[ 3 ]
"Daddy~"
Rheana mendecih sebal kala suara menjijikan mengusik indera pendengaran. Langkah kakinya berubah, menuju ke arah sumber suara. Gadis itu memposisikan dirinya pada pohon besar yang ada di taman agar orang itu tak mengetahui keberadaannya. Sore ini, Rheana sengaja tidak meminta Darrel untuk menjemput karena ia memiliki janji bertemu dengan keempat temannya. Sebenarnya ia ingin bertemu dengan kelimanya, tapi sayang salah satu dari mereka tengah sibuk berurusan dengan seseorang.
Karena hal itulah, Rheana harus kembali melihat sesuatu yang menurutnya menjijikan untuk dilihat. Sudah dua kali hal ini terjadi pada gadis tersebut, dan Rheana tak ingin hal ini terjadi untuk ketiga kalinya.
Rasanya memuakkan jika harus melihat orang yang disukai teman sendiri tengah bermesraan dengan gadis lain tak dikenal. Dan seperti yang diketahui, gadis lain itu menggunakan panggilan paling menjijikan terhadap pemuda tersebut.
Damn, apa mereka sedang bermain-main dengan Rheana?
Ayolah, Rheana bahkan tidak menggunakan panggilan menjijikan itu kepada Darrel walaupun faktanya, mereka berdua telah resmi menjadi pasangan.
Err--itu hanya berlaku pada Rheana. Entah kepada Ara yang memiliki suami semacam Hyunjin yang... otaknya patut dipertanyakan itu.
"Kenapa? Kau ingin apalagi, eoh?"
Izinkan Rheana muntah sekarang juga.
Serius, Rheana ingin segera pergi dari tempat tersebut, tapi kakinya menolak apa yang diinginkan oleh si gadis. Bahkan telinga dan hatinya meminta agar Rheana lebih lama di sini hanya untuk mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya.
Terkutuklah pada tubuh Rheana yang tak ingin mengikuti apa kata otaknya.
"Tidak. Aku hanya ingin mengatakan jika kau adalah milikku. Jangan pernah dekat dengan wanita lain selain aku, ok~?"
Menjijikan.
Rheana menyerah. Ia tidak ingin membuat indera pendengarannya semakin rusak dari ini. Ia juga tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada pemuda itu. Seperti dilempar batu besar yang bisa mengakibatkan kepalanya bocor contohnya?
"Tidak akan, dan tidak akan pernah, baby. I'm yours--"
Rheana melukiskan senyum miringnya tepat saat netra pemuda itu menangkap sosoknya yang telah keluar dari tempat persembunyian. Wajah si gadis tampak terlihat begitu merendahkan pemuda bernama Na Jaemin yang saat ini telah memeluk gadis berparas manis itu.
"Kenapa? Lanjutkan saja. Saya hanya orang lewat, Mr. Na Jaemin."
Sebaiknya sekarang Rheana membatalkan pertemuan dengan keempat temannya yang lain. Karena setelah dipikir kembali, apa yang ia katakan nanti benar-benar akan melukai perasaan Deya.
Ketahuilah, Rheana tak ingin melihat gadis periang semacam Deya menangis.
"Kenapa kau ada di sini?"
"Sudah saya katakan, saya hanya kebetulan lewat di sini." kedua manik gelap itu mengamati sosok gadis tersebut dari atas kepala hingga ujung kaki.
Memang cantik, dan itu kenyataannya. Tapi rasanya, Deya lebih cantik dari gadis ini.
"Daddy, dia siapa?"
Rheana mengusap wajahnya kasar. Sudah dikatakan sebelumnya tadi, ia muak mendengar panggilan seperti itu. Bagi Rheana, panggilan seperti itu hanya akan membuat gadis tersebut terlihat seperti... seorang jalang.
Ini serius.
"Aku pernah menceritakannya padamu tentang dia, bukan? Gadis yang pergi meninggalkan Yifan." Jaemin melirik lembut ke arah si gadis.
Gadis itu tampak mengerjapkan mata bulatnya. Pandangan polos itu kembali beralih pada Rheana. Tak ada kelembutan sedikitpun di sorot mata itu. Yang ada hanyalah tatapan penuh penilaian terhadap Rheana.
"Rheana Andria-ssi? Tak kusangka bisa bertemu denganmu di sini." Senyun gadis itu mengembang. Bukan sebuah senyum manis atau sejenisnya, melainkan senyum lembut yang mengandung makna lain di dalamnya. "Namaku Kim Yerim. Panggil saja Yeri."
Rheana mendengkus. Ditatapnya tangan putih itu dengan ekspresi bosan. Jujur, ia sudah bosan dengan senyum rubah yang selalu ditampilkan gadis dari masa lalu orang-orang tampan ini.
Ia muak jika setiap kali harus memasang ekspresi yang serupa hanya untuk mengikuti alur permainan busuk yang telah dirancang begitu matang oleh gadis masa lalu mereka itu.
Mau seorang Kim Hyunjin, Bae Irene, atau bahkan Kim Yerim sekalipun... mereka semua benar-benar memuakkan bagi Rheana.
"Memuakkan." Rheana berujar. Ditepisnya tangan milik Yeri yang masih menggenggam jemari tangan si gadis. "Kalian sama saja. Sama-sama memuakkan."
Tuk Tuk Tuk
Dhea mengetukkan jari telunjuknya pada permukaan laptop. Manik mata si gadis tak beralih sedikitpun dari layar yang tetap menampilkan isi dokumen yang baru saja ia ketik tadi. Sesekali manik mata itu melirik jam yang ada pada sebelah bawah kanan layar laptopnya, memastikan bahwa orang yang ditunggunya tidak terlambat dalam perjanjian yang ia buat sendiri.
Gadis itu tampak risih, ketika melihat jam telah menunjukkan tepat pukul tujuh malam. Manik matanya bergulir ke kanan dan kiri, mencoba meminta penjelasan kepada ketiga temannya yang ikut menemani. Namun ketiga temannya itu tampak tidak mengacuhkan guliran mata Dhea yang terlihat begitu risih.
Bukan tidak mengacuhkan, tapi tidak menyadari kerisihan tersebut.
"Rheana... tumben telat." Setelah sekian lama menunggu, akhirnya salah satu dari mereka membuka suara. Dilihatnya jalanan yang ramai dari balik jendela caffe itu dengan bosan. "Ada keperluan kah?" sambungnya.
"Keperluan ya? Gue gak yakin sih." Fokus seorang lagi teralihkan dari waffle ice cream yang telah mencair. "Emang keperluan apaan, sih? Bang Darrel 'kan sekarang juga masih ada di studio bareng temen-temennya, jadi gak mungkin mereka nge-date."
"Belain aka teros kakak ipar," canda Ahran seraya menyenggol lengan gadis yang duduk disampingnya itu dengan pelan.
"Biar cepet dikasih keponakan gitu, hehe."
Buk!
"Mata mu keponakan!" satu lemparan koran pada wajah diterima oleh Ara, membuatnya meringis pelan dan mengusap wajahnya tersebut. "Mamam noh berita!"
Yang lain keheranan melihat sosok Rheana yang terlihat begitu tidak mood. Gadis itu baru datang beberapa detik yang lalu, tetapi mood nya terlihat sudah begitu hancur. Bahkan mereka semua tak tahu apa yang telah diperbuat hingga hal seperti ini terjadi.
Deya sendiri kebingungan dengan itu. Ia tak tahu kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga gadis bernama lengkap Rheana Andria ini menjadi tidak mood.
Apa mungkin sesuatu terjadi saat Rheana ke sini?
"Dey, liat deh." Beberapa detik berikutnya, Ara menyodorkan koran yang tadi dilempar oleh Rheana--meminta agar Deya membacanya dan mengetahui apa maksud dari si gadis.
Deya mengambil koran tersebut. Manik matanya bergerak pelan, membaca kata demi kata yang tertera di kertas itu. Senyum mirisnya perlahan mengembang, serta tatapan sayu memandang si kertas.
Gadis itu berharap apa yang tertulis di atas koran tersebut adalah berita hoax. Ia benar-benar berharap seperti itu. Jika berita itu memang benar nyatanya, Deya tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri.
Sakit hati? Itu pasti.
Bagaimana mungkin Deya tidak merasakan sakit dihatinya jika mengetahui fakta bahwa Na Jaemin dikabarkan telah bertunangan dengan Kim Yerim?
"Just like what I and Ara felt."
Ara mengaduk minumannya itu dengan tidak minat. "Di dalem hubungan itu, gak ada yang berjalan mulus. Lo bakal tetep mertahanin hubungan yang udah tau akhirnya bakal kayak gimana, hm?"
Deya diam. Semua yang dikatakan oleh Rheana dan Ara memang benar. Dirinya sudah tahu bagaimana akhir dari hubungan bersama Jaemin--tentunya bukan akhir yang bahagia. Tapi mampukah Deya melepaskan begitu mudah?
Mengingat bahwa Na Jaemin adalah sosok laki-laki pertama kali--selain ayah--yang ia cintai, tentunya itu bukanlah suatu hal yang terbilang mudah.
Deya sudah terlanjur nyaman dengan segala sikap baik yang diberikan oleh pemuda tersebut. Sulit rasanya untuk melepaskan. Walau pada kenyataannya, Na Jaemin bukanlah milik Deya.
"Kalau dia datang cuma buat ngasih luka di hati, lebih baik dia gak usah datang sama sekali," celetuk Ara seraya membuka pesan yang terkirim pada ponselnya.
Ahran menyunggingkan senyum sinis. "Kalau dia datang cuma buat ngasih luka, lebih baik mati aja."
Rheana serta Rillian mendengkus pelan mendengar penuturan dari Ahran maupun Ara. Konyol memang.
"Aku mau jauhin Jaemin. Bisa bantuin aku?"
That's the right choice.
"Seberapa idiotnya kau ini?"
Uhuk!
Na Jaemin, mengusap pelan tenggorokannya yang terasa sakit akibat tersedak apa yang ada di dalam mulut. Pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Jeon Jungkook dan Kim Taehyung secara bersamaan berhasil membuat Jaemin tersedak.
Jujur saja, ia tak tahu kesalahan apa yang telah ia perbuat sehingga dua setan laknat ini menanyakan sebuah pertanyaan menyebalkan seperti itu.
Hari sudah semakin malam, jam dinding pun telah menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Jaemin dan empat orang temannya masih berkumpul di villa khusus yang sengaja mereka semua beli untuk sekedar berbincang atau mengadakan rapat kecil.
Bahkan Hwang Hyunjin yang notabenarnya telah memiliki seorang istri masih duduk santai di sofa, sesekali menyeruput kaleng bir nya dengan nikmat.
"Hyunjin lebih idiot kurasa."
Uhuk!
Kini giliran Hyunjin yang tersedak akibat kalimat yang meluncur dari bibir seorang Na Jaemin. Ditatapnya nyalang pemuda yang wajahnya hampir mirip dengan Iqbaal itu, sesekali mengumpati di dalam hati.
"Kau lebih idiot darinya, Nana."
Jaemin mendecak. Panggilan yang tak pernah ingin ia dengar dari siapapun selain gadis itu. Panggilan khusus yang diberikan oleh Deyana Jasmine untuk dirinya. Ia tak pernah suka jika orang lain memanggilnya dengan panggilan seperti itu.
Cukup Jasmine yang boleh memanggilku begitu.
Jeon Jungkook mengambil kue cokelat buatan ibu Hyunjin--saat datang ke villa, Hyunjin membawa sebungus kue cokelat kering--dan mulai melahapnya secara perlahan. Keningnya sedikit berkerut heran kala melihat ekspresi wajah Jaemin yang terlihat kesal entah karena apa.
Sedangkan Taehyung serta Hyunjin hanya mendecak kasar.
"Kenapa? Kau tak suka ada yang memanggilmu seperti itu selain Deyana?" senyum sinis dibibir Joohyuk terlukis. Di detik berikutnya si pemuda melemparkan ponsel terhadap Jaemin--yang refleks di tangkap oleh pemuda pemilik marga Na itu. "Menurutmu apa yang akan terjadi setelah Deyana melihat berita tersebut?"
Keheningan mulai melanda.
Jungkook, Taehyung, serta Hyunjin segera merapatkan diri mereka kepada Jaemin, berniat melihat apa yang dimaksud oleh Joohyuk tadi. Tepukan tangan Hyunjin berikan, dan menatap lurus ke arah Jaemin dengan sorot mata dingin khas nya.
"Ternyata memang benar kau lebih idiot dari Hyunjin." Menggerutu pelan seraya tersenyum meremehkan, Kim Taehyung kembali menjauhkan dirinya dari Jaemin, diikuti oleh Jungkook yang telah duduk di tempatnya semula.
"Kupikir perusahaan kita akan kehilangan karyawan berbakat lagi sekarang."
Suara Jungkook membuat fokus mereka pada benda pipih yang ada di tangan Jaemin teralihkan.
"Kenapa memangnya?"
Jungkook mendongak, lantas tersenyum. "Tak ada," jawabnya dengan iris yang melirik sinis ke arah Jaemin.
Ara merengutkan wajahnya kala mendapatkan sesosok pemuda dengan wajah khas yang ia kenali sedang berdiri di hadapan pintu apartement milik Deya. Ah, rasanya deja vu. Kejadian ini sama seperti saat mereka pertama kali bertemu dengan Darrel setelah sekian lama tak bertemu.
Benar-benar deja vu.
Bedanya sekarang bukan Darrel yang berdiri di sana, melainkan Rafif Argani--kakak dari Deyana Jasmine.
Ara benar-benar heran sendiri. Kenapa kakak dari teman-temannya selalu datang pada waktu yang tidak tepat seperti ini? Sama hal nya seperti Sam yang datang padanya saat ia dan Hwang Hyunjin memainkan sebuah permainan konyol yang Hyunjin buat sendiri.
Tak lama dari itu, si pemuda menyadari akan kehadiran mereka semua. Lantas si pemuda menolehkan kepalanya seraya tersenyum manis.
Kedatangan Rafif kemari tentu bukanlah pertanda yang baik, terutama saat sosok itu tersenyum manis ke arah mereka. Rafif bukanlah orang yang senang memperlihatkan senyumnya jika tidak ada sesuatu hal yang akan terjadi, atau sesuatu yang ia inginkan. Rafif juga bukanlah seorang kakak yang akan datang mengunjungi adiknya jika tidak memiliki keperluan yang sangat penting. Karena seperti yang diketahui, Rafif Argani terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang penulis best seller.
Dan kedatangan pemuda tersebut benar-benar mengejutkan mereka semua. Mereka tahu Rafif akan menyampaikan sesuatu karena saat ini pemuda itu tengah tersenyum pada mereka--Ah, bukan. Tepatnya karena pemuda itu sedang berada di hadapan mereka saat ini juga. Sudah dapat dipastikan jika kakak dari Deyana memiliki keperlun penting yang tentunya bukanlah hal baik untuk diketahui.
"Deya, ada yang mau abang omongin."
Iya, mereka sudah menduga akan hal itu. Mereka juga tidak terlalu terkejut dengan ucapan Rafif, tapi ada satu hal yang membuat mereka tak siap mendengar apa yang akan dibicarakan oleh Rafif.
Mereka takut, kedatangan Rafif kemari hanya akan membuat mereka jauh dari Deya.
"Di dalem aja, Bang. Nggak enak kalau di sini. Di denger orang lain nanti."
Rafif mengangguk. Diliriknya sesaat Ara, Rillian, Ahran, Rheana, dan Witri--mereka bertemu dengan Witri saat akan memasuki gedung dan Rheana serta Ara memutuskan untuk ikut pulang ke apartement sembari menunggu Darrel dan Hyunjin menjemput--sebelum akhirnya mereka berdua masuk ke dalam apartement meninggalkan lima orang gadis tersebut di luar sana.
Sesaat kelimanya terdiam. Mereka memandang satu sama lain, saling melemparkan pertanyaan.
Hingga akhirnya--
BRAK!
--Adara Dheandra menendang paksa pintu apartement milik Deya, memaksanya agar terbuka sehingga mereka bisa masuk ke dalam.
Oke, bukan tindakan yang baik dan sopan, tapi setidaknya ini yang harus mereka lakukan agar bisa mendengar apa yang akan dikatakan oleh Rafif terhadap Deya daripada harus menunggu lama hingga membuat rasa penasaran mereka samakin meninggi.
Ya, ini lebih baik.
"UDAH AKU BILANGIN JANGAN DOBRAK PINTUNYA! BIAYA PERBAIKAN PINTU ITU MAHAL WOI!"
Mereka memasang wajah tanpa dosa tepat saat Deya memekik nyaring, memarahi kelimanya yang dengan tidak tahu malunya menendang, masuk ke dalam, dan mengambil posisi duduk di sofa.
"Gue penasaran sama apa yang mau bang Rafif omongin. Gue gak bisa nunggu sampe Deya cerita," celetuk Ara tiba-tiba saat melihat bibir Rafif yang terbuka hendak mengeluarkan pertanyaan.
Rafif mendengus. Disandarkannya punggung itu pada sandaran sofa, serta kaki kanan si pemuda yang ia pangku di atas kakinya yang lain.
"Saya mau ngajak Deya pulang ke Indonesia."
Saya.
Oke, rasanya ini terdengar aneh bagi Ara ketika mendengar orang Indonesia menyebut dirinya sendiri dengan panggilan 'Saya', bukan 'Gue'.
Terlalu baku menurutnya.
Dan sudah mereka duga, kedatangan Rafif ke Korea serta menemui mereka semua bukanlah hal yang baik.
"Tungg--kenapa?"
Lihat? Bahkan orang yang dimaksud oleh Rafif sendiri kebingungan.
"Kamu harus pulang, Dey."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro