[ 5 ]
.
.
.
"Disaat hatiku telah terluka karena segala perlakuanmu, masih mampukah aku menerima semua kata maafmu?"
.
.
.
Aneh bagi Rafif melihat seorang Deyana Jasmine berteriak seperti tadi. Apalagi kata-kata umpatan terselip di sana. Selama 25 tahun lamanya ia hidup di dunia ini, dan 16 tahun dirinya hidup satu atap bersama dengan Deya, tidak pernah sekalipun pemuda itu melihat sang gadis berteriak seperti tadi.
Ia tak pernah tahu jika pribadi adiknya telah benar-benar berubah jauh sebelum Deya menginjakkan kaki di negeri Ginseng ini.
Entahlah, mungkin pergaulannya dengan lima orang bobrok itulah penyebabnya?
Yah, tapi setidaknya Rafif bersyukur karena kelima orang itu bukanlah penyebab dari hilangnya senyuman dari wajah Deya.
Siapapun itu yang telah menghilangkan senyuman dari wajah si gadis, Rafif berharap agar orang itu musnah saja dari permukaan bumi.
"Kakaknya Deya?"
Rafif menoleh kala merasakan seseorang memanggilnya. Ia mendapati sesosok pemuda yang kemarin bersama dengan salah satu teman dari adiknya, Adara Dheandra.
"Hwang Hyunjin?"
"Woah, suatu kehormatan bagiku dikenali seseorang sepertimu." Hyunjin tersenyum, lantas berjalan menghampiri Rafif. "Kemana Deya?"
Rafif memiringkan sedikit kepalanya. "Dia baru saja mengejar pencopet.... mungkin?" jawabnya, sedikit ragu dengan apa yang baru saja diucapkannya barusan. "Dan dimana Adara? Kau ke sini sendirian?"
Hyunjin mengangguk. "Aku pikir tidak baik mengajak Ara kesini. Lagipula aku kemari hanya untuk berbicara sebentar dengan Deya, menyelesaikan masalahnya dengan Jaemin."
"Jaemin?"
"Ya, Jaemin. Orang yang sudah membuat senyuman hilang dari wajah adik kecilmu itu. Sampaikan pada Deya, Jaemin benar-benar minta maaf. Ia tidak bermaksud seperti itu."
Sebelah alis Rafif terangkat, bingung. Jika Jaemin benar-benar ingin meminta maaf pada adik kecilnya, bukankah lebih baik pemuda itu datang dan membicarakannya langsung kepada Deya? Kenapa harus melewati orang lain seperti Hwang Hyunjin yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan hal ini?
Kemana perginya si brengsek yang sudah membuat senyuman di wajah Deya menghilang?
Rafif benar-benar ingin menghajarnya, sekarang juga.
"Kenapa tidak datang dan mengucapkannya sendiri? Apa dia takut? Dia lari dari masalah yang dibuatnya sendiri? Pengecut?"
Hyunjin menggeleng, lantas menghela nafas pelan. Ia maklumi jika Rafif mengatakan hal tersebut. Mau bagaimanapun, tak ada seorang kakak yang ingin perasaan adik kecilnya disakiti oleh orang tak bertanggung jawab semacam teman-temannya, termasuk dirinya sendiri.
Tapi ada suatu hal yang membuat Jaemin tak bisa datang, dan meminta Hyunjin menggantikannya.
"Dia sudah memiliki tunangan, dan yah...."
"Dia sudah memiliki tunangan, tapi dia masih memberikan harapan kepada adikku?" kedua mata Rafif memicing tajam, meminta penjelasan kepada Hyunjin yang terlihat menggaruk pelan pipinya dengan jari telunjuk. "Dengar, Deya memang cerdas, bahkan terlalu cerdas, tapi dia bisa menjadi bodoh hanya karena masalah seperti ini. Masalah yang tak pernah dihadapinya."
"Aku tahu ini pertamakalinya bagi adikmu, maka dari itu aku ingin memberitahunya." Hyunjin menjeda ucapannya sesaat. "Jangan pernah sekali-kali berharap pada kami. Entah itu aku, Jaemin, ataupun yang lainnya."
Rafif mendengkus. Tak pernah ia sangka ada orang semacam mereka di dunia ini. Bagaimana mungkin para gadis tidak berharap kepada mereka semua disaat perlakuan mereka mengatakan seolah-olah gadis itu adalah orang yang paling sepesial di hidup mereka?
Wanita itu mudah untuk dibohongi. Mereka selalu percaya dengan apa yang dikatakan oleh orang yang dicintai, walaupun pada akhirnya merekalah yang paling tersakiti.
"Baiklah, begini saja. Aku melarang Jaemin untuk bertemu dengan Deya. Aku juga melarang hubungan mereka, entah itu sebagai sahabat, kekasih, atau suami sekalipun." pandangan Rafif semakin mendingin, menatap Hyunjin yang telah tersenyum canggung. "Karena aku, tak akan pernah memberikan kesempatan kedua bagi siapapun yang telah melukai perasaan Deya."
Dengan begitu, Rafif berjalan pergi meninggalkan Hyunjin, mencari sang adik yang tak kunjung kembali.
"Seharusnya aku menyeret Jaemin ke sini dengan paksa, agar dia tahu bagaimana rasanya berbicara dengan orang paling dingin seperti kakak dari gadis yang telah dilukainya."
"Aku menyesal menyetujui permohonannya. Jika bukan temanku, aku tidak akan sudi berbicara dengan orang menakutkan semacam Rafif Argani."
Orang semacam Hwang Hyunjin mengatakan hal tersebut?
Memang luar biasa sekali kakak dari Deyana Jasmine ini.
Deya menghentakkan kakinya dengan sebal. Dua puluh menit lagi pesawatnya akan segera berangkat, dan sialnya ia masih belum menemukan dompetnya yang tadi diambil oleh seorang pencopet.
Deya juga sudah terlalu lelah berlari kesana-kemari hanya untuk menemukan sang pencopet. Rasanya sudah semua tempat yang ada di bendara ia kunjungi, tapi Deya tak kunjung menemukan pencopet tersebut. Ia juga tidak terlalu mengingat jelas wajah pencopet tersebut seperti apa.
Karena setiap kali ia mencoba untuk mengingat wajah sang pencopet, yang muncul hanyalah wajah menyebalkan dari Na Jaemin.
Sialan memang.
"Permisi?"
Deya menoleh, mendapat seorang pemuda jangkung dengan sekaleng kopi dongin ditangannya. Senyum orang tersebut mengembang, lantas berjalan lebih dekat menghampiri sang gadis.
Gadis itu tampak bingung dengan pemuda jangkung ini. Ia tak mengenalnya, sama sekali tidak mengenalnya. Tapi kenapa rasanya wajah si pemuda tampak tak asing di indera penglihatannya?
Seakan-akan mereka berdua pernah bertemu sebelumnya.
Tapi dimana?
"Kau mencari ini?"
Atensi si gadis beralih pada sebuah dompet berwarna navy blue yang digenggam oleh sang pemuda. Memiringkan kepalanya sesaat, sebelum akhirnya mengambil dompet tersebut, dan memeriksa isinya.
Helaan nafas ia hembuskan. Dompat itu miliknya, dan isinya masih utuh. Tidak ada yang hilang sedikitpun dari sana.
Kenapa bisa ada ditangan pemuda ini?
"Seseorang menjatuhkannya, beruntungnya aku melihat lebih dulu kartu tanda pengenalmu, jadi aku tak salah memberikannya. Apa dompetmu di ambil seseorang?" seakan tahu apa yang ada di dalam pikiran Deya, pemuda itu membuka suara. Senyumnya semakin mengembang kala melihat tidak ada perubahan ekspresi pada wajah gadis tersebut.
"Kenapa dengan wajahmu? Tidak ada ekspresi sama sekali."
Yang dimaksud hanya meringis pelan. Sejujurnya ia sendiri tidak tahu kenapa wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia juga tidak tahu sejak kapan hal ini terjadi padanya.
Disaat seperti ini, seharusnya ia senang karena seseorang mengembalikan dompet miliknya, tapi kenapa... Deya tidak merasakan perasaan seperti itu?
"Kau akan pergi kemana? Sendirian?" entah pertanyaan yang keberapa kalinya, pemuda itu tetap membuka suara. Ia tidak peduli jika Deya akan tetap menutup rapat bibirnya.
"Indonesia, bersama kakakku."
"Indonesia? Negara dengan banyak tempat indah itu? Apa kau kesana untuk berwisata?"
Deya menggeleng. "Aku akan tinggal di sana, tentu saja."
Tinggal di sana.
Rasanya menyakitkan bagi Deya mengucapkan hal tersebut. Mau bagaimanapun, hati kecilnya masih enggan meninggalkan negeri impiannya. Tapi jika Deya tetap berada di sini, luka yang ada di hati si gadis tak akan pernah bisa sembuh. Yang ada lukanya akan terus menerus bertambah.
"Tinggal di s--"
"Deya!"
Sesaat Deya merasakan jantungnya berhenti berdetak. Ia tahu pasti pemilik suara ini. Ia kenal betul, dan sang pemilik suara ada orang yang benar-benar tidak ingin Deya temui lagi.
Na Jaemin.
Ekspresi wajah Deya yang tadi tampak mulai melembut, kini telah kembali menjadi dingin. Manik hitamnya menatap sepasang netra itu dengan dingin, sangat dingin.
Bahkan pemuda disamping si gadis merasakan keganjalan yang kentara pada diri gadis tersebut. Perubahan sikap Deya membuatnya berjalan mundur beberapa langkah, hanya sekedar menghindari kemungkinan buruk yang terjadi. Karena jujur, pemuda itu merasa bulu kuduknya meremang.
"Dey? Deyana Jasmine?" ragu, Jaemin berjalan menghampiri Deya. Tepat saat pemuda tersebut ingin menggenggam pergelangan Deya, gadis itu malah menepisnya kasar dan tersenyum dingin.
Deya tak ingin berharap lagi pada Jaemin.
Ia lelah, sungguh.
"Ada apa kau kemari?" tidak ingin lebih lama melihatnya, Deya bertanya pada inti.
Jaemin terdiam. Ditatapnya sendu wajah manis itu. Apa yang dikatakan oleh Hyunjin ada benarnya. Senyuman tak ada lagi di bibir ranum itu, digantikan dengan tatapan dingin yang sama sekali tidak pernah Jaemin lihat sebelumnya.
Oke, dia menyesal sekarang.
Kenapa ia begitu bodoh, lebih memilih Yeri, dan meninggalkan Deyana yang selalu menemaninya satu tahun terakhir ini?
Ia tak pernah sadar jika apa yang dilakukan oleh gadis tersebut sangat tulus terhadapnya.
Dan apa yang dikatakan oleh Jungkook serta Taehyung benar. Dia bodoh, idiot, dan tidak tahu diri.
Setelah Deya memperlakunanya begitu baik, inilah balasan Jaemin untuknya?
Bodoh memang.
"Jangan pergi, kumohon."
Deya tertegun. Perasaannya kembali bimbang saat Jaemin memintanya untuk tetap di Korea.
Untuk apa Jaemin meminta gadis itu untuk menetap?
Untuk menyakitinya lagi? Agar luka pada hati si gadis kembali terbuka lagi?
"Untuk apa?"
Kali ini giliran Jaemin yang tertegun. Dia... harus menjawab apa?
"Tidak ada jawaban, maka tidak seharusnya saya masih berada di sini. Saya permi--"
Ketika Deya hendak melangkahkan kakinya meninggalkan si pemuda, sebuah tangan menahan pergelangan tangannya, yang otomatis menahan pergerakannya juga.
Netra gadis itu tampak bergerak, menatap sebuah tangan yang menggenggam pergelangannya. Kedua mata sang gadis memicing, tidak suka.
"Apa lagi?"
"Aku benar-benar minta maaf."
Untuk kedua kalinya, Deya menepis kasar tangan sang pemuda yang menggenggam pergelangannya, lantas melemparkan sebuah senyum miris kepada pemuda itu.
"Saya mencoba melakukannya. Saya mencoba memaafkan anda, Mr. Na. Tapi hati saya menolak untuk memaafkan anda."
"Apa yang harus kulakukan agar kau memaafkanku? Haruskah aku membatalkan pertunanganku dengan Yeri?"
"Semudah itukah Anda mengucapkan hal tersebut?" Deya sedikit memiringkan kepalanya, manatap kedua netra itu dalam. "Saya tidak pernah berpikir untuk merusak kebahagian Anda bersama dengan Mrs. Kim...."
"...Karena saya, tidaklah sejahat itu."
"Bisakah kau berhenti menangis dan meraung sembari memeluk kaki istriku, Jaemin?"
Hyunjin meringis kala mendapati teman lamanya itu masih tetap menangis sembari memeluk kaki sang istri. Sudah satu jam lamanya semenjak Jaemin seperti itu, tapi tampaknya hal ini akan terus berlanjut sampai Adara benar-benar menyetujui permohonannya.
Semenjak Deya meninggalkan Jaemin dibandara, pemuda tersebut segera menemui Hyunjin dan Ara. Setelah itu, beginilah jadinya.
Miris memang melihatnya.
Ara sendiri tidak pernah berpikir bahwa Jaemin memiliki sikap yang begitu kekanakkan. Oke, Ara tahu jika Jaemin memang kekanakkan, tapi ia tidak pernah tahu sikapnya akan seperti ini.
Manis sih bagi siapapun yang melihatnya, tapi entah kenapa bagi Ara rasanya... seperti dia lah orang jahat di sini.
"Jaemin, hentikan ini, okay?" pinta Ara seraya menggerakkan kakinya yang masih dipeluk oleh pemuda tersebut. "Kau tidak perlu menangis dan memohon seperti ini agar aku bisa membawa Deya kembali."
"Kau dengar itu? Jadi menjauhlah dari istriku, bodoh!"
Yah, tampaknya seseorang cemburu karena miliknya disentuh oleh orang lain. Dapat dilihat dari ekspresi wajah Hwang Hyunjin yang terlihat ingin mengoyak habis seluruh tubuh Jaemin.
Walaupun nada suaranya terdengar begitu tenang, tapi percayalah bahwa Hyunjin ingin melenyapkan Jaemin dari muka bumi. Sekarang juga.
"Bukankah itu kesalahanmu sendiri, kak?"
Jaemin mendongak, dan perlahan melepaskan pelukannya pada kaki Adara. Ditatapnya wajah pemuda yang baru saja memasuki ruangan keluarga itu.
Sosok pemuda itu menatap Jaemin dengan pandangan dingin khasnya. Pandangan mengintimidasi yang mampu membuat seseorang bergedik jika bertatapan dengannya.
Yang Jeongin.
Adik angkat Hwang Hyunjin.
Satu-satunya orang yang tidak pernah ingin Jaemin temui jika berkunjung ke kediaman Hwang. Jaemin selalu dibuatnya diam seribu bahasa. Selalu seperti itu setiap kali mereka bertemu.
Entah karena Jeongin yang tak menyukainya, atau apapun itu, tidak ada yang tahu pasti kenapa pemuda pemilik wajah bocah ini selalu terlihat kemusuhan dengan seorang Na Jaemin.
"Nah, Jeongin benar. Itu kesalahanmu sendiri. Perbaikilah sendiri, Jaem." Hyunjin menarik paksa Jaemin agar menjauh dari Ara, lantas menjentikkan jemarinya pada kening si pemuda dengan gemas.
"SETIDAKNYA BANTULAH AKU SEDIKIT, BODOH!" Jaemin memekik nyaring kala merasakan sakit pada keningnya akibat jentikkan jari yang dilakukan oleh Hyunjin. Pemuda tersebut menatap Hyunjin dengan nyalang sebelum akhirnya mengusap keningnya pelan.
Ara mengusap wajahnya pelan, dan Jeongin mengambil posisi duduk di samping si gadis--merapatkan tubuhnya pada tubuh gadis tersebut sebelum akhirnya menyandarkan kepala pada pundak sang gadis.
Yah, menurut Jeongin, daripada harus ikut dalam pertengkaran kedua insan bobrok semacam Hyunjin dan Jaemin, lebih baik bermanja ria dengan kakak ipar yang paling ia sukai.
Setidaknya ia tidak perlu merasakan letih berkali-kali lipat jika bermanjaan seperti ini.
"AKU TIDAK PEDULI PADAMU, BODOH! KAU SENDIRI TIDAK MEMBANTUKU! DAN JEONGIN, MENJAUH DARI ADARA!"
Ara serta Jeongin terkekeh pelan. Si gadis mengacak puncak kepala Jeongin dengan gemas sebelum akhirnya kembali melihat kedua insan itu dengan tatapan datar.
"Hyunjin, berhenti berteriak atau aku akan tidur dengan Jeongin malam ini? Dan Jaemin, berhenti menangis. Aku akan membantu sebisa mungkin."
Disaat seperti ini, Hyunjin benar-benar ingin melamparkan Jeongin serta Jaemin ke kumpulan tante girang. Ini serius.
Perjalanan dari Korea menuju Indonesia bukanlah sesuatu yang cepat dan mudah. Tentu saja hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang bisa dibilang tidak sedikit.
Duduk di dalam pesawat selama 7 jam lamanya benar-benar membuat tubuhnya terasa sakit. Belum lagi perjalanan dari Jakarta menuju Purwakarta yang juga memakan waktu lama.
Deya lelah dengan perjalanan panjangnya, terutama perasaan yang terus-menerus mengganjal hatinya. Perpisahan dengan kenalannya di Korea tentu bukanlah hal yang bisa dikatakan baik. Bahkan ia tidak sempat bertemu dengan teman-teman masa SMK nya karena gadis itu harus berangkat saat jam kerja masih berjalan.
Rasanya aneh jika harus pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu, terutama terhadap Rheana yang belum ia kabari sampai saat ini juga.
Oke, tampaknya Deya harus sabar mendengarkan ocehan menyakitkan dari Rheana saat memberitahu gadis itu nanti.
"Abang, makasih ya."
Rafif yang baru saja memasuki halaman rumah segera menolehkan kepala pada Deya yang tengah berdiri dihadapannya. Senyum tipis gadis itu terlihat. Senyum tipis, bukan senyum Deya yang biasa. Ingat itu.
"Untuk apa?" tanya Rafif seraya membuka sepatu dan meletakkannya pada rak.
"Makasih udah ngajak aku pulang ke Indonesia. Makasih atas nasehat yang abang kasih."
"Nggak masalah. Apapun bakal abang lakuin untuk kamu yang paling abang sayang." Rafif tersenyum lebar, menampilkan barisan giginya yang tersusun rapih sembari mengusak surai Deya dengan pelan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro