Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ 6 ]

.
.
.

"Satu kebohongan sudah cukup untuk meragukan berjuta kebenaran."

.
.
.

"Kau akan pergi kemana, Jaem?"

"Indonesia. Menyusul Jasmine."

"Pemikiran tolol darimana lagi itu?" Taehyung menaikkan sebelah alisnya, mengamati wajah Jaemin yang terlihat begitu berbeda dari hari-hari sebelumnya.

Pemuda bermimik wajah dingin itu memiringkan sedikit kepalanya. Jangan lupakan juga aura suram yang memancar dari tubuh pemuda tersebut.

Sungguh, sudah beberapa jam ini mood Taehyung tidak bagus karena Rillian yang tiba-tiba saja menjauhinya, sekarang ia harus melihat tingkah bodoh dari temannya. Makin jelek sudah mood nya hari ini.

Lagipula kenapa setiap gadis yang menjadi pelampiasan mereka pergi, pemuda-pemuda ini selalu berakhir menyusul mereka. Lantas, kenapa saat gadis-gadis itu ada, mereka malah tidak peduli?

"Tolong pakai otak cerdas mu itu wahai tuan Na Jaemin yang terhormat," celetuk Joohyuk. Pandangan matanya masih terfokus pada layar laptop yang menyala.

Jaemin merengut. Disaat seperti inilah yang tidak ia sukai. Saat dimana Joohyuk angkat bicara. Seperti yang dikatakan sebelumnya, perkataan pemuda itu selalu berhasil menusuk hati seseorang.

Dan Jaemin sangat tidak menyukainya.

Oke, anggap saja otak cerdas Jaemin sudah tumpul karena gadis bernama Deyana Jasmine tersebut. Karena memang begitulah faktanya.

"Jaem...." Hyunjin membuka suaranya. Atensi si pemuda beralih dari dokumen-dokumen penting itu ke arah wajah Jaemin yang masih cemberut. "Kenapa kau selalu begini?"

Kening Jaemin berkerut. "Maksudmu?"

"Ingat satu tahun setelah Yeri meninggalkanmu? Ada perempuan yang posisinya juga sama seperti Deyana. Dan setelah tahu kau hanya memanfatkan dia sebagai pelampiasan? Dia memutuskan pergi ke Rusia, dan tak ada kabar lagi. Wanita itu pergi saat tahu kau memanfaatkannya, Jaem. Bagaimana dengan Deyana yang melihatmu langsung bertunangan dengan gadis lain padahal dirinyalah yang selalu ada di sisimu selama ini? Kau paham maksudku, bukan?"

Jaemin tampak berpikir. Digerakkannya bola mata itu ke kanan dan kiri, pertanda bahwa ia tak mengerti sama sekali apa yang telah diucapkan oleh Hyunjin.

Karena jujur, Jaemin lupa dengan cerita beberapa tahun silam. Ayolah, itu sudah lama, sangat lama. Mana mungkin Jaemin ingat dengan hal seperti itu disaat banyak sekali gadis yang telah ia manfaatkan sebagai tempat pelampiasan?

Tetapi sungguh, Na Jaemin sama sekali tidak berpikir untuk membuat Deyana menjadi tempat pelampiasannya. Ia tak pernah berpikir seperti itu, barang satu kalipun. Kebaikannya terhadap Deyana itu murni dari hatinya, bukan rencana yang telah dibuat oleh otak cerdasnya itu.

Peduli setan dengan orang-orang yang mengatakannya memanfaatkan Deya sebagai tempat pelampiasan, Jaemin tak peduli. Yang ia pikirkan saat ini adalah, bagaimana caranya agar Deya memaafkannya?

"Percuma saja kau menyusul dia dan bersujud meminta maaf." Yifan membuka suaranya. Helaan nafas tampak ia hembuskan. "Kau telah melakukan kesalahan yang sama sepertiku, Jaem. Jadi jangan pikir kau bisa memperbaikinya dengan mudah."

Yifan benar.

Jaemin telah sangat melukai perasaan Deya. Ia juga sudah berbohong pada gadis itu, bahkan mengatakan dusta terhadap sang gadis.

Apa yang dilakukan oleh Jaemin sudah terlampau menyakitkan.

Bagaimana mungkin Deya memaafkannya?

Dan bagaimana mungkin... senyum itu kembali lagi pada wajah si gadis?

"Hyunjin, bisa kau hubungi Adara?" atensi Jaemin beralih pada Hyunjin, membuat pemuda bermarga Hwang itu berkerut keheranan.

Mendengar nama sang istri keluar dari bibir laknat Jaemin tentu saja membuat Hyunjin kemusuhan. Ia tak ingin Jaemin menyusahkan Ara lagi. Sudah cukup Jaemin menyusahkan gadis tersebut.

Ara memang mengatakan akan membantu sebisa mungkin, tetapi Jaemin tidak bisa mengganggu aktivitas Ara seenaknya, kan? Bagaimana jika saat ini Ara sedang mengurusi hal-hal penting? Seperti mendesain? Atau hal-hal yang membutuhkan konsentrasi tinggi contohnya?

"Tidak mau," jawab Hyunjin ketus.

Jaemin mengusak kasar rambutnya mendengar jawaban Hyunjin. Ia tahu pemuda ini akan menjawab hal serupa seperti itu. Dan seharusnya Jaemin menyimpan nomor Ara.

Persetan dengan larangan dimana laki-laki tidak boleh menyimpan nomor telepon Adara Dheandra. Jaemin benar-benar membutuhkan Ara sekarang juga!

"Bagaimana jika kau meminta bantuan terhadap Rheana? Bukankah dia juga dekat dengan Deya? Atau Rillian?" mata Jungkook mengerling pada Yifan dan Taehyung yang sudah duduk tegang di tempat mereka. Oh lihatlah, sungguh reaksi yang menggemaskan. "Kalian harus lihat betapa menggemaskannya wajah kalian itu, man," sambung Jungkook dengan bibir yang tersenyum jahil.

"Tidak! Jangan menyusahkan Rillian, Jaem!"

Ekspresi Jaemin mendatar. Ditatapnya wajah Taehyung tidak minat.

Sebenarnya Jaemin tidak berniat meminta tolong kepada Rheana maupun Rillian. Sejujurnya, ia tak terlalu dekat dengan kedua gadis itu. Jadi, Jaemin agak sedikit segan untuk meminta tolong.

Beda lagi jika dengan Ara.

Jaemin adalah teman dekat Hyunjin, bahkan sangat dekat. Otomatis hal itu membuatnya dekat dengan Adara. Jadi... kalian mengerti 'kan maksudku?

"Aku hanya akan menyusahkan Ara saja."

"YA!"

Suasana di sore hari adalah sesuatu yang paling Deya sukai. Suasananya teramat tenang, ditambah dengan cahaya matahari yang berwarna orange menambahkan kesan yang begitu cantik dan enak dipandang mata.

Maka dari itu, Deya selalu menyempatkan diri pergi ke caffe dekat rumahnya hanya sekedar melamun dan mengamati sunshine yang begitu menawan.

Seperti yang dikatakan tadi, saat ini Deya juga berada di tempat yang sama. Duduk melamun di caffe bernuansa biru langit itu sembari menyesap cokelat hangatnya.

Bukan hal yang spesial, sih, tapi setidaknya hal ini mampu menenangkan suasana hatinya yang selalu tak beraturan. Juga untuk melupakan kenangan indah bersama seorang pemuda bernama Na Jaemin.

Lupakan masa lalu, fokuslah pada masa depan.

"Bagaimana bisa?"

Pikirannya memang memerintahkan Deya untuk melupakan masa lalu, dan membangun kembali hal yang baru. Tetapi hatinya menolak untuk melakukan hal tersebut. Hatinya meminta agar Deya tidak melupakannya.

Bimbang, pusing, khawatir, dan risih bercampur aduk di dalam perasaannya. Ia benar-benar membutuhkan seseorang untuk melupakan semuanya, melupakan kenangannya bersama Na Jaemin.

"Loh, Dey? Lo kapan balik ke Indonesia?"

Deya mendongak. Ditatapnya wajah kakak dari temannya tersebut dengan bigung.

Seharusnya Deya yang bertanya seperti itu.

Sejak kapan Darrel kembali ke Indonesia?

"Nggak bareng Rheana?" Deya celingukan, mencari sosok yang ditanyakannya barusan.

Darrel menggeleng, lantas mengusap rambut Deya lembut. "Gue ke Indonesia sendirian. Ada hal yang harus gue lakuin di sini. Lo sendiri? Pulang kampung?"

"Aku pindah ke sini, Bang."

"Pindah ke sini?" kening Darrel berkerut heran. "Tapi gimana dengan Ja--"

"Rel? Ngapain dah?"

Deya mengerjapkan kedua matanya kala mendengar suara yang tampak tak asing tersebut. Netra si gadis bergerak, mencari suara tersebut hingga menangkap sesosok pemuda bongsor tengah duduk di kursi yang tidak jauh dari mereka berada.

Si gadis kenal betul siapa sosok tersebut. Ia pernah bertemu dengannya beberapa hari lalu, di bandara. Pemuda yang telah berbaik hati mengembalikan dompetnya yang dicuri.

Jadi masudnya pergi ke Indonesia itu.... Dia pergi ke Purwakarta? Dan dia adalah teman dari Darrel? Dia juga bisa berbahasa Indonesia?

Sama hal nya seperti Han Jisung?

Lupakan.

"Gue ketemu sama temen adek gue." Suara Darrel terdengar menjawab pertanyaan dari sang pemuda, membuat lamunan Deya buyar.

Deya melambaikan tangannya kala melihat sosok itu melambai padanya. Tentu saja tak ada senyuman terlukis di wajah si gadis. Karena mau bagaimanapun, senyumnya telah hilang.

"Woah, Tuhan udah nakdirin kita buat ketemu lagi nih," celetuk si pemuda, berjalan menghampiri Deya yang kini telah tersenyum sangat tipis.

"Gak usah bacot dulu, ler." Darrel mendorong tubuh si pemuda agar menjauh dari Deya. Mengganggu sekali menurut Darrel. "Ngomong-ngomong, kenapa lo pindah ke sini? Kerjaan lo di Korea gimana?"

Ekspresi wajah Deya kembali berubah sendu. Ah, ia kembali teringat dengan pemuda bernama Na Jaemin itu.

Ayolah, kenapa disaat dirinya ingin melupakan tentang Jaemin, selalu saja ada sesuatu yang membuat Deya mengingatnya?

Apakah Tuhan melarang Deya untuk melupakannya?

Tapi kenapa?

"Deya?"

"Gak apa-apa. Aku cuma mau pindah aja. Gak nyaman di sana, hhe."

Kedua mata Darrel memicing, menatap penuh selidik ke arah Deya. Aneh, sangat aneh.

Tidak mungkin orang seperti Deya akan bertahan selama bertahun-tahun lamanya jika ia tidak nyaman.

Lantas kalau tidak nyaman, kenapa baru keluar sekarang? Kenapa tidak sejak dulu saja?

"A-aku serius. Aku gak nyaman di sana," sahut Deya, mencoba meyakinkan Darrel yang tampak curiga dengan gelagatnya. "Aku pergi dulu ya. Bang Rafif udah nungguin," sambung si gadis, lantas berjalan pergi meninggalkan caffe tersebut, meninggalkan dua orang itu yang masih dalam kebingungan.

Lo itu gak pandai berbohong, Deyana.

Hwang Hyunjin memijat pelipisnya. Punggung si pemuda ia sandarkan pada tubuh Ara yang memeluknya dari belakang. Netra pemuda tersebut tak kunjung teralihkan dari kedua mata Jaemin yang sembab akibat menangis.

Ayolah, Hyunjin pusing.

Yang memiliki masalah itu Jaemin, tapi kenapa Hyunjin yang kesusahan?

Aneh rasanya melihat seorang Na Jaemin datang ke rumahnya di akhir pekan dengan mata yang sembab akibat menangis. Kemana sifat jahil si pemuda?

Ini baru empat hari semenjak kepergian Deya, tapi kondisi Jaemin sudah benar-benar parah seperti ini. Bagaimana jika Deya tak kembali hingga kedepannya?

Apakah tubuh Jaemin akan berubah menjadi kurus kering?

"Masih lost contact dengan Deya?" melihat Hyunjin yang menijat keningnya dan menyandarkan punggung pada tubuhnya, gadis itu mulai membuka suara. Ditepisnya pelan tangan milik Hyunjin, sebelum akhirnya menggantikan tangan itu untuk memijit kening sang suami. "Kupikir Deya mengganti nomornya? Aku juga tak bisa menghubungi dia."

Jaemin menghela nafas kasar. Pikiran, batin, perasaan, dan matanyanya sudah terlalu lelah. Ia ingat kurang beristirahat beberapa hari ini. Apalagi sekarang ia harus melihat adegan romantis dari dua insan yang kenal dekat dengannya.

Ah, Jaemin ingin menghilang saja rasanya.

"Aku ingin bertanya padamu, Jaem." Ara membenarkan posisi duduknya, masih dengan tangan yang memijat pelipis Hyunjin. "Kenapa saat Deya masih berada di sini... kau mengabaikannya?"

"Aku tidak mengabaikannya!"

Ara merotasikan bola matanya. "Bukan begitu. Maksudku, kenapa kau tidak membalas perasaannya dan malah bertunangan dengan gadis lain? Kenapa saat ia pergi, kau mencarinya?"

Dan Jaemin dibuat mati kutu oleh pertanyaan tersebut.

"Sudah kukatakan dia itu idiot, by. Dia lebih mementingkan gadis di masa lalunya daripada gadis yang selama ini menemaninya." Hyunjin menyahut, masih menyandarkan punggungnya pada tubuh Ara. "Masih setia pada gadis yang meninggalkanmu saat kau sedang berada di titik terbawah, dan kembali lagi saat kau sudah ada di puncak? Kau idiot."

"Dengar, Jaem. Yeri pergi saat kau jatuh, dan kembali saat kau sudah berada di atas. Kau sudah membiarkan dua orang gadis yang peduli padamu itu pergi hanya untuk gadis semacam Yeri."

Ara menampilakan ekspresi datar saat mendengar penjelasan dari Hyunjin. Gadis itu memandang sinis ke arah Jaemin sembari berujar, "Kau yang paling buruk, Jaem. Lupakan soal aku yang akan membantumu. Aku tak ikhlas temanku hidup bersama lelaki semacam kau."

Sungguh menohok sekali perkataannya ini.

"J-jangan bercanda, Ra! Ban--"

"Morn, Noona." Jeongin datang menghampiri Ara dan Hyunjin, memutus ucapan Jaemin yang baru saja akan terlontar. Sekilas pemuda tampan ini melirik sinis ke arah Jaemin, hingga akhirnya mengecup pipi Ara, dan berlari pergi sebelum Hyunjin melemparkan gelas kaca yang ada di tangannya.

Yah, jangan tanya aktivitas keluarga Hwang di akhir pekan, karena tidak bermutu semua. Saat akhir pekan, Jeongin pasti sengaja bermanja ria terhadap Ara hingga membuat Hyunjin ingin mendepaknya dari kehidupan. Sekiranya begitulah kehidupan keluarga Hwang pada akhir pekan.

Ah, lupakan tentang itu.

"Kenapa dia begitu sinis padaku?" Jaemin heran.

"Entahlah, Jaem. Aku sendiri tidak tahu kenapa Jeongin seperti itu padamu. Kurasa kau membuat kesalahan padanya di masa lalu."

"Jangan melantur, Hyunjin."

Hyunjin mendengkus. "Aku tidak melantur. Memang biasanya seperti itu, kan?"

"Tapi aku tidak melakukan--"

"Maka dari itu kau harus peka terhadap lingkunganmu sendiri, bodoh!"

Buk!

Dan satu lemparan bantal berhasil mengenai wajah Na Jaemin dengan indahnya.

"Jadi Deya beneran balik ke Indonesia?"

Ahran, Rillian, dan Witri menganggukkan kepala mereka serempak, sedangkan Rheana segera memasang ekspresi datarnya saat melihat anggukkan tersebut. Ia mendesah pelan sebelum akhirnya mengotak-atik ponselnya, mencari nomor dari Deya.

Setelah menemui nomor ponsel tersebut, ia segera menekan ikon telepon untuk menghubungi si pemilik telepon.

Namun bukannya suara Deya yang ia dengar, Rheana malah mendengar siara operator yang mengatakan jika nomor tersebut sudah tidak aktif lagi. Di dalam hati Rheana merutuki gadis bernama Deyana Jasmine itu. Bisa-bisanya gadis itu mengganti nomor telepon dan tidak menghubungi mereka.

Andaikan saja ada seseorang yang membuka jasa santet online, sudah dipastikan Rheana akan menggunakan jasa tersebut untuk mengirimkan santet terhadap teman masa SMK nya ini.

"Dan kenapa kalian baru ngasih tau gue kalau Deya balik ke Indonesia?" pandangan Rheana beralih pada ketiga temannya dengan sinis. "Tau gitu gue ikut Darrel ke Indonesia." Dilanjutkan dengan gumaman datar dari sang gadis.

Ahran merotasikan bola matanya. Ia lantas menopang pipi serta menatap Rheana yanh tengah marah-marah itu dengan tidak minat.

Sejujurnya, Ahran ingin memberitahu Rheana sejak beberapa hari yang lalu, tapi apa daya? Kesibukannya dengan pekerjaan yang menumpuk membuat si gadis tidak memiliki waktu luang untuk mengajak Rheana untuk bertemu. Jangankan bertemu, menghubungi Rheana saja tidak bisa.

Begitu pula dengan Rillian maupun Witri. Merosotnya perusahaan Daylen membuat mereka bertiga mau tak mau harus bekerja lebih giat sebagai salah satu anggota inti yang telah sangat diandalkan oleh para direktur dan kepala divisi. Tak mungkin 'kan mereka mengabaikan pekerjaan ini?

Terutama Ara yang harus mengurusi rumah tangga sekaligus.

"Terus dimana Ara sekarang, hm?"

Witri mengedikkan bahunya. "Mungkin aja ngurus Hyunjin di rumah? Lo tau sendiri 'kan gimana manjanya Hyunjin? Ditambah cowok itu baru aja ngadopsi adek beberapa bulan lalu. Ck, dasar orang kaya."

"Gak usah iri, Wit." Rillian tertawa renyah menggoda Witri, membuat gadis itu memaksakan senyumannya.

"Udah deh, gak usah mikirin itu. Mending kita jalan-jalan kek kemana. Bosen gue, sumpah."

Entah untuk yang keberapa kalinya, Rheana merotasikan bola mata. Ia mendecak pelan sebelum akhirnya menyetujui ucapan dari Ahran.

Yah mungkin lain kali Rheana akan mencari tahu keberadaan Deya karena bisa saja gadis itu bukan tinggal di rumahnya yang duku, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro