Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ 4 ]

Kamu harus pulang, Dey. Kamu gak akan pernah bisa hidup bahagia di sini.

Deyana Jasmine membasuh wajahnya dengan air dingin yang mengalir dari keran. Pembicaraan singkat dengan Rafif kemarin malam benar-benar membuat perasaannya terasa dihantam oleh palu besar.

Ia tak pernah tahu jika sang kakak datang menemuinya hanya untuk memaksa Deya agar kembali ke Indonesia, selamanya.

Oke, Deya tidak bisa menyalahkan ucapan Rafif. Dia memang tak bahagia di sini. Iya, sekarang dia tidak bahagia. Tapi di masa depan semuanya bisa saja berubah, kan?

Deya juga tak habis pikir, kenapa kedua orangtuanya memerintahkan Rafif untuk datang menemuinya dan meminta si gadis untuk pulang.

Ia tak menyangka jika izin dari kedua orangtuanya ditarik begitu saja dengan mudahnya. Mereka menarik semua izin yang telah diberikan tentang segala hal yang menghubungkannya dengan negara gingseng ini.

Mereka berdua.... merenggut apa yang diimpikan oleh Deyana sejak lama.

Apa ini yang dirasain sama Ara waktu penglihatan dia diambil, sama Rheana waktu Wu Yifan tunangan sama perempuan lain?

Ditatapnya pantulan diri sendiri di cermin tersebut. Wajah Deya terlihat begitu lelah, juga sedikit tirus karena pola makannya yang kacau akhir-akhir ini.

Si gadis mendesah pasrah.

Apa yang bisa dilakukannya selain menerima semua ini?

Ia tak mungkin tetap berada di sini dan menjadi seorang anak durhaka karena telah membantah apa yang dikatakan oleh kedua orangtuanya. Walaupun meninggalkan cita-citanya ini begitu berat, tetapi prioritas Deya tetaplah keluarganya. Ia tak akan pernah bisa menjadi seorang anak pembangkang.

Sampai kapanpun tidak akan pernah.

Karena tekad Deya adalah membuat kedua orangtuanya bahagia.

Kasih aku waktu satu minggu, Bang. Aku perlu waktu.

Satu minggu?

Apa yang bisa ia dapatkan dalam satu minggu ini?

Memutuskan untuk meninggalkan Korea bukan pilihan yang mudah. Satu minggu adalah waktu yang terlalu singkat bagi Deya.

Kenapa ia tidak meminta waktu lebih dari seminggu? Sebulan contohnya?

Aku gak akan lari, Bang. Prioritas aku itu kalian bertiga. Aku gak mungkin lari dan ngecewain kalian.

Bohong.

Rasanya Deya ingin pergi dan menghilang saat ini juga, lari ke kota lain yang tidak diketahui oleh orang lain. Dia benar-benar sudah nyaman berada di negara ini.

Ayolah, dua tahun bukanlah waktu yang sebentar hingga ia bisa seperti sekarang. Ia tak ingin mengulang kembali dari awal. Benar-benar tak ingin. Itu melelahkan.

Tok Tok Tok

Ketukan pada pintu kamar mandi ruangannya membuat lamunan Deya buyar. Helaan nafas kembali ia keluarkan, lantas merapikan dirinya sendiri sebelum akhirnya keluar dari kamar mandi tersebut untuk bertemu dengan si pengetuk pintu.

Dan saat dirinya telah keluar, ia merasa menyesal. Tidak seharusnya ia keluar dari dalam kamar mandi, karena yang saat ini tengah berdiri di hadapannya adalah sosok yang sangat tidak ingin ia temui sampai kapanpun.

Sosok yang telah membuat perasaannya hancur hingga titik yang paling bawah.

"Ada apa? Mr. Na?" suara Deya terdengar tecekat, hal ini dikarenakan ia memaksakan suaranya untuk keluar saat dirinya sendiri sedang tidak ingin mengeluarkan satu patah kata pun.

"Ada yang ingin kubicarakan."

Sekarang apalagi?

Apa Jaemin datang untuk memarahinya dan menyalahkannya atas kesalahan yang bisa dibilang tidak besar sekalipun?

Jika ia, tolong tulikan pendengaran Deya sebentar saja. Hanya sampai Jaemin selesai memarahinya.

"Apa lagi?" senyumnya mengembang, senyum miris, bukan senyum manis khas-nya. "Saya masih ada pekerjaan setelah ini."

Tak ada jawaban. Jaemin malah mengulurkan tangannya. Melihat hal itu sontak membuat Deya menutup kedua matanya rapat-rapat, berjaga-jaga jika Jaemin akan menamparnya. Namun bukan hal itu yang terjadi.

Jaemin memegang pipi kanan Deya, mengusapnya dengan lembut.

"Wajahmu terlihat tirus. Kau tidak mengatur pola makanmu dengan benar?"

Na Jaemin yang Deya kenal telah kembali.

Suara lembut yang ia rindukan telah kembali, terdengar di indera pendengarannya.

Rasanya tidak adil bagi Deya. Disaat ia bertekad ingin menjaga jarak dengan Jaemin, pemuda itu malah kembali dan memperlakukan dirinya begitu lembut.

Jika begini, tekad Deya pasti akan hancur lama-lama.

"Saya mengatur pola makan saya dengan benar," bohong Deya seraya menyingkirkan tangan Jaemin pada pipinya.

Jaemin tersenyum. Diraihnya kedua tangan si gadis dan mengecup salah satu punggung tangan milik gadis tersebut dengan lembut.

"Maafkan aku." Jaemin menundukkan wajahnya. "Aku tidak bermaksud seperti itu." sambungnya, masih dengan wajah yang tertunduk serta ekspresi yang menyiratkan kesedihan di dalamnya.

Tolong singkirkan makhluk yang pandai berpura-pura ini dari pandangan Deya. Ia tak ingin melihat yang seperti ini lagi.

"Tidak apa-apa, tidak masalah."

Jaemin mendongakkan wajahnya dengan sebuah senyuman terlukis di bibir si pemuda. Namun di detik berikutnya senyum tersebut hilang saat menyadari tak ada kepedulian pada sorot mata si gadis.

"Karena saya juga tidak peduli." Cahaya mata Deya terlihat meredup, hingga akhirnya hilang tanpa tersisa.

Dan saat itulah Jaemin sadar, apa yang telah dilakukannya salah besar.

Entah itu saat dirinya memutuskan untuk kembali pada Yeri sehingga mencoba untuk menjauhkan Deya dari dirinya, sampai dirinya meminta maaf atas apa yang telah dilakukannya.

Benar, Jaemin sengaja melakukan hal tersebut. Jika ia mengatakan bahwa itu adalah ketidaksengajaan, maka semuanya bohong.

Kebohongan besar yang telah Jaemin lakukan hingga membuat gadis ceria seperti Deyana Jasmine menjadi seorang gadis yang tak akan lagi peduli pada sekitarnya.

"Dey! Deya!!"

Ahran meraih pergelangan tangan Deya kala gadis itu berjalan melewatinya dengan ekspresi wajah yang tidak peduli. Juga saat Ahra melihat sorot mata milik si gadis yang terlihat begitu berbeda dari dirinya yang biasa.

Tak pernah sekalipun Ahran maupun yang lain melihat senyuman hilang di wajah Deya seperti ini. Dan tidak pernah sekalipun bagi mereka melihat sorot mata Deya yang menggelap seperti kehilangan arah.

Aneh rasanya melihat sosok Deyana Jasmine seperti ini.

"Lo kenapa sih?"

Deya tersenyum, sangat tipis. Bahkan nyaris tak terlihat jika saja Ahran tak mengamati wajah gadis tersebut.

"Gak apa-apa."

Ahran merengut. Deya dengan tidak acuhnya menepis tangan gadis tersebut dan berjalan pergi meninggalkan Ahran di sana. Memang aneh. Seumur hidup, Ahran tak pernah melihat perubahan sikap seseorang yang begitu drastis seperti ini. Kemanakah Deyana Jasmine yang dulu?

Puk

Tepukkan pada pundak Ahran membuat atensi si gadis teralihkan. Ia manatap si penepuk yang tak lain adalah Rennia Witri Febricha, menatapnya dengan penuh kecemasan.

"Percaya gak kalau itu bukan Deya yang kita kenal lagi?" tanya Witri seraya menyandarkan tubuh pada dinding yang ada didekatnya.

Ahran menggeleng. Mau bagaimanapun ia tak percaya jika itu bukanlah Deya yang mereka kenal lagi.

"Itu bukan Deya yang kita kenal lagi, Ran." Witri mendesah. Tatapannya memandang lurus punggung Deya yang perlahan menghilang dari pandangan. "Deya berubah. Baru aja berubah. Gue gak tau dia bisa balik lagi kayak dulu atau nggak." Si gadis menghela nafasnya pasrah. Jika begini jadinya, ia tidak tahu bagaimana cara mengembalikan seseorang seperti dahulu lagi.

"Gara-gara Jaemin ya?" Ahran mendengkus. Diliriknya wajah Witri dengan ekor mata.

Witri menganggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh Ahran benar. Deya menjadi seperti itu karena Jaemin. Karena luka yang diberikan oleh pemuda bernama lengkap Na Jaemin tersebut.

Sungguh, rasanya ingin sekali bagi Ahran memberikan kepalan tinju di wajah tampannya karena telah berhasil meluluh lantahkan perasaan teman masa SMK nya itu.

"Gue santet lama-lama itu manusia," celetuk seseorang--Adara Dheandra--sembari memasukkan potongan terakhir dari kue yang ia pegang ke dalam mulut.

Ahran mengernyit. Saat ini yang benar-benar ingin ia santet adalah makhluk bernama Adara Dheandra yang tiba-tiba saja muncul dan mengejutkan jantungnya ini. Selalu seperti itu di setiap salah satu dari mereka ada masalah. Entah itu Ara maupun Rheana, keduanya senang mengejutkan dengan datang tiba-tiba kemudian menghilang tanpa berpamitan.

Menyebalkan rasanya.

"Gue rasa Na Jaemin itu orang ter-idiot yang pernah gue temui." Rillian berjalan melewati ketiga temannya itu, membuat mereka semua reflek berjalan mengikuti sang gadis.

Ah, Rillian tak salah.

Na Jaemin memang orang ter-idiot yang pernah mereka temui. Oke, mereka tidak tahu masalalu apa yang terjadi kepada Jaemin sehingga membuat sosok pemuda tersebut kesulitan untuk melepaskan seorang Kim Yerim, tapi setidaknya jangan jadikan teman mereka sebagai pelampiasan.

Jangan jadikan Deyana Jasmine sebagai mainan pengganti yang akan dibuang setelah mainan lama telah diperbaiki.

Mengingat seberapa baiknya perlakuan Jaemin kepada Deya dahulu, tentu membuat si pemuda mendapatkan restu dari kelima teman si gadis. Tapi sekarang? Na Jaemin menyia-nyiakannya, bahkan sukses membuat kepribdian Deyana berubah begitu drastis.

Terkadang mereka ingin menyalahkan takdir yang telah mempertemukan Deyana dengan Jaemin, dan mengikat mereka dengan sebuah perasaan tak karuan. Tapi rasanya percuma saja jika mereka terus menerus menyalahkan takdir.

Menyebalkan rasanya jika harus merasakan hal seperti itu

Dimana perasaan suka hanya dirasakan satu orang pihak saja.

"Well... Gue beneran bosen ngeliat ini, serius."

Tanpa aba-aba, Rillian menghentikan langkah kakinya. Ditatapnya sesosok pemuda dengan seorang gadis manis yang sudah mereka yakini adalah Kim Yerim, tunangan dari Na Jaemin. Rillian pikir keadaan ini adalah sesuatu yang akan sangat menyakiti hati Deyana. Beruntung karena gadis yang dimaksud tak sedang bersama mereka.

Karena sekarang, Na Jaemin tampak sedang bercanda gurau dengan Kim Yerim. Mereka berdua terlihat begitu senang, tanpa beban, tanpa pikiran, disaat perasaan seorang gadis sedang terluka karena melihat mereka yang seperti itu.

"Dan yah... Gue rasa semuanya bakal memburuk." Witri membuka suara. Ditunjuknya sosok gadis yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap kosong dua insan yang sedaritadi sedang dibahas, sebelum akhirnya menghela nafas pelan dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Bukan keadaan sekarang maksud gue, tapi keadaan Deya."

Ara meringis. Ayolah, ia sudah lelah dengan drama menyebalkan yang terjadi di dalam hidupnya maupun di dalam hidup temannya. Tak bisakah Tuhan berbaik hati kepada mereka, membiarkan kisah cinta mereka berjalan lancar tanpa adanya hambatan?

Karena sungguh, Ara tak tega melihat gadis semanis Deya dilukai terus-menerus.

"Btw, dia nerima ajakan bang Rafif untuk balik ke Indonesia?"

Ahran mengedikkan bahunya tidak tahu, "Menurut gue sih dia bakal nerima. Liat aja dari ekspresi dia yang udah gak punya semangat hidup."

"Sembarang kalau ngomong tuh!" entah sudah keberapa kalinya, Rillian menoyor pelan kepala Ahran, membuat sang empunya meringis pelan.

"Gue yakin, Deya bakal balik ke Indonesia dan gak akan balik lagi ke sini. Cepat atau lambat."

Witri mendesah. Rasanya aneh bagi gadis itu jika harus kehilangan seorang teman lagi. Sudah cukup Rheana yang pindah ke perusahaan lain, Witri tak ingin temannya pergi lagi. Benar-benar tak ingin.

Karena baginya, mereka telah ia anggap sebagai keluarga sendiri.

Kenapa takdir begitu kejam terhadap perjalanan cinta mereka?

.
.
.


Tuhan, izinkan aku meminjam penamu agar aku bisa menghapuskan dirinya dari ingatanku.

.
.
.

Seandainya saja ia ikut dengan Rafif ke Jerman beberapa tahun yang lalu, hal seperti ini tak akan terjadi. Dan Deyana menyesali hal itu.

Memang benar kata pepatah, penyesalan selalu datang terakhir.

Seandainya juga ia bisa memprediksi kisah cintanya, kemungkinan besar perasaan Deya tak akan sesakit ini.

Cinta pertama hadir untuk dilupakan. Tidak ada yang namanya cinta pertama menjadi yang terakhir.

Iya, memang begitu kenyataannya. Semua manusia di dunia ini pasti merasakan hal seperti itu. Cinta pertama tidak akan pernah bisa menjadi yang terakhir juga.

Terkecuali jika ia memang jodohmu.

"Deya?"

Lamunan Deya membuyar. Ditolehkannya kepala si gadis kepada sumber suara dan mendapatkan sang kakak sedang berdiri di sampingnya seraya memegang sekotak jus mangga.

Deya tersenyum tipis. Ya, ini adalah hari terakhirnya berada di Korea. Tepatnya hari ini ia akan kembali ke Indonesia, meninggalkan semua kenangan buruknya, dan membangun kenangan baru yang lebih baik dari ini.

Kemarin,--tepat saat senyum lebar tak lagi terlukis di wajah si gadis--Deya sudah mengurusi semuanya. Entah itu berpamitan kepada teman-teman, ataupun mengurusi berkas-berkas keluarnya si gadis dari perusahaan.

Tak ada gunanya lagi bagi Deya terus menerus berada di perusahaan yang bahkan tidak bisa membuatnya menikmati setiap pekerjaan yang dilakukan. Percuma saja ia berada di sana jika perasaannya harus terus menerus tersakiti karena adanya sosok Jaemin.

Ia tak pernah merasa senang. Walaupun pernah, itu hanya sesaat saja.

"Nggak apa-apa emangnya?"

Deya mengernyitkan keningnya.

Kenapa dengan pertanyaan Rafif itu? Setelah kemarin memaksanya untuk kembali ke Indonesia, sekarang ia malah bertanya seperti itu?

Benar-benar aneh, serius.

"Iya, gak apa-apa."

Rafif sedikit memiringkan kepalanya. Ia tak mengenal wajah dingin ini. Bukan ini yang ia ingin lihat dari Deya. Ia hanya ingin Deyana Jasmine kembali melukiskan senyumnya. Sama seperti dulu saat Deya masihlah seorang gadis lugu.

Terakhir kali Rafif menemuinya, tak ada senyum manis di wajah gadis tersebut. Dan sekarang Rafif harus melihat kedinginan yang terlukis jelas pada wajah si gadis.

Benarkah keputusannya membawa Deya pulang ke Indonesia adalah sesuatu yang benar?

Bagaimana jika nanti kepribadian gadis itu semakin berubah saat di sana? Bagaimana jika ia tak lagi bisa melihat senyum itu?

Tapi jika membiarkan Deya di sini, apakah semuanya akan baik-baik saja?

"Abang, kalau semisalkan aku mau ngubah apa yang dulunya jadi kerjaan aku, semuanya bakal baik-baik aja, kan?"

Rafif meringis. Diusapnya puncak kepala sang gadis dengan lembut. Senyumnya terlukis, senyum seorang kakak, sangat menenangkan. "Kalau kamu emang udah nyaman, udah suka dengan apa yang kamu lakuin, kamu gak perlu ngubah itu. Kerjaan kamu ngotak-atik komputer, kan? Dan kamu suka yakan?"

Rafif menjeda kalimatnya. Ia tatap mata hitam yang telah mati itu dengan mimik miris. "Lakukan apa yang kamu suka. Sesuatu yang dipaksain itu gak baik."

Si gadis menghela nafas pelan.

Itu benar.

Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya jika bukan mengoperasikan komputer atau laptop. Karena apa yang ia suka, memang itu.

"Abang bener. Maka--"

Deya terdiam. Diatatapnya punggung seorang laki-laki yang tengah berlari melewatinya, sembari memegang sebuah dompet yang ternyata adalah milik sang gadis sendiri.

"MASIH JAMAN NYOPET YA, WOI?!"

Dan berakhir dengan Deya yang meneriaki sang pencopet sembari mengejarnya--meninggalkan Rafif seorang diri disana.

"Deya.... Bisa teriak juga ya?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro