku tidak memaksamu. Tapi sudahlah." Savannah mengibaskan tangannya tidak bisa menyembunyikan senyum yang terbentuk di wajahnya. "Kau bisa tidur di sofa bukan?"

"Anna." Danny mengerang kesal. God. Dia pemilik jaringan W Hotel, salah satu jaringan hotel terbesar di dunia dan saat ini ia harus tidur di sofa, di salah satu kota terpencil di Lockport.

"Aku akan membawakan selimut untukmu."

***

Savannah terbangun dengan perasaan yang lebih ringan. Aneh, mengingat kejadian kemarin berjalan seperti siput di kepalanya. Savannah lalu segera beranjak ke dapur, hendak membuat secangkir kopi untuknya pagi ini.

"Gaun tidur yang bagus."

"God!" Savannah terpekik kaget ketika melihat Danny, sudah mandi dan mengganti baju yang ia kenakan kemarin, sedang memasak sesuatu di dapur. Savannah segera mengetatkan ikatan kimono sutra hingga menutupi gaun tidur yang ia kenakan. "Kau membawa baju ganti?"

"Tentu saja. Aku membawa baju ganti di mobilku." Jawab Danny lalu kembali sibuk dengan sesuatu yang di masaknya.

"Mini Cooper itu milikmu?" Savannah melihat keluar jendela dan melihat sebuah mobil Mini Cooper berwarna merah yang di parkir berdampingan dengan mobil Porsche.

"Milikmu. Kuncinya sudah ku taruh di gantungan kunci yang berada di dekat pintu."

"Kau tau kalau ini sedikit berlebihan bukan, Danny? Aku sangat berterima kasih kepadamu, tapi.." Savannah mengerang pelan.

"Aku meminjamkannya kepadamu." Danny tersenyum ketika memindahkan sesuatu yang dimasaknya ke piring lalu menaruhnya di hadapan Savannah. "Aku akan mengambil Porsche ku, kau bisa memakai Mini Coopernya selama disini."

Savannah memutar bola matanya kesal. Ia lalu melihat makanan yang Danny taruh diatas piringnya. "Well, terima kasih kalau begitu." Savannah mengambil garpu lalu memasukkan masakan yang Danny masak ke dalam mulutnya sementara Danny menatapnya lurus-lurus seperti anak kecil. "Apa ini?" Savannah menahan diri untuk tidak muntah begitu makanan itu menyentuh lidahnya.

"Giblet Gravy." Danny melihat Savannah yang berusaha menelan makanan itu dengan susah payah. "Makanan khas Thanksgiving."

"Kau tau kalau Giblet Gravy berbentuk seperti sup bukan?"

"Oh." Ekspresi wajah Danny terlihat kecewa. "Anggap saja kau beruntung karena merasakan masakan pertama seorang Daniel Wellington."

"You're hopeless, Daniel." Savannah tersenyum kecil "Bagaimana kalau aku mengajakmu ke The Break? The Break memang bukan restoran besar bertaraf Michelin seperti yang biasa kau datangi di New York tapi.."

"Ayo kesana kalau begitu." Jawab Danny cepat. Ia segera mengambil piring yang berada di hadapan Savannah lalu membuang isinya ke tong sampah. "Makanan ini sampah, aku tidak percaya aku baru saja memasak sesuatu."

***

Savannah tidak pernah merasa berada di tempat yang salah selama ini. Tapi saat ia berada di The Break dan duduk bersama Danny, ia merasa canggung dan serba salah. Mereka terlihat berbeda bila dibandingkan dengan pengunjung The Break yang lain.

"Hai, kau ingin pesan apa, Anna?" Annie menyapanya tetapi matanya terlihat menatap Danny penasaran. Savannah tidak ingin ada gosip lain lagi tentangnya. Sudah cukup Rafe dan Theo, ia tidak ingin dianggap sebagai wanita yang suka memainkan perasaan laki-laki.

"Kopi dan fish and chips, kau ingin pesan apa, Danny?"

"Aku pesan makanan yang sama denganmu saja."

"Oh ya, Annie. Kenalkan ini, Danny, temanku." Savannah menekan kata teman, memastikan kalau Annie tidak mengira hal aneh kepadanya.

"Hai, namaku Danny." Seperti seorang gentleman Danny mengulurkan tangannya terlebih dahulu lalu memberikan senyum sejuta watt yang dapat dengan mudah melelehkan hati setiap wanita tidak terkecuali Annie. Wanita itu tegeragap kaget ketika menerima uluran tangan Danny. Matanya tidak bisa lepas dari melihat kedua bola mata Danny yang unik.

"Matamu.."

"Oh, heterochromia. Kelainan genetika. Dan.. Tidak, aku tidak mengenakan kontak lens." Kata Danny cepat. Dia memang sudah terbiasa dengan orang-orang yang menatap matanya dan mempertanyakannya.

"Maafkan aku. Namaku Annie."

"Senang berkenalan denganmu, Annie." Danny tersenyum kecil membuat pipi Annie bersemu.

"Aku akan segera membawakan pesanan kalian." Ucap Annie lalu segera beranjak pergi. Tidak lama kemudian wanita itu kembali dengan dua piring fish and chips dan dua cangkir kopi.

"Kau benar. Ini enak." Danny segera melahap fish and chipsnya. Tidak peduli dengan cipratan minyak yang bisa saja mengenai kemeja seharga ribuan dollar yang ia kenakan. "Kau darimana kemarin?"

"Ada acara Thanksgiving yang diadakan kantorku."

"Pria yang mengantarmu kemarin siapa?"

"Oh, Dr. Ruthbone? Dia rekan kerjaku. Aku tidak tau dimana letak acaranya jadi dia yang mengantarku kesana."

"Oh.." Danny mengganggukkan kepalanya mengerti. "Aku masih ingin berlama-lama disini, Anna. Tapi kau tau kalau pekerjaanku butuh banyak perhatian."

"Aku mengerti." Savannah tersenyum tipis. Bertemu salah seorang yang merupakan bagian hidupnya di New York tidaklah separah yang ia bayangkan, Danny jauh lebih pengertian daripada yang ia bayangkan. Melihat lebam di wajahnya membawa sedikit rasa perih di hatinya. "Maafkan aku, Dan."

"Untuk apa?"

"Untuk Kade. Aku akan berbicara kepadanya bila aku sudah siap. Maafkan aku karena sudah merepotkanmu."

"Kau tidak merepotkanku, Anna. Aku memilih untuk menolongmu, jangan buat aku menyesali pilihanku." Danny tersenyum menyeringai kepadanya. Secara tidak langsung memperlihatkan keangkuhan dari wajah aristokratnya. Orang-orang biasanya akan menilainya sombong dan angkuh bila mereka belum pernah berbicara atau mengenalnya lebih jauh.

"Kau teman yang baik, Dan."

"Benar. Apa gunanya teman sepertiku kalau tidak bisa kau manfaatkan?" Savannah membelalakkan matanya tidak percaya. "Aku tidak percaya aku memberikanmu semua ini saat aku bukan apa-apamu, Anna. Mobil, rumah, ouch." Danny mengeluh pelan ketika Savannah sengaja mencubit bagian tangannya yang lebam membiru.

"Danny." Savannah menatap Danny lurus-lurus.

"Aku hanya bercanda, Anna. Kau tunangan sahabatku, mana mungkin aku mengencanimu." Danny tertawa terkekeh.

"Mantan tunangan." Savannah memperbaiki perkataan Danny dengan kesal.

"Kau masih memakai cincinnya, bukankah itu berarti kau masih menjadi tunangannya?" Danny menunjuk ke arah cincin yang melingkar di jari Savannah.

"Ini cincin ibunya, aku takut kalau ini hilang." Savannah memutar-mutar cincin yang berada di jari manisnya. Cincin itu memang cincin ibu Kade, dia bahkan tidak berani melepasnya dari jemarinya. Takut cincin itu hilang.

"Aku tau." Danny melihat Savannah dengan tatapan yang susah di tebak. "Makanan ini enak. Ayo cepat habiskan, lalu kita bisa kembali rumahmu. Dan aku bisa kembali mengendarai Porsche ku."

"Tentu saja." 


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro