Twelfth
Tuk Tuk Tuk
Rheana mengetuk pelan meja kantin di perusahaan tersebut. Manik matanya menatap kosong ke arah secangkir vanilla latte yang telah ia pesan tadi. Pikiran si gadis melayang entah kemana, memikirkan hubungannya bersama dengan seseorang yang telah ia jalani selama empat bulan lamanya. Bahkan suara heboh yang ditimbukan keenamnya temannya--ditambah Han Jisung yang beberapa bulan lalu masuk kedalam hidup Adara--sama sekali tidak membuyarkan pikiran si gadis.
Empat bulan bukanlah waktu yang singkat untuk menjalin sebuah asmara. Dalam waktu tersebut mampu membuat ikatan sepasang kekasih semakin erat dan mampu membuat mereka memberikan kepercayaan pada diri pasangannya.
Tapi nyatanya tidak di dalam hubungan seorang Rheana Andria.
Semakin lama mereka berhubungan, semakin terasa pula Yifan menjauh darinya.
Dulu Yifan seringkali meneleponnya atau mengiriminya sebuah email hanya untuk menanyakan kabar ataupun menjemput dan mengantar Rheana, tapi kini jauh berbeda dari sebelumnya.
Memang benar jika Yifan beberapa kali menghubunginya, tetapi tak sesering dulu. Awal mula Rheana maklumi itu karena ia paham, pekerjaan seorang CEO tidak semudah membalik selembar kertas. Rheana juga tidak menuntut sebuah perhatian lebih dari seseorang.
Iya, awalnya.
Tapi lama-kelamaan dirinya juga lelah saat beberapa kali menangkap pemandangan di mana Wu Yifan tengah berjalan bersamaan dengan seorang gadis.
Oke, lagi-lagi Rheana bisa maklumi jika mereka hanya berjalan saja. Tapi, tidak dengan bergandengan tangan.
Hell! Bagaimana mungkin seseorang bisa bertahan saat melihat kekasihnya menggandeng tangan gadis lain?
Bahkan wanita setegar Ara--yang perasaannya seringkali dipermainkan oleh Hyunjin--mampu merasakan lelah juga jika melihat hal seperti itu.
Mau bagaimanapun mereka juga manusia. Seorang wanita yang hatinya mudah rapuh hanya karena melihat orang yang disukai berduaan bersama orang lain.
"Ra, lo gak capek apa ngehindar terus dari Mr. Hyunjin?"
Tepat ketika Witri membuka suaranya, lamunan Rheana buyar. Pandangan mata si gadis teralihkan pada sosok Ara yang duduk di sampingnya. Sosok Ara terlihat terseyum kikuk dengan tangan yang mengusap pelan belakang kepalanya.
"Gue capek, tapi gue gak tau lagi apa yang bisa gue lakuin untuk ngebuat dia berhenti."
Rheana mendengus mendengar hal tersebut. "Bilang aja kalau lo mau selesai-in permainan gak berguna ini." si gadis menjeda perkataannya sesaat. "Lagian kenapa lo tiba-tiba ngehindar dia?"
Ara tak merespon. Gadis itu malah mengalihkan fokusnya pada cangkir kopi kosong yang ada di hadapannya. Tatapan si gadis terlihat begitu sayu. Hal tersebut mampu membuat Rheana menebak apa yang sedang dialami oleh temannya ini.
"Biarin aja dah, biarin. Nanti gue bantuin lo lepas dari dia," ujar Jisung, menyuap sesendok ice cream vanilla-nya ke dalam mulut. "Btw Rhe, hubungan lo sama CEO kita gimana?"
Fokus teman-temannya beralih pada Rheana yang kini terlihat menegang karena mendengar pertanyaan yang baru saja dilontarkan oleh Jisung.
Sebenarnya ia tak ingin menceritakan hal ini kepada siapapun, bahkan teman dan kakaknya sendiri. Bagi Rheana, memendamnya seorang diri sudah cukup. Orang lain tak perlu ikut campur.
Tapi tampaknya Rheana tak bisa memendam hal itu lagi. Karena saat ini, teman-temannya telah menatap si gadis dengan ekspresi menuntut.
"Kita... baik-baik aja."
"Tapi gue jarang liat dia bareng sama lo lagi." Rillian berujar. Ditatapnya manik hitam itu tajam.
Memang dari dulu penglihatan Rillian itu tajam. Bahkan mampu menyadari kesalahan sekecil apapun. Mereka semua tak akan pernah bisa berbohong pada gadis yang satu ini.
"Rhe, pasti ada hubungannya sama perempuan yang akhir-akhir ini bareng sama Mr. Yifan, kan?"
Tubuh Rheana semakin menegang. Bibir gadir itu mengatup rapat. Tenggorokkannya seakan tak mampu lagi mengeluarkan suara, seperti ada sesuatu yang menyumbat di dalam sana.
Ah, Lagi-lagi mereka semua harus tau permasalahan Rheana, dan pasti akan berakhir merepotkan mereka. Sama seperti saat hubungannya dengan Felix yang berada di ambang kehancuran.
Miris memang, tetapi Rheana tak akan pernah bisa menjalani hidupnya dengan mudah tanpa ada mereka semua di sisinya. Rheana benar-benar berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah mempertemukannya dengan mereka semua.
"Nggak ada kok, tenang aja. Itu cuma klien dia."
Deya mendengus kemudian berkata, "Client macam apa yang sampe meluk gitu, hm?"
Ahran lantas menyenggol pelan lengan Deya yang duduk disampingnya seraya berbicara tanpa suara terhadap si gadis. Meminta agar Deya tak menambah perasaan sakit di hati Rheana.
Tapi semuanya terlambat. Perasaan Rheana semakin terluka karena mendengar hal itu. Bagaikan luka yang ditaburi garam, rasanya akan semakin perih. Sama halnya yang dirasakan Rheana saat ini.
"Udah ah, gak udah dibahas. Mungkin bener kata Rhea. Itu cuma client dia doang."
"Semoga aja ya." Deya mengulum senyum mirisnya. Sebenarnya saat itu ia melihat hal yang lebih menyakitkan untuk Rheana. Bukan sekedar bergandengan tangan, atau berpelukan.
Hal sama yang dilakukan Hyunjin dan Hyun saat itu.
Rheana menghembuskan nafasnya berat. Hari ini ia harus pulang seorang diri tanpa adanya kehadiran Yifan disampingnya. Bukan berarti Rheana ingin di antar-jemput atau apapun. Ia hanya merindukan sosok Yifan yang bahkan tak pernah ada di dalam ruangan selama jam kerja berlangsung.
Kalaupun ada, itu hanya untuk sesaat. Yifan hanya kembali untuk mengambil sesuatu dan pergi lagi entah kemana. Menghilang begitu saja dari pandangan seperti ditelan bumi.
Dan Luhan? Sama sekali tak ada kabar darinya semenjak Yifan memaksa Luhan untuk pulang lagi.
Sekarang, bagaimana dirinya bisa mengembalikan mood lagi? Teman-temannya tidak memiliki waktu yang cukup untuk si gadis karena terlalu sibuk dengan pasangan mereka. Bahkan Ara yang sedang menghindar dari Hyunjin juga harus terpaksa pulang dengan Jisung agar pemuda bermarga Hwang itu tak memiliki waktu untuk menganggu Ara.
Rheana juga tak memiliki teman laki-laki lain seperti halnya Ara yang masih memiliki Han Jisung. Iya hanya memiliki Yifan, Luhan, dan Darrel. Sedangkan sekarang, ketiga orang itu menghilang tiba-tiba.
Rheana? Ia ditinggal sendirian.
Damn. Apa-apaan dengan semua itu? Rasanya tidak adil bagi Rheana, sungguh.
"...."
Langkah Rheana terhenti ketika indera penglihatannya menangkap sosok Yifan yang tengah bersandar di pintu mobil dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung si pemuda.
Rheana mungkin saja akan berlari menghampiri Yifan saat ini dan memeluknya jika saja seorang wanita tak datang menghampiri Yifan serta mencium bibir si pemuda dengan lembut.
Entah untuk yang keberapa kalinya, hati Rheana terasa teriris. Apalagi melihat pemandangan nyata yang saat ini ia lihat.
Si gadis kembali menghela nafas pelan. Ia mencoba untuk menahan air mata yang saat ini mulai keluar dari pelupuk matanya. Namun hasilnya nihil. Seberapa keras ia mencoba, maka air mata itu akan semakin memaksa untuk keluar. Seberapa keras dirinya berusaha untuk tetap tegar, hatinya akan semakin rapuh. Dan seberapa keras gadis itu tidak memikirkannya, maka semuanya akan terulang lagi dan lagi di dalam pikirannya.
Tidak peduli, abaikan, dan tetap tegar adalah hal mustahil untuk dilakukan bagi Rheana saat ini. Siapapun pasti akan seperti itu, percayalah.
"Rhea!!"
Rheana menoleh, dan mendapati sesosok pemuda tengah berdiri di belakangnya. Nafas si pemuda tersengal, pertanda bahwa dia baru saja berlari. Si gadis terkekeh pelan--walau air mata masih tetap meluncur dengan deras ke pipinya--melihat sosok itu.
Sosok manis yang tiba-tiba saja menghilang dari hidupnya dan muncul kembali disaat perasaannya tengah berantakan.
Sosok itu berlari kecil menghampirinya, menangkup kedua pipi itu, dan menghampus jejak air mata dengan ibu jarinya. Senyum manis mengembang di wajah si pemuda, mencoba mengatakan jika semuanya akan baik-baik saja selama ada dirinya di sini.
Di detik berikutnya, sosok itu mengacak gemas surai Rheana dengan cengiran khas yanh terlukis di wajahnya. Ia rindu mengacak rambut gadis ini.
"Kenapa kau ada di sini, Lu?" tanya Rheana yang mulai bisa meredakan tangisnya.
"Untuk menjemputmu tentunya. Ayo pulang?" jemari tangan Luhan menggenggam lembut tangan Rheana, membuat si gadis melukiskan senyum miris. Luhan tak peduli dengan senyum miris itu. Ia memilih untuk menarik tangan Rheana pergi dari tempat tersebut. Tapi sebelum ia pergi, pemuda itu menatap sekilas Wu Yifan--yang juga menatapnya--dengan tatapan datar. Bibirnya bergerak pelan, mengucapkan rangkaian kalimat tak bersuara terhatap Yifan yang masih berdiri di tempatnya.
Aku menyesal karena menyerahkannya padamu, Wu Yifan. Aku tak akan pernah memberikannya padamu lagi. Dan jika kau melukai dia untuk kedua kalinya, maka aku akan menghancurkan perusahaanmu.
Aku janji itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro