Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ 8 ]

.
.
.

"Ketika kau yang kucinta mencintai yang lain, apa yang bisa kulakukan?"

.
.
.

Adara Dheandra menghembuskan nafas saat kakinya berhasil menjejak di tanah bandara Soekarno-Hatta dengan selamat. Walaupun sudah sering ia menggunakan pesawat sebagai transportasi, tetap saja gadis itu tak pernah biasa akan hal ini.

Pesawat dan udara adalah satu hal yang sangat ia benci.

"Tidak apa-apa, Honey. Semuanya akan baik saja."

"Diam. Kau tahu akulah yang paling membencimu, Hwang Hyunjin." Ara menepis kasar tangan Hyunjin yang hendak memeluk pinggang rampingnya tersebut. Si gadis bahkan melontarkan tatapan tajam pada pemuda itu sebelum akhirnya beranjak pergi dari sana.

Jeongin, Rheana, serta Darrel yang juga ikut pada perjalanan kali ini hanya mengedikkan bahu mereka bingung.

"Tenanglah, dia tidak sepenuhnya membencimu," sahut Rheana sembari menepuk-nepuk pundak Hyunjin lembut. "Dia hanya sedang masa-masanya labil. Maklumi, ibu muda yang sedang hamil anak pertama."

"M-mak--"

"Rheana, jika aku menjadi dirimu, aku akan menutup rapat-rapat mulutku."

"Chagi--"

"Tidak. Sejak awal aku tidak pernah sudi mengandung anakmu, Hyunjin."

Jeongin menyeringai. Ditatapnya wajah Hyunjin lamat-lamat sebelum akhirnya berujar, "Sudah ku katakan sebelumnya, Noona sepantasnya menikah denganku." kemudian melangkah menghampiri Ara.

Hyunjin merengut. "Apa kau ingin menikung Hyung mu ini, Hwang Jeongin?"

Langkah Jeongin terhenti. Pemuda pemiliik wajah bayi itu kembali menyeringai. "Tentu saja. Selama Ara Noona memberiku ruang untuk menikungmu, akan ku lakukan."

"Ya!"

Darrel terkekeh melihat tingkah adik-kakak dihadapannya ini. Sejujurnya, ada rasa iri di hati pemuda itu. Ia tak pernah merasakan hal seperti ini bersama dengan Ara. Jika Darrel mengancam akan memisahkan Ara dengan Hyunjin, gadis itu selalu menjawab, "Silahkan", seakan-akan ia tak pernah takut jika nanti akan dipisahkan oleh pemuda bermarga Hwang itu.

Saat Darrel mengajaknya bercanda pun, Ara akan tersenyum padanya sebelum akhirnya pergi begitu saja seolah-olah tak terjadi sesuatu pada mereka berdua. Selalu seperti itu, dan akan tetap seperti itu. Begitulah Ara. Darrel tahu itu.

Ara akan memutuskan untuk diam. Gadis itu memilih untuk diam dan mengalah serta menyelesaikannya dengan kepala dingin.

Dia memang tipikal seperti itu.

Terkecuali saat Hwang Hyunjin mengajaknya bermain sebuah permainan bertahun-tahun yang lalu.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau membawa Jaemin kemari? Ara memang ingin membantu Jaemin sebisanya, tapi kau tahu pasti 'kan jika Ara tidak ingin Jaemin ikut serta dalam perjalanan ini?" Darrel bertanya, melirik Na Jaemin yang baru saja datang menghampiri mereka bertiga.

Hyunjin mengedikkan bahunya tidak acuh. "Aku ingin dia menebus apa yang telah ia lakukan. Aku ingin dia menyelesaikan semuanya dengan baik-baik, bersama dengan Deya," jelas pemuda tersebut.

"Keputusan yang tepat." Darrel menggantung ucapannya sesaat, menatap Ara dan juga Jeongin yang telah berjalan menjauhi mereka semua. "Tapi tampaknya jatahmu setiap malam akan berkurang, Hyunjin."

Hyunjin merotasikan bola matanya malas. "Tolong jangan bercanda, Darrel."

"Aku tak pernah bercanda dalam keadaan seperti ini, Hwang Hyunjin yang terhormat."

Deyana Jasmine meringis pelan dan menggenggam erat jemari Lucas yang berdiri di sampingnya tersebut. Gadis itu menggigit pelan bibir bagian bawahnya, mencoba menahan perasaan yang mengesalkan di dalam dada.

Pemandangan yang ada di hadapan Deya saat ini sudah cukup membuat gadis itu kembali merasakan apa yang dinamakannya sakit hati. Padahal baru beberapa menit lalu Deya bisa merasakan senang karena perjalanannya bersama Lucas, tapi kenapa gadis itu harus merasakan hal ini lagi?

Lagipula kenapa sang kakak mengizinkan seseorang semacam Na Jaemin masuk ke rumahnya dan menunggu sosok Deya hingga kembali? Bukankah Rafif telah berjanji tidak akan membuat sang adik bertemu kembali dengan seorang pemuda bernama lengkap Na Jaemin ini?

Ayolah, Deya tidak mungkin bisa membohongi perasaannya terhadap Jaemin. Ia tidak mungkin tetap bisa memperlihatkan semuanya baik-baik saja saat melihat sosok Jaemin berdiri tepat dihadapannya, di dalam rumah ternyamannya.

Sial.

"Bagaimana kabarmu?"

Haruskah Deya menjawab pertanyaan itu? Bagaimana jika nanti bukan suaranya yang keluar, melainkan sebuah airmata?

Ah, demi apapun itu, ingin sekali rasanya Deya membalikkan tubuhnya dan segera pergi dari tempat tersebut.

"Yah, setidaknya dia baik-baik saja saat tidak ada kau di sini," celetuk pemuda yang ada di samping si gadis--Lucas--seraya merangkul lembut pundak gadisnya.

Tunggu.

'Gadisnya'?

Okay, sejak kapan seorang Deyana Jasmine menjadi gadis dari Wong Yukhei?

"Lucas, bisa diam sebentar?" Darrel mengambil alih suasana. Ditatapnya Lucas dengan sebelah alis yang terangkat, meminta agar pemuda itu diam terlebih dahulu.

Namun Lucas tak menghiraukan apa yang diperintahkan oleh Darrel. Ia memilih untuk menarik masuk Deya ke dalam dekapannya.

Oh, tidak. Tidak akan ia biarkan Deya kembali memasang ekspresi yang sama saat mereka berdua bertemu dibandara. Hal tersebut tidak akan pernah terjadi lagi. Cukup sekali bagi Lucas melihatnya. Tidak untuk yang kedua kalinya.

Karena kau tahu? Melihat ekspresi datar dan dingin seseorang itu menyeramkan.

"Aku tidak tahu masalah apa yang terjadi pada kalian berdua, tapi bisa ku kira masalah ini sangat melukai perasaan Jasmine."

"Jasmine?" kedua mata Jaemin memicing tajam, merasa kesal dengan panggilan Lucas terhadap Deya. Tatapannya beralih pada Deya yang telah bersembunyi di balik punggung Lucas, menatap Na Jaemin dengan tatapan terluka. "Jasmine, ikut aku." Dan berakhir dengan tarikkan kasar pada pergelangan tangan sang gadis.

Dibelakang sana Ara mendelik kesal ke arah Hyunjin yang tampak terbatuk akibat teh hangatnya. Jika saja Hyunjin tidak mengikutsertakan Jaemin ke dalam perjalanan ini, hal seperti ini tak mungkin terjadi. Andaikan Hyunjin membiarkan Ara dan Rheana membujuk Deya kembali ke Korea, semuanya tidak akan semakin rumit seperti ini.

Ah! Ara benar-benar kesal.

"Jangan menatapku seperti itu, baby. Aku tidak tahu hal seperti ini akan terjadi," celetuk Hyunjin dengan nada yang terdengar begitu menyesal.

Tapi Ara hanya mencebikkan bibir sebelum akhirnya gadis itu berjalan ke arah halaman belakang untuk memastikan Deya baik-baik saja. Rheana yang melihat tingkah pasangan itu meringis pelan. Apapun itu, Rheana tidak ingin ikut campur dalam masalah ini. Lagipula memang seharusnya ia tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga orang lain, bukan?

"Tapi harusnya Hyunjin mikir dua kali buat ngajak Jaemin ke sini."

Mendengar gerutuan Rheana, Hyunjin menatap gadis itu dengan gurat kebingungan terpatri di wajah tampannya.

Ia tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan oleh si gadis. Karena kalian tahu, Rheana baru saja berbicara menggunakan bahasa bangsanya sendiri.

Sengaja tentunya.

Kembali pada Ara. Saat ini gadis tersebut tengah berdiri menyandarkan punggung pada dinding yang membatasinya dengan halaman tengah. Kedua tangannya ia lipat di depan dada, mencoba menyamankan posisinya saat ini.

"Apa? Ini salahku, begitu?"

Kening Ara berkerut. Apa yang sudah Jaemin dan Deya bicarakan selama mereka berdua ada di luar? Kenapa suara Jaemin meninggi seperti itu?

"Aku tidak menyalahkanmu--"

"Lalu apa?! Apa yang membuatmu berhenti di perusahaan, dan memutuskan kembali ke Indonesia?!"

Deya mengusak rambutnya kasar. Ah, ini menyebalkan. "Kenapa Anda tidak mengerti sama sekali?! Saya berhenti karena itu keinginan saya!"

"Lalu kenapa kau kembali ke Indonesia?!"

"Karena Saya ingin melupakan perasaan Saya pada Anda, Mr. Na Jaemin! Tidak tahukah Anda jika hati saya terluka setiap melihat Anda lebih bahagia dengan Mrs. Yeri?! Saya terluka, Mr. Na! Sangat." Isakan kecil terdengar dari bibir sang gadis. Deya menunduk, dan mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.

Dia benci ini. Deya benci saat dirinya harus menangis di hadapan pria yang telah melukai perasaannya. Ia benci jika dirinya harus meluapkan semua apa yang ia rasa hanya untuk membuat pemuda bermarga Na ini mengerti.

Haruskah perasaannya kembali tersakiti saat beberapa jam yang lalu ia bisa kembali merasakan apa yang dinamakan kesenangan?

"Bagus. Terimakasih sudah membuat temanku menangis, Jaemin," timpal Ara, melangkah mendekatkan diri pada kedua insan tersebut, merangkul Deya dan membawanya pergi dari tempat tersebut.

Ara juga membenci ini. Ia benci saat dirinya harus melihat temannya menangis seperti ini, terutama Deya. Ara tahu, Deya bukanlah tipikal orang yang mudah menangis di depan umum. Ara tahu, jika Deya menunjukkan tangisnya, berarti ia telah sangat terluka.

"Aku berterimakasih sekali padamu, Jaemin. Sangat-sangat berterimakasih."

"Kenapa kau berterimakasih padaku?"

Hwang Hyunjin mendelik kesal ke arah Jaemin. Bisa-bisanya pemuda itu masih bertanya dengan nada santai yang khas. Ingin rasanya Hyunjin memasukkan Jaemin ke dalam kantong plastik besar dan melemparkannya masuk ke dalam danau yang tadi mereka lewati saat hendak ke sini.

Hyunjin merotasikan bola matanya, lantas menepuk kasar punggung teman semasa sekolahnya itu. "Karena mu, Adara akan semakin marah padaku," ringis Hyunjin, miris. "Lagipula kenapa kau bisa sampai membuatnya menangis seperti itu?"

"Tidak ada hal yang penting. Aku hanya bertanya padanya dan sedikit meneri--"

Bugh!

"--Ugh?!"

Jaemin hampir saja tersungkur ke belakang jika saja Hyunjin tidak menahan tubuhnya. Pemuda itu mengusap cairan merah yang perlahan keluar melalui hidungnya, kemudian tersenyum sinis.

Lucas berdiri di sana. Dia baru saja datang menghampiri Jaemin serta Hyunjin dan memukul wajah tampan milik pemuda bermarga Na itu tanpa pikir panjang.

Lucas kesal pada Jaemin. Dengan mudah Jaemin membuat gadis seperti Deya menangis setelah Lucas bersusah payah membuatnya tersenyum walaupun sedikit. Baru saja Lucas membuatnya tersenyum sedikit, sekarang Jaemin sudah membuatnya kembali menjadi datar hanya dalam beberapa menit saja.

"Apa maksudmu, huh?" tanya Jaemin, nenarik kerah Lucas dengan kasar hingga wajah mereka saling berdekatan.

Lucas menatap lekat netra itu. "Untuk apa kau datang jika kau hanya ingin menorehkan luka baru pada Jasmine?!" dan beralih menarik kerah baju Jaemin juga sebelum akhirnya mendorong tubuh kurus itu menjauh.

Karena ketahuilah, tubuh Lucas lebih bongsor daripada Jaemin.

"Jika kau tidak berniat untuk menyelesaikan semua ini dengan baik-baik, lebih baik kau pergi dari sini."

Sorot mata Jaemin berubah marah. Memangnya siapa pemuda bongsor ini hingga berani memerintahkan Jaemin untuk pergi?

"Lalu apa hak mu mengusirku?! Apa hubungannya kau dengan Jasmine?!"

Lucas mendecih. "Aku memang tidak memiliki hak atas masalahmu dan Jasmine, tapi bagaimana perasaanmu jika melihat orang yang kau sukai menangis?"

Setelah mengatakan hal tersebut, Lucas berbalik dan pergi meninggalkan Hyunjin dan Jaemim, serta Darrel dan Rheana yang baru saja sampai di halaman belalang.

Drama yang cukup menarik, pikir Rheana saat melihat Lucas yang memukul wajah Jaemin. Sejujurnya, Rheana sangat mendukung Lucas saat ini. Lucas jauh lebih baik dari Jaemin. Lucas terlihat seperti bisa melindungi Deya.

"Jangan mikir untuk nyomblangin Lucas sama Deya, Rhe." Darrel mengusak puncak kepala Rheana dengan gemas.

"Kita liat aja nanti," celetuknya seraya tersenyum sinis. Kini atensi si gadis telah beralih pada Jaemin. "Pikirkan ini baik-baik, Mr. Jaemin. Aku tidak ingin kau melakukan kesalahan yang sama seperti apa yang Mr. Yifan lakukan."

Deya menghela nafasnya berkali-kali. Kejadian kemarin malam benar-benar memalukan. Kenapa dia harus menangis dihadapan semua orang terutama Na Jaemin?

Sungguh, Deya sama sekali tidak berpikir untuk menangis dihadapan mereka semua. Menangis bukanlah hal yang biasa Deya lakukan, tentu itu akan membuatnya sangat malu. Dari awal juga dia tidak ingin menangis, tapi si sialan Jaemin membuat air matanya tidak bisa tertahankan lagi.

Ingatkan Deya untuk tidak pernah kembali lagi ke Korea. Dia tak akan pernah bisa berhadapan lagi dengan Jaemin maupun teman-temannya.

"Apa yang ngebuat kamu nangis kemaren?" Rafif datang dengan dua cangkir cokelat hangat di tangan. Di detik berikutnya, ia meletakkan kedua cangkir tersebut di atas nakas yang ada di samping ranjang Deyana.

Deyana mendongak, lantas tersenyum tipis ke arah sang kakak. "Aku keliatan lemah ya kemarin? Maaf," celetuk sang gadis lalu kembali menundukkan kepalanya.

"Nggak apa-apa. Nangis itu hal yang wajar, Jasmine. Kamu nangis, bukan berarti kamu lemah. Kamu cuma capek sama keadaan. Abang ngerti kok," ucap Rafif. Tangannya bergerak mengusak puncak kepala Deya dengan lembut.

"Bang."

"Hm?"

"Menurur abang, apa yang harus aku lakuin buat ngilangin perasaan aku ke Jaemin?"

Rafif terdiam kala mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh sang adik. Bagus memang jika Deya ingin menghilangkan apa yang ada di dalam hatinya itu, tapi apa mungkin ia bisa melakukannya mengingat jika Jaemin adalah cinta pertamanya?

Rafif sendiri juga senang mendengar Deya ingin menghilangkan perasaan tersebut, namun apa yang bisa Rafif lakukan saat dirinya sendiri tidak pernah merasakan hal seperti itu?

Ayolah, Rafif sudah membuang jauh-jauh perasaan yang dinamakan cinta demi karir yang saat ini telah ia capai. Rafif memang penulis best seller dengan genre romansa, tapi demi apapun itu, dia tidak bisa berkutik jika ada sangkut pautnya dengan perasaan di dunia nyata.

Fiksi dan nyata itu dua hal yang berbeda, tentu saja.

"Bang?"

"Abang gak tau gimana caranya, tapi kamu harus ngelakuin sesuatu yang bisa ngebuat kamu ngelupain Jaemin." Rafif berpikir sejenak. "Mungkin sama Lucas kamu bisa ngelupain Jaemin?"

Deya menggelengkan kepalanya pelan. "Aku gak mau, Bang."

"Ka--"

"Bukan berarti aku nggak suka sama Lucas. Aku cuma gak mau ngejadiin Lucas pelampiasan. Dia terlalu baik untuk dijadiin pelampiasan."

Rafif mendesah. Ia tahu tipikal Deya seperti apa, ia tahu Deya tidak akan menggunakan orang lain untuk menghilangkan perasaannya. Gadis itu sama sekali tidak pernah mau untuk memanfaatkan orang lain.

Dan membuat dirinya terus kesulitan untuk mengatasi sebuah masalah.

"Tapi kalau kamu nggak manfaatin kebaikan orang, kamu gak akan pernah bisa berubah."

Salahkah jika Rafif mengatakan hal seperti itu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro