[ 10 ]
"--Senang bertemu lagi denganmu."
Senyum tipis itu kembali menghilang kala pandangannya menangkap sesosok manusia yang satu minggu lalu berkunjung ke rumahnya hanya untuk menorehkan luka baru.
Tidak, bukan dia yang Deya tunggu.
Bukan Na Jaemin yang Deya harapkan kehadirannya di sini.
Deya tak pernah mengerti kenapa Jaemin selalu muncul di hadapannya saat dirinya sendiri mencoba untuk melupakan kenangan dan perasaan terhadap si pemuda.
Apa Jaemin sengaja melakukan hal ini agar Deya kesulitan untuk melupakan semuanya? Agar Deya tak pernah bisa kembali seperti dahulu?
Jika hal tersebut benar, demi apapun itu, tolong lenyapkan Na Jaemin dari dunia ini. Tolong biarkan Deya kembali seperti dulu, menjalankan hidupnya dengan tenang tanpa ada hambatan dari seseorang.
"Apa yang Anda butuhkan, Mr. Na?" seluruh tubuh Deya menegang saat menyebutkan nama pemuda tersebut. Hatinya kembali terasa sakit saat memori menyakitkan terlintas di ingatannya tanpa izin sedikitpun, bagaikan kaset rusak yang terus-menerus memaksa mengulang film.
Tidak, jangan biarkan hal itu membuat dirimu lebih jatuh.
Tapi bagaimana bisa?
Demi Tuhan, Deya benar-benar ingin pergi dari hadapan Jaemin saat ini juga, tapi kaki nya tak mengizinkan hal itu. Dia tetap berdiri kaku di hadapan Jaemin, dengan ekspresi wajah yang terlihat begitu tersiksa.
Jangan menangis, tidak ada gunanya.
Tapi bagaimana caranya?
"Deya, izinkan aku bicara denganmu sebentar saja. Aku ingin menyelesaikan ini secara baik-baik."
Deya tetap diam. Pandangannya menatap lurus ke arah Jaemin yang masih setia berdiri dihadapannya.
Untuk sekali lagi, haruskah Deya mengizinkan Jaemin menjelaskan semuanya setelah apa yang telah pemuda itu lakukan minggu lalu terhadap dirinya?
Haruskah Deya mendengarkan penjelasan yang mungkin akan membuat luka di hatinya kembali terbuka dan bahkan tak bisa tertutup lagi?
Apapun itu, Deya berharap ada pilihan ketiga yang mampu membantunya menghindar dari pilihan pertama maupun kedua. Jujur saja, Deya ingin sekali mendengar penjelasan dari Jaemin, namun ia takut oleh fakta yang akan dia ketahui dari pemuda tersebut. Deya tak pernah menyiapkan diri mengenai apapun yang berhubungan dengan pemuda bermarga Na itu.
Sedangkan Rafif yang sedaritadi diam di dalam kamar sang adik mulai mengerutkan keningnya heran. Perasaannya terasa aneh saat Deya tak kunjung kembali. Biasanya gadis itu akan datang menghampiri saat dirinya akan pergi keluar.
Tapi sekarang? Tak ada tanda-tanda bahwa Deya akan kembali.
Melangkahkan kakinya dengan malas keluar ruangan, Rafif menghampiri letak pintu utama untuk menemui Deya yang tak kunjung kembali. Namun bukannya mendapatkan sosok sang kesayangan, yang ia dapatkan hanyalah ruang kosong dengan pintu yang terbuka. Keningnya semakin berkerut heran.
Terasa begitu janggal.
"Udah pergi sama Lucas?" tanyanya, pada diri sendiri. "Tapi dia nggak bawa tas nya...."
Hyunjin mengusak rambutnya dengan kasar. Ponsel yang ada di genggaman tangan masih setia menampilkan layar yang terlihat tengah memanggil seseorang. Mengigit pelan ujung bibirnya, Hyunjin berjalan mondar-mandir di dalam ruangan, membuat Joohyuk, Yifan, Taehyung, juga Jungkook yang ada di dalam ruangan tersebut semakin panik.
Hyunjin mendesah pasrah. Dilempar olehnya ponsel tersebut ke atas meja tanpa pikir panjang, sebelum akhirnya dia mengambil posisi duduk di samping Joohyuk.
Yang lain ikut mendesah.
Jaemin sialan itu selalu membuat mereka semua khawatir tanpa alasan yang jelas. Ayolah, hari ini mereka ada meeting bersama dengan client yang akan bekerja sama dengan perusahaan mereka, dan semua data ada di tangan Na Jaemin.
Sialan, Jungkook mengumpat dalam hati. Hal inilah yang paling tidak ia sukai dari Jaemin. Tidak seharusnya Jaemin mementingkan dirinya sendiri disaat perusahaan yang mereka kelola di ambang kehancuran.
Brak!
Yifan melempar dokumen-dokumen yang ia genggam ke atas meja. Mata setajam elangnya terlihat begitu menyeramkan saat keempat orang itu bertatapan dengannya. Bulu kuduk mereka semua meremang. Yifan telah benar-benar marah sekarang.
Selama beberapa tahun lamanya mereka saling mengenal satu sama lain, mereka sama sekali belum pernah melihat seorang Wu Yifan semarah ini. Yifan selalu dikenal dengan sikapnya yang tenang dan santai dalam menyelesaikan suatu masalah. Tak pernah sekalipun Yifan terlihat semarah ini sebelumnya. Dan tak ada yang pernah bisa membuatnya semarah ini.
"Dude, aku paham kau lelah dengan semua ini. Aku paham kau juga lelah dengan perasaanmu yang tak kunjung melupakan Rheana, tapi please, lakukan semua ini dengan tenang dan santai seperti sebelumnya. Jangan membiarkan emosi menyulutmu," pinta Taehyung, yang membuat Yifan memijit pangkal hidungnya.
"Tapi anak itu akan terus seperti ini jika tidak diberi pelajaran, Tae."
Taehyung menghela nafasnya pasrah. Benar, Jaemin akan terus berperilaku seenaknya jika tidak ada salah satu dari mereka mencoba untuk menegurnya. Jaemin memang tipe laki-laki seperti itu, dan tak akan pernah berubah sedikitpun.
Taehyung tahu itu. Tapi dia mencoba untuk berpikir jernih. Ia tidak ingin hal ini membuat pertemanan mereka rusak, dan akan berakhir dengan hancurnya perusahaan.
Tidak. Tentu saja hal tersebut tidak boleh terjadi. Taehyung masih harus mementingkan keadaannya nanti jika saja perusahaan ini hancur. Selain di sini, perusahaan mana lagi yang bisa menampungnya? Menampung mereka?
"Pikirkan baik-baik sebelum kau mengambil keputusan, Yifan. Jangan menyesali keputusanmu di akhir nanti." Hyunjin ikut menenangkan Yifan yang tampak masih mencoba meredam amarahnya.
"Kau harus bercermin dulu sebelum mengatakan itu, Hyunjin. Memangnya kau pikir bisa mendapatkan Adara karena apa? Keputusan sesatmu," celetuk Joohyuk sadis.
Hyunjin mengerutkan keningnya tak terima atas perkataan Joohyuk tadi. "Setidaknya keputusan sesatku berakhir baik. Tidak seperti Jaemin yang sia-sia," sungut Hyunjin lebih sadis.
Inilah mengapa tidak seharusnya Hyunjin bergaul bersama manusia semacam Joohyuk. Atau bahkan mereka semua. Ucapannya benar-benar selalu menusuk hatinya. Beruntung saja pemuda bermarga Hwang itu bukan tipikal orang yang mudah sekali memasukkan ke dalam hati.
"So?" seakan mengerti bahwa pertengkaran ini tidak akan selesai begitu saja, Jungkook mengambil alih pembicaraan. Sebelah alisnya terangkat naik, meminta sebuah penjelasan kerena meeting bersama client akan berlangsung kurang lebih lima jam lagi. Sedangkan perjalanan dari Indonesia ke Korea membutuhkan waktu lebih dari tujuh jam.
Dan Jaemin sendiri masih belum bisa dihubungi oleh pihak mereka. Bagaimana mungkin bisa mereka melaksanakan meeting ini?
"Batalkan."
Taehyung mengalihkan atensinya pada Yifan yang tampak menggeram rendah. Alisnya saling bertaut heran, memperlihatkan raut yang seakan mengatakan, 'kau serius?'
Dan Yifan mendengkus.
"Kau serius akan membatalkan hal ini, Yifan?" tanya Jungkook memastikan.
"Ya. Batalkan dan jangan menerima client apapun selama masalah bocah itu belum selesai," final Yifan seraya membawa dirinya keluar dari ruangan tersebut.
Sedangkan yang lain hanya mampu diam menerima keputusan dari Yifan. Karena bagaimanapun, semua yang telah Yifan putuskan adalah mutlak. Tidak ada yang bisa menggantinya walau itu teman sang lelaki sedikitpun. Terutama saat ini emosi Yifan masihlah belum stabil.
Jika mereka mencoba untuk membantah, sebuah tanda akan membekas di wajah mereka. Tentu hal itu tak ingin terjadi. Mau bagaimanapun, keempat pemuda itu masihlah menyayangi wajah tampan mereka sendiri.
Deya tahu keputusannya untuk mengikuti Jaemin adalah sebuah kesalahan besar. Karena sekarang, Jaemin kembali menyakiti hatinya. Memang benar sebelumnya pemuda itu mengatakan akan menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Namun fakta berbanding terbalik dengan apa yang baru saja dikatakannya.
Jaemin memang bukan tipikal pemuda yang bisa menyelesaikan masalah dengan pikiran dingin. Ia mudah marah, mudah tersinggung, dan mudah terpancing emosi walau sebenarnya lawan bicaranya tak bermaksud sedikitpun untuk mengusik si pemuda.
Dan Deya menyesal karena terbuai dengan nada lembutnya, seakan Jaemin menginginkan Deya kembali ke sisi sang pemuda. Deya tahu dirinya bodoh. Deya tahu bahwa dirinya telah masuk pada jurang yang benar-benar dalam, dan hampir mustahil untuk keluar dari sana jika saja tak ada yang menawarkan diri untuk membantu.
Tapi tetap saja, ia mengutamakan seorang Na Jaemin.
"Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan hal itu begitu mudah, Jasmine?!" nada suara Jaemin meninggi, disusul dengan gebrakan kasar pada permukaan meja caffe sehingga membuat seluruh pengunjung mengalihkan atensinya pada kedua insan itu.
Deya menutup matanya rapat-rapat. Hembusan lembut ia keluarkan guna menetralkan detak jantungnya yang berdetak dengan sangat tidak wajar, seakan-akan jantung itu ingin melompat dari rongga dadanya.
"Jawab aku!"
Senyum lembut terlukis pada bibir tipis itu. "Dan bagaimana mungkin kau bisa memporak-porandakan perasaan seseorang semudah itu, Mr. Na?"
"Bukan itu jawaban yang ku inginkan, Mrs. Deyana Jasmine." Nada suara Jaemin merendah, mengeluarkan aura mengintimidasi yang begitu kentara.
Ah, Deya lelah menghadapi ini.
Tidak bisakah Jaemin melepaskan Deya dan hidup bersama dengan wanita kesukaannya itu?
"Saya hanya mengembalikan pertanyaan yang Anda lontarkan," sahut Deya, masih mencoba mempertahankan ketegarannya walau hanya sebatas kaca tipis yang akan pecah jika dijatuhkan sedikit saja.
"Jas--"
"Tidak sopan." Suara seseorang menginterupsi mereka. "Kau menculik seseorang yang sudah memiliki janji dengan orang lain? Benar-benar tidak sopan."
Itu Lucas.
Lelaki bongsor itu telah berhasil menemukan keberadaan Deya setelah satu jam lamanya mencari kesana-kemari. Lucas datang tepat waktu. Lucas datang,
Sebelum pertahanan Deya benar-benar hancur.
Lucas menghampiri Deya, mengabaikan atensi Jaemin yang tengah memandangnya dengan marah. Lelaki itu merangkul pundak si gadis dengan lembut, lantas tersenyum guna menenangkan gadis itu.
"Pergi dari sini, Dey. Gak guna juga kamu di sini terus." Lucas beralih menggenggam jemari Deya. "Kay?"
Deya mengangguk samar sebagai jawaban, namun itu sudah menjadi tanda bahwa ia mengizinkan Lucas untuk membawanya pergi. Tanpa meminta izin terhadap Jaemin, ia segera membawa Deya pergi dari sana. Membuat Jaemin kembali membuka suaranya,
"Aku belum se--"
Drrttt...
"--Ck."
Namun belum sempat Jaemin menahan Deya dan Lucas untuk pergi dari sana, getaran pada ponselnya membuat si pemuda mengurungkan niat. Ia mendengkus kasar sebelum akhirnya membuka ponsel yang telah ia abaikan selama beberapa jam tadi.
Deretan pesan dari Hyunjin, Taehyung, Jungkook, dan Joohyuk memenuhi notifikasinya.
Hwang 🐶 ( 20 )
Kemarin kau membuat Ara marah, dan kali ini kau membuat Yifan marah. Aku berterimakasih padamu, sangat.
Tae 💩 ( 13 )
Bagaimana mungkin kau bisa pergi dengan santai seperti ini?
Jeon 🐰 ( 10 )
Ini penting. Mengenai tunanganmu.
Joo 🐒 ( 2 )
Idiot.
Nn. Hwang 🐯 ( 1 )
Kau membuat masalah lagi?
Tapi semua itu ia abaikan begitu sebuah notifikasi dari seseorang muncul di layar ponselnya. Senyum lembut ia lukiskan saat melihat nama si pengirim.
Ma Bae ♡
Online
Dad?
Kemana?
Miss ya:(
Aku akan pulang sekarang
Okay-! ♡
Read
"Lihat bagaimana wajah idiot itu tersenyum." Hyunjin mencoba menahan umpatannya saat menjemput Jaemin di bandara. Dirinya sudah benar-benar kesal terhadap pemuda bermarga Na ini.
Dengan seenak jidat Jaemin menghubungi Hyunjin dan memintanya untuk menjemput pemuda itu di bandara tepat pukul satu pagi.
Tepat pukul satu pagi.
Catat itu.
Bagaimana mungkin Hyunjin tidak kesal?
"Kau membuka roomchat-ku hanya untuk memerintahkanku agar menjemputmu?" Hyunjin bersedekap.
Jaemin terkekeh melihat tingkah manusia dengan bibir kelebihan gizi ini. "Kenapa? Kau lelah? Berapa kali ronde, huh?"
"Dia masih marah padaku. Bagaimana mungkin?" Hyunjin merotasikan bola matanya malas.
Tentu saja, Adara masih marah terhadapnya perihal mengajak Jaemin bertemu dengan Deya. Karena hal itu pun, pemuda tersebut harus tidur di sofa selama satu minggu penuh sedangkan sang adik--Hwang Jeongin--bisa dengan bebas tidur di samping kakak ipar kesayangannya itu.
Ah! Mengingatnya saja membuat Hyunjin kesal.
"Bagaimana dengan hubunganmu? Hari pernikahan akan dilaksanakan kapan?"
Jaemin kembali tersenyum, mengerling jahil ke arah Hyunjin. "Tiga hari lagi."
"Oh--"
"APA?!"
"Kenapa kau sangat terkejut?"
"Dengar, Jaem." Hyunjin menarik kerah pakaian Jaemin, menatapnya dengan begitu dalam. "Aku hanya bercanda tentang itu. Sama sekali tidak pernah terbersit dalam pikiranku bahwa kau akan menikah secepat ini." Ia mencoba mencari sebuah kebohongan dari sorot mata Jaemin, namun hasilnya nihil.
Jaemin bersunguh-sungguh tentang hal ini.
"Lantas kenapa?"
"Kau idiot?!" pemuda ber-visual itu sedikit menaikkan nada suaranya. "Ada seseorang yang terluka karena hal ini, Jaem!"
"Apa peduliku?"
Senyuman yang terlukis apik pada wajah Jaemin perlahan menghilang, digantikan dengan tatapan datar khas nya yang membuat tarikkan pada kerah baju pemuda itu sedikit melonggar.
"Baiklah. Aku lelah dan aku menyerah. Antara Deya dan Yeri, putuskan siapa yang berhak ada di sisimu. Aku tidak ingin kau melakukan hal yang sama seperti apa yang Yifan lakukan. Hidup dengan penuh menyesalan, bodoh sekali."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro