Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

III. e c h o

e c h o

a sound heard again near its source after being reflected.

Suara jam berdetak pelan mengikuti gerakan jarum panjang yang terus bergerak setiap detiknya meskipun waktu terasa diam baginya.

Savannah berdiri di ujung pintu tanpa berusaha mendekat sedikit pun, seolah-olah kakinya lumpuh dan tidak mampu lagi berjalan mendekati sosok pria yang berada di hadapannya. Pria itu duduk di tepi kasur, wajahnya menunduk sementara kedua tangannya menggenggam erat ponsel yang berada di tangannya, kedua bahunya bergetar sementara tetes demi tetes air mata turun membasahi karpet yang berada di bawah kakinya.

Savannah bisa mendengar suara gaung di tengah mansion yang mereka miliki di Upper East Side, New York. Savannah bisa mendengar suara gaung bantingan pintu dari kantor ayahnya atau suara dentingan gelas dari arah dapur. Tapi lagi-lagi Savannah berdiri kaku dan menatap lurus ke arah pria itu.

"Anna, aku membunuh mereka." Suara pria itu terdengar bergetar dan sarat rasa bersalah. "Aku seorang pembunuh."

Ingin rasanya Savannah berjalan mendekati pria itu, memeluknya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja tapi kedua kakinya terasa lumpuh dan tidak ada satupun hal yang bisa ia katakan kepada pria itu karena Savannah tau ia tidak bisa berjanji kalau semuanya akan baik-baik saja. Karena kata baik-baik saja hanya akan menjadi sebuah benalu dan momok yang tidak akan pernah ia lupakan.

Jarum detik bergerak ke arah angka dua belas dan jarum lainnya mulai bergerak tetapi Savannah masih berdiri diam di ujung pintu.

"Mereka mati." Suara pria itu bagaikan gaung yang memekakkan telinga.

Pernahkah kau membayangkan sebuah meteor? Saat meteor itu jatuh ke permukaan bumi, hancur hingga membentuk kepingan-kepingan kecil hingga berubah menjadi debu dan tidak menyisakan apapun selain lubang besar.

Itulah yang pria itu rasakan saat itu. Rasa sakitnya tidak hanya menjalar di dadanya tetapi juga di dada orang-orang yang berada di sekitarnya. Bagaikan virus yang tidak bisa dengan mudah disembuhkan.

Savannah berusaha mendekat, dengan langkah pelan dan pasti kemudian melingkarkan tangannya di pundak pria itu menariknya ke dalam sebuah pelukan. Menarik adiknya dari lingkaran setan yang tengah dirinya buat. Savannah menarik nafas pelan kemudian mengucapkan sebuah kata dengan nada terlembut yang pernah ia keluarkan. "You still have me," ucap Savannah berbisik pelan.

Nathaniel Wright menghela nafas panjang dan menguburkan wajahnya di dada Savannah dan terisak pelan. Untuk pertama kalinya sejak sekian tahun mereka saling menjaga jarak, Nathaniel membiarkan Savannah memeluknya, menjadikan wanita itu sebagai jangkar tempat ia bersandar.

"You will always have me," ucap Savannah pelan dan mengusap rambut Nathan yang berantakan. Untuk sesaat Savannah merasa mereka seperti kembali kepada masa kanak-kanak. Saat usianya baru sepuluh tahun, saat ia memaksa Nathan menutup telinganya agar tidak mendengar pertengkaran orang tua mereka. Di hadapannya kini bukan lagi seorang pria beranjak dewasa, pria itu kini berubah kembali menjadi sosok bocah laki-laki.

"You will always have me, Nathan"Tidak ada hal lain yang bisa ia katakan karena di dalam hati ia tau kalau kata maaf atau kata kalau ia mengerti atau bahkan kata-kata 'kau akan baik-baik saja' hanyalah sebuah kebohongan. Savannah tidak mengerti, dia bahkan tidak tau apa yang terjadi. Dia hanya bisa memastikan kalau dia berada disana saat pria itu membutuhkannya.

Kali ini jarum menit berada tepat di angka dua belas memaksa jarum-jarum lainnya untuk bergerak pelan menuju arah lain sementara keduanya masih berada di tempat yang sama mendengarkan suara gaung detak jam dan jantung mereka yang beradu cepat.

***

Setelah berada di Lockport selama tiga hari, Savannah baru menyadari kalau dialah satu-satunya tamu di The Break, meskipun tempat itu ramai bila siang dan malam hari. Mobil Porsche Danny sudah datang dari bengkel sehari lalu tapi hingga kini Savannah belum menggunakannya sama sekali dan membiarkan mobil mewah itu terparkir di parkiran The Break hingga memancing rasa penasaran beberapa penduduk.

Setelah tiga hari, Savannah menerima sebuah amplop besar yang tidak lain berasal dari Danny. Sebuah amplop yang berisi surat-surat lainnya dan segepok uang tunai. Savannah berusaha mengangkat kakinya yang bengkak dan merangkak naik ke atas kasur, membawa serta uang tunai dan surat-surat yang Danny kirimkan kepadanya. Savannah menghela nafas pelan sementara otaknya mulai berpikir. Dia sudah membuka beberapa surat yang dikirimkan sahabat-sahabatnya -surat yang lebih berisi umpatan betapa munafiknya Kanya- dan sebuah surat dari kedua orang tuanya, kini hanya tersisa dua buah surat. Satu buah surat dengan tulisan tangan rapi dengan sebuah pena dan satu buah surat dengan tulisan acak-acakan nyaris tak terbaca. Berbeda namun serupa, dikirim oleh dua orang pria yang sangat berarti dalam hidupnya.

Savannah menarik nafas dalam lalu memutuskan untuk menyimpan kedua surat itu di bawah bantalnya.

***

"Good morning, lads'. Kau terlihat sedikit mendingan, aye?" Christie menyapanya dengan aksen kental yang baru ia sadari.

"Selamat pagi." Savannah mengangguk kaku, masih belum bisa membiasakan diri dengan keramahan yang wanita itu berikan.

"Kau ingin sarapan di The Break? Mereka menyajikan panekuk lezat dengan bacon pagi ini. Rob benar-benar memanjakanmu!" Christie tertawa terkikik sementara Savannah berusaha mencerna apa yang Christie katakan di balik aksen kental yang ia miliki. "Chop chop, chop chop. Kau harus berangkat cepat. Aku dengar hari ini akan ramai pengunjung." Christie mengarahkan Savannah yang lagi-lagi menyeret kakinya. "Oh dear, kau harus pergi ke Enlive Health, kakimu benar-benar terlihat mengerikan."

***

Savannah berjalan tertatih menikmati cahaya pagi musim gugur di Lockport. Daun-daun maple berwarna coklat kekuningan jatuh memenuhi trotoar jalanan. The Break di hias dengan warna oranye dan coklat khas musim gugur, beberapa pojokannya di hiasi tengkorak plastik, kelelawar, dan labu buatan. Tidak hanya The Break, beberapa sudut kota pun sudah di penuhi hiasan Halloween. Sebuah poster besar di tempel di depan sebuah pub kecil. Undangan-undangan pesta kostum yang meriah membuat Savannah sedikit merindukan New York.

Pada akhir bulan oktober, Savannah akan pergi bersama teman-temannya ke salah satu bar mewah di kalangan elit New York dan menikmati pesta kostum bersama segelas martini atau sampanye. Meski tidak semewah New York, Lockport juga terlihat tidak kalah meriah ketika merayakan Halloween.

Savannah menggigit bibirnya nyeri ketika lagi-lagi kakinya berulah dan memaksanya berhenti tepat di hadapan sebuah rumah. Savannah memandang ke sekelilingnya dan menyadari kalau dia sudah berjalan cukup jauh dan kini berada di daerah perumahan. Savannah terdiam sesaat ketika melihat keluarga Jenkins, keluarga yang pernah ia temui di The Break, baru saja keluar dari rumah berukuran sedang dengan pintu kayu bercat kuning mentega cerah. Pasangan Jenkins tertawa lepas ketika melihat anak laki-laki mereka yang Savannah perkirakan baru berusia tujuh tahun melompat turun dan menghentakkan kakinya di antara daun-daun maple yang jatuh berguguran, membuat tumpukan daun itu kembali berantakan. Sang ayah hanya memperhatikan dengan senyum yang tidak lepas dari wajahnya sementara tangannya menggenggam wanita yang tengah hamil tua sementara tangan lainnya menjaga bayi berusia dua tahun yang berada di gendongannya.

Savannah terkesiap ketika menyadari ia terlalu memperhatikan keluarga itu hingga lupa kalau keluarga itu kini hanya berdiri beberapa langkah darinya. Baru saja Savannah hendak beranjak pergi ketika wanita itu memanggil dirinya. Dengan langkah pelan dan ragu-ragu Savannah mendekati keluarga Jenkins dan tersenyum kaku.

"Hey, namamu Anna kan?"

"Savannah, tapi kalian bisa menyingkatnya jadi Anna." Savannah tersenyum kaku.

"Namaku Jenna, ini suamiku David. Munchin kecil ini Tommy, bayi kecilku Bella." Jenna memperkenalkan anggota keluarganya satu persatu sementara Tommy bersembunyi di balik kaki ayahnya. "Aku mendengarmu dari Rafe, ini kota kecil jadi banyak hal yang tidak bisa disembunyikan di kota ini."

"Oh.. eum.." Savannah berusaha menyusun kata-kata yang ingin ia ucapkan tapi pada akhirnya ia hanya membuka mulutnya lalu mengatupkannya kembali. "Sebenarnya aku hanya singgah disini, mobilku baru datang dari bengkel kemarin.."

"Porsche itu milikmu? Wow." Savannah hanya mengganguk pelan mendengar nada antusias yang di keluarkan David "Ngomong-ngomong berapa lama kau menabung untuk membeli mobil itu karena aku sedang berusaha membeli mobil tapi this lady over he-.. Owh!" David memekik pelan ketika Jenna menyikut rusuknya.

"Jangan dengarkan dia. Dia tidak akan sanggup membeli mobil baru, tidak sebelum yang satu ini keluar." Jenna menunjuk ke arah perutnya yang membuncit lalu kemudian mengelusnya dengan sayang.

"Sudah berapa bulan?" Savannah bertanya sopan.

"Tujuh bulan. Dr. Ruthbone bilang mungkin aku akan melahirkan di bulan desember. Aku berharap anak ini datang saat natal."

"Dr. Ruthbone?"

"Ya, Dr. Ruthbone di klinik Enlive Health. Dia bukan spesialis kandungan tetapi tidak banyak yang bisa kau harapkan dari kota kecil ini. Hanya ada dua dokter disini dan biasanya kami pergi ke rumah sakit yang lebih besar di kota tetangga bila Dr. Ruthbone tidak mampu mengobati kami."

"Oh." Savannah menggerakkan kakinya yang terkilir, beberapa hari yang lalu ia sudah menyemprotkan penghilang nyeri tetapi sepertinya tidak memberikan banyak efek kepadanya.

"Sebaiknya kami pergi sekarang. Aku ada janji untuk memeriksakan kandunganku di rumah sakit di kota lain. Bye Anna, senang bertemu denganmu." Jenna melambaikan tangannya dan kemudian masuk ke dalam sebuah mobil van kecil sederhana yang terlihat pas untuk keluarganya. Sebuah mobil sederhana yang akan terlihat seperti rongsokan bila dibandingkan dengan mobil Porsche milik Danny yang terparkir di The Break. Savannah memperhatikan mobil itu hingga mobil itu berbelok di tikungan kemudian ia kembali berjalan.

Savannah lagi-lagi berhenti di hadapan sebuah rumah. Rumah berukuran sedang yang bentuknya tidak beda jauh dengan rumah keluarga Jenkins. Sebuah tulisan di sewakan tertempel di papan yang mungkin telah lapuk termakan usia. Pekarangannya terlihat luas, terdapat sebuah teras di hadapannya dan sebuah cerobong asap di salah satu sudut atapnya. Savannah bisa membayangkan sebuah keluarga kecil seperti keluarga Jenkins tinggal di rumah itu. Dengan seorang ibu yang berteriak agar anak-anaknya berhenti bermain di pekarangan sembari memasakkan pai hangat, rumah untuk keluarga yang ia idam-idamkan. Savannah menatap papan lapuk itu lalu dengan mantap menarik papannya, melepaskannya dengan mudah lalu meraih ponsel yang berada di saku jaket yang ia kenakan. Menekan satu-satunya nomor yang tersisa di ponsel itu dan menunggunya berdering beberapa lama.

"Anna,"

"Danny." Savannah menatap papan lapuk itu cukup lama kemudian melanjutkan kata-katanya, "kurasa aku akan menetap disini cukup lama."

"Baiklah." Danny mengucapkannya setelah cukup lama terdiam.

"Terima kasih, Danny." Savannah tersenyum puas menatap rumah yang berada di hadapannya. Sebentar lagi ia akan berada di rumah itu dan tinggal di dalamnya.

***

Setelah menghubungi pemilik rumah itu, Mrs. Monroe, wanita tua yang ternyata tinggal di sebelah rumah itu bersama kucing-kucingnya. Savannah berhasil meyakinkan wanita itu untuk menyewakan rumahnya dengan harga murah kepadanya. Mrs. Monroe hanya mendelik tidak senang kepada Savannah ketika ia terus menerus memaksanya untuk menyewakan rumah itu dengan harga murah meski dalam hati Savannah berusaha keras agar tidak bersin dan batuk karena kucing-kucing Mrs. Monroe.

Savannah tersenyum senang melihat sebuah kertas berisi perjanjian sewa menyewa selama setahun ketika tiba-tiba seseorang menarik lengannya dan membuat badannya berputar hingga ia nyaris jatuh. Savannah hendak mengeluarkan pepper spray dari tasnya ketika pria itu menahan kedua tangannya, membuat kertas berisi perjanjian sewa menyewa itu jatuh tak berdaya diatas trotoar.

"Apa yang kau inginkan?" Savannah mendesis kesal melihat pria di hadapannya ini menatapnya datar.

"Aku ingin membantumu,"

"Apa kau terobsesi denganku? Aku tidak ingat aku pernah meminta pertolonganmu." Savannah menarik tangannya dari genggaman tangan pria itu lalu mendesis nyeri ketika kakinya lagi-lagi berulah sementara pria itu hanya mengangkat alisnya dengan tatapan seperti 'ku-bilang-juga-apa'. "Apa?!" Tanya Savannah jengkel ketika wanita itu hendak menunduk mengambil kertasnya tapi lagi-lagi ia kalah cepat ketika pria itu memungut kertasnya lebih dulu dan mengangkatnya tinggi.

"Kau membutuhkan bantuanku."

"Ada apa denganmu dengan kata 'kau-membutuhkan-bantuanku'? Apa kau semacam batman atau superman yang selalu datang tiap kali orang berteriak 'tolong'?!" ucap Savannah kesal. Kedua tangannya berkacak pinggang sementara matanya menatap lurus ke pria itu.

"Nope." ucap pria itu kesal.

"Kalau begitu, serahkan kertasku sekarang juga maka aku akan meninggalkanmu tanpa perlu menuntutmu, stalker."

"Aku bukan stalker."

"Aku bertemu dengan pria aneh dua kali dalam dua hari berturut-turut, jadi kalau kau bukan stalker, kau ini apa, Mr. Stalker?"

"Baiklah, kau bisa mengambil kertas sialan ini. Aku bahkan sebenarnya tidak ingin menolongmu bila bukan karena Christie, Annie, atau Rob.." Pria itu bergumam beberapa umpatan kesal, menaruh kertas perjanjianku diatas tanganku lalu berjalan mendekati sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat kami berada.

"Hey, tunggu! Oi! Mr. Stalker!"

"Ada apa?" Pria itu berbalik dengan wajah kesal terpajang di wajahnya.

"Jadi kau mengenalku dari Christie, Annie dan Rob?" Savannah menatap pria itu dengan tatapan yang ia harapkan terlihat garang dan berbahaya.

"Well, yes. Mereka bilang kalau kau terluka karena suamimu melakukan kekerasan kepadamu." Pria itu mengerutkan keningnya bingung ketika melihat Savannah tertawa terbahak hingga menunduk karena perutnya kesakitan.

"Owh, owh. Ini benar-benar lelucon yang hebat." Savannah tertawa lepas dan kemudian terbatuk gugup ketika melihat pria itu tidak tertawa bersamanya. "Kau tidak serius kan?"

"Sayangnya tidak." ucap pria itu kesal.

"Oh tidak.. Baiklah.. Ini.. Awkward." Savannah menggigit bibirnya gugup.

"Kakimu luka." Pria itu menunjuk ke arah kaki Savannah yang bengkak dan terkilir parah sejak beberapa hari yang lalu.

"Karena terkilir."

"Aku sudah menduganya." Ucap pria itu datar dan kembali memperhatikan kaki Savannah. "Christie bilang suamimu mungkin saja melakukan sesuatu kepadamu dan kau kabur darinya. Seharusnya aku tidak mempercayai wanita itu, terkadang Christie tidak bisa membedakan antara drama telenovela yang ia nonton dan kenyataan." Pria itu menggelengkan kepalanya dan kemudian hendak berjalan pergi.

"Oi! Kukira kau ingin menolongku?!" Savannah berteriak kembali ketika pria itu kembali berjalan menjauh.

"Kukira kau tidak ingin di tolong?" Pria itu balas berteriak kepada Savannah sementara ia berdiri diantara mobilnya dan Savannah.

"Sekarang aku membutuhkan bantuanmu, stalker. Kakiku sakit dan kau membawa mobil, kau pasti bisa mengantarkanku ke Enlive Health." Kata Savannah cepat tanpa tau malu. Tanpa perduli kalau ia baru saja bertemu pria itu dua kali dan dia bahkan tidak tau nama pria itu.

***

"Apa yang kau lakukan?" Savannah mendesis kesal kepada pria itu ketika pria itu memasukkan mobilnya ke dalam pekarangan klinik Enlive Health yang sudah tutup.

"Kukira kau ingin kemari?" Tanya pria itu tanpa merasa perlu repot-repot menoleh melihat Savannah yang duduk manis diatas mobilnya.

"Ya. Tapi tempat ini sudah tutup, aku masih bisa datang besok. Kau bisa mengantarkanku ke The Break sekarang, stalker."

"Aku punya nama." Pria itu bergumam kesal sementara Savannah merengek kesal diatas mobilnya.

"Baiklah, stalker." Savannah menekankan kata stalker seperti saat ia sedang mengejek pria itu.

"Aku punya nama, woman."

"Kau bisa mengantarkanku ke The Break atau apotik lain. Aku bisa mengobati kakiku sendiri kau tau." kata Savannah mengabaikan pria yang berada di sebelahnya.

"Dan atas dasar apa kau berpikir kalau kau bisa mengobati kakimu sendiri?" Pria itu lagi-lagi menatap Savannah dengan tatapan tidak percaya.

"Karena aku punya ijasah dari John Hopkins Medical School!" ucap Savannah kesal melihat wajah arogan pria itu.

"Well, aku tidak ingat kalau John Hopkins menerima siswa sepertimu. Apa kau yakin kau tidak membeli ijasahmu?"

"Damn you!" Savannah berusaha memikirkan berbagai macam sumpah serapah ketika ia melihat pria itu mengeluarkan segerombol kunci dari dalam kantung celananya dan memilih satu demi satu kunci dan memasukkannya ke lubang kunci. Wajah Savannah memucat ketika ia mendengar suara 'klik' tanda pintu itu terbuka.

"Welcome to Enlive Health. My name is dr. Theodore Jaxon Ruthbone. Just for your information, aku juga lulusan John Hopkins Medical School." ucap pria itu penuh kemenangan ketika melihat wajah pucat Savannah, bukti kalau gadis itu menyadari kesalahan yang telah ia perbuat.

***

Savannah menghentakkan kakinya kesal, ia kemudian meringis nyeri ketika tanpa ia sadari ia ikut menghentakkan kakinya yang baru saja di balut perban. Savannah benar-benar harus menahan malunya selama berada di Enlive Health, apalagi ketika dr. Ruthbone menawarkan dengan senang hati untuk mengantarkannya kembali ke The Break.

Selama ini ia selalu membayangkan wajah dr. Ruthbone adalah seorang pria tambun dengan janggut beruban disekitar wajahnya, pria ramah yang dengan senang hati menolong siapa saja seperti Santa Claus. Bukan seorang pria yang Savannah perkirakan berusia di awal tiga puluhan dan tidak terlihat seperti dokter sama sekali, dr. Ruthbone lebih terlihat seperti seorang ahli kesehatan palsu di iklan-iklan pasta gigi atau sabun anti-kuman. Seorang dokter tampan dengan senyum sejuta watt yang terlihat meyakinkan dengan jubah putih yang ia kenakan.

Savannah menghela nafas panjang, ia lalu membanting dirinya diatas kasur dan menarik bantal yang berada di dekatnya. Jantung Savannah terasa seperti melesak tiba-tiba saat ia mendengar suara gemerisik kertas. Untuk sesaat Savannah lupa kalau ia berada di Lockport karena ia sedang lari, karena ia sedang melarikan diri dari kejadian memalukan yang terjadi padanya di New York. Dua buah benda persegi panjang yang terletak di bawah bantalnya seolah-olah mengingatkannya kembali tujuan awal ia berada di sini.

Savannah mengambil satu buah surat yang memiliki tulisan rapi, nama Kade tercetak jelas dan rapi diatasnya, seolah-olah itu hanyalah merupakan salah satu surat resmi lainnya yang pernah Kade tulis. Savannah lalu memperhatikan surat satunya, dengan tulisan acak-acakan nama Nathaniel Wright nyaris tidak terbaca. Savannah terdiam sesaat sebelum memutuskan untuk membuka surat Nathaniel terlebih dahulu, surat yang terlihat jauh lebih tipis dibandingkan surat-surat lainnya yang telah ia baca dan terima sebelumnya.

Jantung Savannah berdetak kencang ketika membaca sebaris kalimat yang Nathaniel kirimkan kepadanya. Hanya satu buah kalimat, tidak lebih tidak kurang. Tidak ada penjelasan kenapa atau apa seperti surat yang ibunya atau sahabat-sahabatnya kirimkan kepadanya. Sebuah kalimat pendek yang mungkin tidak memiliki makna bagi orang lain, sebuah kode rahasia yang hanya mereka pahami.

You will always have me,

Dan seperti pada saat itu, Savannah kembali merasakan bagaimana meteor terjatuh dan membentuk lubang di dadanya, hanya saja kali ini ia tidak merasakannya dari orang lain. Kali ini ia merasakan hantaman meteor itu di dalam dirinya. Menghancurkan hatinya berulang kali, mengubahnya menjadi pecahan-pecahan kecil dengan lubang menganga di hatinya.

***

Wherever you're, you will always have me.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro