[ 7 ]
.
.
.
"Mencoba membuatmu tertawa kembali tidaklah semudah yang kupikirkan, sayang."
.
.
.
Rafif Argani mengamati sosok pemuda yang saat ini tengah berdiri di hadapan pintu rumahnya. Tubuh tinggi, dengan wajah tampan nan menawan. Oke, Rafif tidak tahu siapa pemuda ini. Ia tak pernah bertemu dengan dia sebelumnya. Juga bukan salah satu editornya.
Ia tak tahu darimana si pemuda mengetahui tempat tinggalnya, yang pasti ini bukanlah hal yang baik. Bagaimana jika pemuda ini salah satu fans nya?
Apa yang akan terjadi nanti bilamana pemuda ini menyebarkan lokasi tempat tinggal Rafif?
Jika itu akan terjadi, izinkan Rafif mengubur hidup-hidup pemuda bertubuh bongsor ini.
"Ada apa?" tanya Rafif langsung pada inti, tanpa adanya nada ramah di suaranya tersebut. Seperti sebelumnya, datar dan dingin. Jangan lupakan juga tatapan Rafif yang begitu dingin menusuk.
"Err--" si pemuda tampak mengusap pelan belakang kepalanya. Apa yang akan ia katakan sebelumnya menghilang entah kemana.
"Apa?" sekali lagi, Rafif bertanya. Masih dengan nada yang sama.
"Deyana Jasmine.... Ada?"
Rafif diam. Sekilas mata tajamnya melirik ke dalam rumah--ke arah Deya yang tampak memiringkan kepalanya dan menatap ke arah Rafif, seolah bertanya siapa yang bertamu--sebelum akhirnya berujar, "Deya gak ada. Dia lagi pergi keluar."
Si pemuda diam. Dalam hati ia merutuki betapa menyebalkannya sosok kakak yang berdiri dihadapannya ini. Sejujurnya pemuda tersebut tahu jika apa yang dikatakan oleh Rafif semuanya bohong. Rafif memang terlihat tenang dan dingin, tetapi pemuda bongsor mampu mengetahui kebohongan, walaupun itu tidak terlalu diperlihatkan.
Karena naluri seorang Wong Yukhei selalu benar.
"Saya balik lagi nanti. Kalau Deya udah pulang, bilangin salam sayang dari Wong Yukhei." Memutuskan untuk tidak terlalu lama berhadapan dengan Rafif, akhirnya Yukhei membalikan tubuhnya dan segera pergi dari kediaman Rafif Argani sang novelis best seller tersebut.
Betapa najisnya kau, Wong Yukhei.
"Siapa, Bang?"
Rafif menoleh, tepat saat suara dari sang adik tertangkap di indera penglihatannya. Senyum tipisnya terlukis, lantas menutup kembali pintu rumah kediamannya secara perlahan.
"Gak ada. Salah alamat," jawab Rafif, bohong.
Tidak. Rafif tidak akan mengizinkan laki-laki manapun mendekatkan diri pada adik kecilnya. Ia tak ingin Deya merasakan kembali perasaan sakit dan sesal seperti yang gadis itu rasakan beberapa hari lalu, dan tetap terasa sakit hingga sampai saat ini.
Sudah cukup Rafif gagal menjadi seorang kakak hari kemarin. Biarkan dia melindungi Deya hingga gadis tersebut benar-benar telah menemukan pasangan yang pantas untuk dirinya.
"Beneran salah alamat?" tanya Deya menyelidik sembari menatap lekat kedua netra kakak kandungnya itu.
Rafif mengusak rambut Deya. Ia mengangguk menjawab pertanyaan si gadis sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam ruang kerjaannya.
"Abang bener-bener gak pandai bohong ya?"
Ahran Arminda Aldric menatap pemuda yang saat duduk dihadapannya. Tatapan gadis tersebut tampak begitu malas. Yah, faktanya memang benar jika Ahran malas berhadapan dengan kelompok Jeon Jungkook, terutama dengan seorang pemuda bernama Na Jaemin yang telah mengubah Deyana begitu banyak.
Ayolah kawan, selama ia hidup di dunia ini, ia tak pernah menemui laki-laki semacam Jaemin. Ia tidak pernah menemui laki-laki yang melukai perasaan seorang Deyana Jasmine.
"Apa? Kau ingin apa? Kau tidak datang kemarin untuk meminta bantuanku tentang Jasmine, kan?" tanya Ahran, memastikan bahwa Jaemin datang menemuinya untuk membicarakan perusahaan, bukan tentang Deya yang sekarang mungkin sudah bahagia di Indonesia.
Iya, bahagia.
Mungkin.
"Jika kau ingin memintaku untuk menghubungi Jasmine, lupakan saja," celetuk Ahran, masih dengan wajah malasnya. "Aku tidak memiliki nomor nya," sambung Ahra seraya berdiri, dan hendak pergi meninggalkan Jaemin.
Namun Jaemin menggenggam pergelangan tangan itu. Ia bahkan memaksa si gadis untuk kembali duduk dihadapannya.
"Bawa aku ke Indonesia. Ke rumah Jasmine."
Kening Ahran berkerut heran. Jaemin serius? Dia meminta Ahran membawanya ke rumah Deya?
"Aku tidak yakin bisa membawamu ke sana," sahut Ahran, membuat pemuda bermarga Na itu menatapnya dengan kepala yang sedikit dimiringkan.
"Jangan tanyakan kenapa, Mr. Na." Seolah mengerti apa yang ada di dalam otak Jaemin, Ahran kembali berujar. "Aku tidak yakin dia tinggal di rumahnya yang dulu. Kak Rafif pasti sudah membawanya pergi ke rumah dia. Dan aku tidak pernah tahu dimana tempat tinggal kak Rafif, tentu saja."
Jaemin menghela nafasnya kasar.
Sesulit inikah bertemu dengan Deya?
Sesulit inikah ia ingin meminta maaf kepada gadis itu?
Demi apapun, yang dikatakan pepatah memang benar. Penyesalan selalu datang terakhir, dan Jaemin merasakannya saat ini.
Terlambatkah aku untuk meminta maaf?
Rheana menghentakkan kakinya sebal saat Darrel memberitahunya sesuatu yang mengejutkan. Untuk kedua kalinya Rheana menyesal tidak ikut dengan suaminya tersebut. Jika gadis itu tahu hal ini terjadi, ia akan memaksa untuk ikut dengan Darrel.
Persetan.
Yang sekarang ada di dalam pikiran Rheana adalah bertemu kembali dengan Deya dan meluruskan masalah ini. Seperti hal nya teman-teman Rheana yang lain, ia ingin kembali melihat senyum lembut di wajah Deya.
Sangat ingin.
"Jadi Deya sekarang tinggal di rumah bang Rafif?"
Darrel menganggukkan kepalanya. "Kemaren gue ngasih tau alamat Deya yang dulu ke Lucas, dan kata Lucas Deya tinggal di rumah Rafif. Itupun Lucas tau dari orangtua Deya."
Rheana menaikkan sebelah alisnya--menatap lamat-lamat ke arah manik Darrel--meminta penjelasan lebih terhadap Darrel mengenai Deya, maupun Lucas yang tadi dibicarakan oleh pemuda tersebut.
Pasalnya Rheana tak pernah tahu jika Darrel berteman dengan laki-laki bernama Lucas. Tidak, tepatnya ia lupa. Nama itu terdengar tidak asing di indera pendengarannya, tapi ia tidak tahu bagaimana rupa pemuda pemilik nama Lucas ini.
"Lucas pernah datang ke nikahan kita padahal." Seakan tahu apa yang Deya pikirkan, Darrel kembali membuka suaranya. Senyum tipisnya mengembang. "Mau ketemu Deya? Biar gue sama Lucas anter l--"
Drrrtt... Drrrtt...
Getaran pada ponsel Rheana menghentikan ucapan Darrel. Kedua insan tersebut sesaat saling pandang satu sama lain sebelum akhirnya sang gadis mengambil ponselnya pada saku celana.
Nama Adara Dheandra tertera di notifikasi ponsel tersebut, diikuti dengan sebuah pesan yang dikirimkan oleh gadis yang kini telah menyandang nama Hwang tersebut.
Malas, Rheana membuka pesan yang dikirimkan oleh Ara. Ditatapnya lamat-lamat huruf demi huruf yang tertulis di sana sebelum akhirnya senyuman mengembang di wajah cantik Rheana.
"Apa berita bagus?" tanya Darrel, menyelidik. Tak biasanya Rheana memperlihatkan senyuman nya jika tidak ada sesuatu yang bagus terjadi.
Yah, tentu saja. Jika Rheana tersenyum saat keadaan buruk, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang? Kurang waras, mungkin?
"Ara...," putus Rheana, masih mengamati tulisan yang ada di layar ponselnya tersebut. "Dia ngajak gue ke Indonesia, ketemu sama Deya," sambung si gadis seraya memberikan ponselnya pada Darrel.
Darrel ikut tersenyum mendengarnya. Baiklah, itu berita bagus. Setidaknya ia tidak perlu mendengar Rheana mengomel selama beberapa jam tentang penyesalannya tak ikut ke Indonesia kemarin.
"Jaemin...., apa dia bakal ikut?"
Senyuman di wajah Rheana memudar, digantikan dengan tatapan datar yang beberapa menit lalu ia perlihatkan.
"Harus banget ya dia ikut ke Indonesia? Ketemu Deya?" tanya Rheana, lebih terdengar seperti menyindir.
Ah, Darrel tahu sekarang kenapa Deyana memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan enggan untuk kembali ke Korea.
Darrel paham betul mengenai Rheana. Gadis itu akan memasang ekspresi datar jika dirinya tidak menyukai sesuatu. Dan Rheana memasangnya saat mendengar nama Na Jaemin disebutkan.
Na Jaemin, hal yang bersangkutan dengan pemuda itu pastinya adalah Deyana Jasmine dan Kim Yerim. Sudah dapat dipastikan bukan kenapa Rheana membenci Jaemin?
"Sesuatu terjadi diantara Deya sama Jaemin 'kan?"
Rheana memutuskan untuk tidak menjawab pertanyaan dari Darrel. Ia mengambil kembali ponsel miliknya yang ada di genggaman pemuda tersebut dan kembali masuk ke dalam kamarnya.
Jaemin, gue gak tau apa yang lo lakuin ke Deya, tapi lo salah ngelukain perasaan dia.
"Apa lagi?"
Netra hitam Rafif menatap lekat ke arah pemuda yang tiga hari ini datang berkunjung ke rumahnya. Pertanyaan yang sama selalu Rafif lontarkan pada pemuda itu, dan jawaban yang serupa pun selalu ia berikan.
Wong Yukhei, atau kerap dipanggil Lucas ini melukiskan senyun lebarnya. Ia menyodorkan sebuah kotak pada kakak dari gadis bernama Deyana ini, meminta agar lelaki itu mengambilnya.
Seakan tahu apa yang diinginkan oleh Lucas, tanpa banyak bicara Rafif mengambil kotak tersebut. Tatapannya masih datar seperti biasa. Karena dia tidak mengharuskan dirinya ramah dihadapan laki-laki yang hendak mendekatkan diri kepada Deya.
Setidaknya sekalian menguji.
"Untuk Deya?" tanya Rafif, tetap berbicara pada intinya.
"Untuk kalian berdua."
"Makasih. Kamu bisa pergi sekarang."
Lucas diam, menatap bingung ke arah pintu rumah yang kini telah tertutup kembali. Otaknya bekerja dua kali lipat dari biasanya, mencoba memahami keadaan yang terjadi saat ini.
Sial, Lucas salah perhitungan.
Ia pikir jika memberikan sesuatu kepada Rafif Argani, pemuda itu akan mengizinkannya bertemu dengan Deya. Tapi ternyata meluluhkan hati Rafif lebih sulit dari apa yang dipikirkannya.
"Gagal lagi ya?"
"Apanya yang gagal?"
Lucas mendongak saat mendengar suara yang berbeda dari Rafif tadi, menatap seorang gadis manis yang juga menatapnya dengan kedua mata yang nengerjap bingung.
Ini dia yang ingin Lucas temui sedari kemarin.
Deyana Jasmine.
"Lho? Kupikir kamu gak akan keluar lagi kayak kemarin."
"Kemarin?" kening Deya berkerut, tanda heran.
Jangan tanyakan kenapa Deya bisa sebingung itu. Karena Rafif tidak memberitahukan keberadaan Lucas saat kemarin. Bahkan Deya tak tahu akan hal tersebut.
Oke, Deya memang tahu jika Rafif membohonginya, tapi gadis itu tak tahu hal apa yang membuat Rafif berbohong. Bertanya pun percuma, karena Deya tahu, Rafif tak akan memberitahukannya apapun yang terjadi. Seberapa keras Deya memaksa.
Tadi pun sama, Rafif tidak memberitahukan hal mengenai keberadaan Lucas ini. Rafif hanya meletakkan bungkusan di atas meja dan kembali ke ruang kerja begitu saja.
Tentunya Deya penasaran siapa yang memberikan kotak. Dilihat dari kotak itu, tentu bukanlah benda yang dikirimkan oleh pos atau semacamnya. Sudah jelas jika benda itu dikirimkan langsung ke rumah ini.
Selain itu, tidak biasanya Rafif membiarkan seseorang pergi tanpa mengundangnya masuk ke dalam rumah. Itu bukan tipikal Rafif Argani yang sopan dan santun.
Kecuali orang itu ada sesuatu dengan Rafif. Oleh karena itu, Deya pergi keluar untuk memastikan. Dan berakhir dengan Lucas lah yang ia temui.
"Ngomong-ngomong, apa kau kenal denganku?"
Kening Deya berkerut heran. Kenapa ia harus melupakan orang yang telah membantunya mengembalikan dompet saat di bandara itu?
Mau bagaimanapun, secuek apapun Deya, sebarapa tidak pedulinya gadis itu, ia akan tetap mengingat seseorang. Ayolah, otak Deya itu tidak dangkal. Ia tak akan melupakan seseorang semudah itu.
"Ngomong soal kenal, lebih tepatnya aku tau kamu."
Lucas tersenyum. Setidaknya Deya tidak melupakannya. Itu sudah cukup membuatnya senang. Walaupun Deya tak melontarkan senyum kepadanya, itu tak masalah. Deya tak harus tersenyum padanya jika ia tidak ingin.
Jika untuk saat ini Deya tidak ingin tersenyum padanya, tidak masalah. Lucas yang akan membuat gadis itu tersenyum. Walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama, itu tidak masalah.
Lucas akan berusaha.
"Hari ini waktumu luang?"
Deya terdiam sesaat. Manik matanya bergulir ke kanan dan kiri, tampak tengah berpikir. Sesaat gadis itu melirik ke dalam rumah, melirik ke ruang kerja Rafif yang tampak sunyi.
Haruskah Deya meminta izin pada Rafif?
Tapi jika gadis itu meminta izin pada Rafif, apa ia akan diizinkan?
Ah, setidaknya meminta izin terlebih dahulu lebih baik daripada tidak sama sekali, bukan?
Deya tidak ingin membuat Rafif yang sudah membantunya selama ini khawatir. Tapi bagaimana jika nantinya Lucas harus pulang dengan sangat terpaksa karena Rafif tidak memberikan izinnya?
"Lebih baik kau minta izin pada kakakmu. Dia pasti khawatir kalau kamu gak ngasih tau dia." Seakan tahu apa yang Deya khawatirkan saat ini, Lucas kembali membuka suaranya. Ia meminta pada sang gadis untuk meminta izin pada sang kakak.
Agar nantinya Lucas tidak merasa terganggu saat mengajak gadis itu pergi keluar.
Bayangkan saja jika Deya tidak memint izin, bukankah sama saja seperti Lucas yang menculik gadis itu?
"Gak apa-apa? Gimana kalau nanti dia gak ngizinin aku pergi?"
Lucas tersenyum, lantas mengusak rambut Deya dengan gemas. Lihatlah tatapan datar nan menggemaskan yang diperlihatkan seorang Deyana Jasmine. Terlihat seperti seorang anak kecil yang meminta izin pada orantuanya.
Ah, sangat menggemaskan.
Walaupun tidak ada senyuman di sana, Deya tetaplah Deya. Tak akan pernah berubah, apapun itu.
"Siapa bilang Abang gak akan ngizinin kamu?"
Suara Rafif terdengar, membuat kedua insan berbeda gender itu segera menoleh dan menatapnya yang tengah menyandarkan punggung pada dinding di samping pintu rumah yang kini telah terbuka, menampilkan sebagian dari isi rumah tersebut.
Senyum tipis terlukis di wajah berekspresi dingin itu saat Deya datang menghampiri dan memeluk pinggangnya erat. Tak lupa juga wajah gadis itu tenggelamkan pada pundak sang kakak.
Interaksi yang sangat menggemaskan, menurut Lucas.
Tidak, bukan hanya Lucas, tetapi semua orang yang melihatnya.
"Jadi abang ngizinin?" Deya bertanya, menengadahkan kepalanya dan menatap dalam kedua manik mata sang kakak.
Dan dibalas anggukan singkat oleh Rafif.
Lucas yang menyaksikan ikut tersenyum. Akhirnya semua usahanya tidak sia-sia. Memang benar apa yang dikatakan oleh pepatah. Usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Terbukti saat ini juga.
Usahanya untuk meminta izin Rafif agar memperbolehkan dia pergi bersama dengan Deyana Jasmine membuahkan hasil yang sangat memuaskan.
Dunia tak akan tahu seberapa bahagianya seorang Wong Yukhei ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro