Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[ 14 ]

Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar bagi Deya, tentu saja. Selama itu pula, ia meniti karir dari nol di Indonesia. Berawal ia menawarkan jasa membuat sebuah web untuk usaha kecil-kecilan, hingga sampai di mana dia menjadi pemilik perusahaan pembuatan web ternama di Indonesia. Tentu hal tersebut tak bisa ia lakukan jika tanpa adanya dukungan dari Lucas, Rafif, beserta yang lainnya. Awal mula memang terasa berat, tapi lama-kelamaan Deya mulai mencintai pekerjaannya. Gadis itu menjadi lebih sering berdiam di dalam kamar untuk mengerjakan projek web dari client-nya. Bahkan ia hampir melupakan makanannya andaikan Rafif tak banyak mengomel tentang kesehatan yang juga patut Deya jaga.

Hari ini adalah hari pertamanya kembali menjejakkan kaki di negeri gingseng setelah lima tahun lamanya, membuat Deya cukup banyak merasa asing dengan suasana yang berubah. Namun ia tak pedulikan hal tersebut. Dilangkahkan olehnya sang kaki pada sosok Ara yang telah menjemput telebih dahulu dengan alasan si kecil yang merindukan sosok bibi kesayangannya. Konyol memang, tapi tampaknya alasan tersebut benar adanya karena sosok batita dalam gendongan Ara mulai merentangkan kedua tangannya begitu menyadari Deya mendekat, seakan menyambut sosoknya yang baru saja tiba di Seoul.

Deya yang melihat itu terkekeh gemas. Diambilnya bayi tersebut dari gendongan Ara dan mengecupnya. "Look, her face is similar to her father's," celetuk Deya yang masih mengecup gemas pipi gembil dari putri pertama keluarga Hwang tersebut.

"Apa?! Lo bilang mukanya mirip Hwang?!"

Deya terkekeh. Dipeluknya sosok mungil tersebut ke dalam dekapan hangatnya. "Ada apa? Kamu berantem lagi dengan dia?"

"Lupakan." Ara mengalihkan atensinya pada seluruh orang yang berlalu-lalang di bandara. "Kemana Lucas? Lo gak bareng dia?"

"Memangnya aku harus ditemani dia perihal pekerjaan dari perusahaanku?"

Kali ini Ara merotasikan bola matanya dengan jengah. Gadis itu meminta kembali sang anak yang masih berada dalam gendongan Deya. "Ya, ya, ya, Sajangnim. Semoga sukses membentuk relasi dengan perusahaan yang namanya lagi disebut-sebut oleh penjuru Korea Selatan."

Deya hanya terkekeh begitu mendengar Ara mengutarakan ucapannya. Adara Dheandra, masihlah sama seperi gadis yang ia kenal.

"Kudengar Deyana kembali ke Korea. Bagaimana menurutmu, Kook?"

Jungkook mengalihkan atensinya dari layar komputer. Pemuda itu menghela nafas, tampak tidak tertarik dengan topik pembicaraan yang kali ini dibuka oleh Joohyuk. Kantung mata yang terbentuk di bawah matanya cukup membuktikan bahwa pemuda bermarga Jeon tersebut tidak memiliki waktu banyak untuk mengistirahatkan tubuh. Jika bisa memilih, lebih baik ia beristirahat daripada harus mendengarkan perihal Deya ataupun Rillian yang kerapkali dibahas oleh rekan kerjanya tersebut.

"Apa yang diharapkan? Kembali pada manusia tolol itu?" diliriknya Jaemin yang masih fokus menatap datar layar ponsel. "Omong kosong. Dia kembali ke sini pasti karena urusan bisnis."

"Bagaimana hubungan Jaemin dengan Yeri?"

"Apa wajah seperti itu mengatakan jika hubungan mereka baik-baik saja?" Taehyung mendengkus, sesekali melirik Jaemin yang masih tetap tidak bergeming di tempatnya melalui ekor mata.

"Jaemin kehilangan sebagian dirinya, Yifan."

Yifan yang masih setia duduk di singgasananya ikut mendengkus. "Itulah kenapa aku selalu mengatakan jangan salah mengambil keputusan."

"Lupakan saja. Jaemin tidak akan pernah belajar dari pengalaman." Hyunjin menimpali dengan begitu sarkas seraya mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah.

"Ya, ya, terus saja menyudutkanku wahai tuan-tuan yang terhormat," timpal Jaemin yang mulai muak dengan ucapan mereka.

Jaemin memang merasa muak, dan merasa marah terhadap dirinya sendiri. Ia merasa jika dirinya tak pernah becus menjaga sesuatu yang telah semesta titipkan padanya. Ia merasa bahwa hatinya telah dibutakan oleh paras manis yang dimiliki oleh sang istri yang semakin hari kian terlihat sosok aslinya; sosok bahwa gadis itu hanyalah memanfaatkan semua kekayaannya untuk kembali ditinggalkan nantinya jika Jaemin tak lagi memiliki sepeser uang pun.

Jaemin telah mengalami hal tersebut sebelumnya, ditinggalkan oleh orang yang sama disaat ia sendiri tengah kalut dalam masalah yang dihadapi. Namun, lagi-lagi cinta membuatnya buta. Ia melupakan segala kenangan pahit yang diberikan oleh Yeri, melupakan semua luka yang ditorehkan oleh gadis itu sehingga kali ini ia harus kembali terjerat dalam dilema tak berdasar.

Sangat memuakkan.

Ia ingin Deya berada di sisinya;

Ia ingin pelukan hangat Deya membalut seluruh tubuhnya;

Ia ingin usapan lembut yang diberikan oleh Deya dikala dirinya kalut;

Ia,

Merindukan sosok Deyana Jasmine di dalam hidupnya.

Sangat merindukannya.

"Kau ingin pergi kemana?"

Jaemin menghentikan kegiatannya dalam mengenakan sepatu, melirik sekilas ke arah Joohyuk yang memandangnya dengan mengintimidasi, sebelum akhirnya beranjak dari ruangan tersebut tanpa memberikan jawaban yang memuaskan sosok angkuh Joohyuk di sana.

Hyunjin paham betul kemana Jaemin akan pergi dan itu sukses membuat pening di kepalanya semakin menjadi. Ia memijat pangkal hidungnya guna sedikit meringankan kepala yang kian terasa berat. Belum lama ini, pertengkaran yang cukup besar terjadi di dalam hubungannya dan Ara. Hal tersebut membuat Hwang Jeongin semakin gencar mendekati sang istri. Hyunjin memang paham betul, ia yakin ucapan Jeongin tentang 'mengambil Ara' darinya bukanlah sesuatu yang bisa di anggap bualan semata. Jeongin tak pernah menunjukkan sorot mata seperti itu sebelumnya, seakan bahwa pemuda yang umurnya terpaut dua tahun tersebut mengibarkan bendera perang terhadapnya. Belum lagi akhir-akhir ini Ara semakin kian bertingkah aneh. Ia seakan menjauhinya, atau bahkan menganggapnya tak ada; seperti pemuda itu telah membuat kesalahan besar yang sangat fatal.

"Kinerja kalian semakin hari semakin buruk." Pandangan Yifan mendingin. Ditatapnya layar laptop yang tengah menunjukkan deretan angka. "Aku tahu ini sangat berat, tapi tolong bekerja secara profesional. Apa kalian ingin perusahaan yang kita bangun dengan susah payah hancur begitu saja?"

"Jangan lupakan juga, perusahaan game baru yang tentunya sedang dibahas di penjuru Korea. Kehadiran mereka mengancam perusahan kita."

Jungkook kembali menyandarkan tubuhnya pada sofa. Ia terus menerus menatap layar laptop tanpa henti. "Ya, aku tahu. Kau tidak perlu mengingatkanku berkali-kali, Sajangnim."

"Aku akan pergi ke ruanganku untuk mengurus sesuatu." Taehyung bangkit dari duduknya. Pemuda tampan itu pun terlihat sama lelahnya dengan Hyunjin. "Jangan lupa, dari besok, aku mengambil cuti selama satu bulan penuh karena harus kembali ke Las Vegas."

"Lebih dari itu, aku keluarkan kau dari sini."

Taehyung mendecih. Ia pergi tanpa membalas ancaman dari Yifan barusan.

Na Jaemin ( 1 )
Ku dengar kau berada di Korea.

Deyana tersenyum kecut memandang layar ponselnya yang menampilkan nama Jaemin di sana. Tampaknya, Jaemin masih menyimpan nomor Deya, begitupula sebaliknya.

Ternyata benar saran dari Lucas. Ia seharusnya mengganti nomornya jika ingin menghapus semua ingatan tentang sosok yang sampai detik ini masih menempati sedikit ruang di relung hatinya.

Sesaat ia berpikir, haruskah dirinya membalas pesan tersebut? Atau mengabaikannya?

Namun rasanya akan sangat kejam jika ia tak membalas pesan dari Jaemin yang telah membuang jauh harga dirinya untuk mengirimkan pesan yang bahkan tak penting seperti ini. Maka dari itu, ia mengambil ponselnya, dan segera mengetikkan balasan singkat untuk Jaemin.

Belum sempat Deya keluar dari roomchat, Jaemin telah membalasnya.

Na Jaemin
Online

| Bagaimana kabarmu?

Baik, saya pikir? |
Kabar Anda? Saya harap Anda |
baik-baik saja.

| Aku?
| Oh,
| Aku....
| Aku tidak baik-baik saja.

Apa yang terjadi? |

| Apa kau merindukanku, Jasmine?

Sangat.

Tidak. |
Untuk apa saya merindukan anda? |
Merindukan seseorang yang sudah | memiliki istri?
Berhenti membual, Mr. Na. |

| Apa kau masih mencintaiku, Jasmine?

Deya bisa merasakan hatinya semakin terasa sakit begitu untaian kata tersebut dibacanya. Tanpa seizin sang gadis, air matanya jatuh begitu saja membasahi kedua pipi putihnya.

Tidak. |
Katakan ada perlu apa? |
Ingin bertemu? |
Kita lakukan lain kali jika urusan |
saya sudah selesai.

| Apa tidak ada ruang lagi untukku?
| Apa tidak ada kesempatan agar aku bisa mengembalikkan semuanya seperti awal?
| Apa sudah telat bagiku untuk membalas perasaanmu?
| Mengatakan bahwa aku juga mencintaimu?

Berhenti membual. |
Katakan pada Mr. Hwang |
Agar behenti memberi Anda | makanan  aneh.
Selamat malam. |


















Jasmine
Last seen, 08.35 P.M.

| Berhenti membual.
| Katakan kepada Mr. Hwang
| Agar behenti memberi Anda makanan aneh.
| Selamat malam.

Bisakah kita bertemu secepatnya? |
Aku merindukanmu. |
read

Pedih, sangat.

Bagaimana mungkin sosok yang dulunya begitu hangat, kini terasa sangat dingin saat dirinya menyapa untuk pertama kali setelah sekian lama tak bertegur sapa?

Jaemin merasa jika sosok yang baru saja dihubunginya bukanlah sosok yang dikenalnya bertahun-tahun yang lalu. Dan itu benar-benar membuat hati Jaemin yang memang telah dipenuhi banyaknya luka akibat Yeri, semakin terasa sakit dan pedih; bak diberi garam.

"Aku suka ekspresi menyedihkanmu itu, Jaemin."

Jaemin semakin mendesis saat suara Ara menyapa indera pendengarannya. Dapat dilihat, gadis itu tampak tengah menyeringai sadis. "Tolong aku, Nona Hwang."

"Tidak sebelum kau urusi dulu istrimu yang selalu menggoda Hwang."

"Siapa? Yeri? Dia tidak mungkin begitu!"

Ara menopang dagunya dengan tangan kanan, menatap Jaemin dengan pandangan datar yang tak dapat diartikan. "Aku sudah sering melihatnya makan malam bersama Hwang beberapa hari ini."

"Hanya makan malam, kan? Sama halnya seperti aku dan kau."

"Apa aku juga menyandarkan kepalaku dengan manja di pundakmu? Atau bergelayut layaknya seorang jalang di tanganmu?"

Kedua mata Jaemin memicing tajam. "Apa kau bermaksud mengatakan bahwa Yeri seperti itu?"

"Memang begitu faktanya."

"Kalau begitu, kenapa kau tidak pergi tinggalkan saja Hyunjin? Dan kembali pada seseorang yang mendonorkanmu mata? Atau memilih pasangan hidup yang lebih baik?"

"Hal tersebut aku tanyakan kembali padamu." Ara semakin datar menatap wajah Jaemin yang tampak terlihat ragu lagi menatap wajahnya. "Kenapa kau tidak pergi tinggalkan Yeri dan kembali pada Deya? Atau pada seseorang yang telah kau patahkan hatinya sebelum bertemu Deya?"

"Hei!" Jaemin mendobrak meja tak terima. "Masalah kita berbeda!"

"Intinya tetap sama. Ditinggalkan atau meninggalkan, benar?"

"Ya, benar. Tapi, kau juga bisa meninggalkan Hyunjin jika kau mau, bukan?"

"Kau pun bisa meninggalkan Yeri jika kau mau, bukan?"

Jaemin mengerang kesal. "Berhenti membalikkan pertanyaanku, Adara Dheandra."

"Kalau begitu, berhenti mengusikku, Na Jaemin."

"Jika kalian bertemu untuk sesuatu yang tidak berguna seperti ini--" Hwang Jeongin membuka suaranya setelah pemuda itu jengah karena pembicaraan kali ini tidak berakhir sejak satu jam yang lalu. "--Lebih baik kita pulang, Noona. Hyunra sudah menangis asal kau tahu."

"Kau benar." Ara membalas. Ia berdiri dan mengambil putrinya dari dalam dekapan Jeongin. "Ini sudah lewat dari jam tidurnya." Sang gadis kembali menoleh ke arah Jaemin. "Aku pikir kau sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan ini sendirian, Jaem."

"Dan kupikir kau pun sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahmu sendiri."

Senyum sinis Ara mengembang, membuat Jeongin yang melihatnya terpaku di tempat. "Ya, aku bisa selesaikan sendiri. Akan ku pastikan dia bungkam. Jangan salahkan aku jika aku menyingkirkan istrimu itu untuk selamanya, Mr. Na Jaemin."

Berat.

Kalimat mengintimidasi yang diucapkan oleh gadis yang telah menyandang marga Hwang itu terasa berat bagi Jaemin. Terutama saat sorot mata sedingin es itu menatap tubuhnya, seakan ada pedang es yang juga ikut menusuk Jaemin tepat di jantung.

Jaemin tahu, Ara tak akan pernah main-main jika seseorang mengganggu hidupnya; terutama hubungannya bersama dengan Hwang Hyunjin yang notabe-nya adalah suami dari si gadis. Jaemin tak tahu pasti sejak kapan Ara semakin posesif dan ambisius seperti ini. Yang ia tahu, semuanya berubah semenjak ia memutuskan untuk menikah dengan Yeri.

Bahkan Rillian, Rheana, Witri, dan Ahran enggan mengambil andil dalam hal ini. Barang sedikitpun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro