Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Third

Ting Tong

Bel kamar Rheana yang berbunyi membuat si gadis mau tak mau, niat tak niat, segera membuka pintu kamarnya dan mendapati seseorang tengah berdiri di sana. Dengan setelan T-shirt berwarna putih dengan topi hitam yang ia pakai dan headphone yang melingkari lehernya.

Melihat sosok itu, Rheana kembali mendecak sebal. Lantas menutup kembali pintu kamar tanpa mempersilahkannya untuk masuk ke dalam.

"ANJ--"

Ting Tong Ting Tong

Denting bel kamar si gadis kembali terdengar. Terus berulang-ulang selama Rheana tidak membukakan pintunya untuk orang tersebut.

Di dalam hati Rheana menyesal telah membukakan pintu beberapa menit yang lalu. Jika ia tidak membukakan pintu, kemungkinan besar orang itu tidak akan tahu bahwa dirinya tinggal di apartement tersebut.

"BUKA ANJIR! TEGA LO BUAT GUE JADI GELANDANGAN?!"

DUK! DUK! DUK!

Suara pintu kamarnya apartement-nya yang di ketuk dengan sangat kasar oleh orang itu membuat lampu pada kamar apartement yang ada di sekitar kamar apartement milik Rheana menyala. Di detik berikutnya, semua penghuni yang ada di lantai tersebut keluar.

Ngomong-ngomong, di lantai ini hanya tersedia enam kamar apartement yang jumlahnya pas dengan gadis-gadis asal Indonesia tersebut.

Rillian, Ahran, Witri, Ara, dan Deya menghela nafasnya kasar. Mereka menatap sosok pemuda yang tadi mengetuk pintu kamar Rheana dengan kasar.

Iya, karena dia, tidur mereka terganggu.

"Bang, berisik, bang. Kalau Rheana gak mau bukain pintunya, tidur aja noh di tempatnya Rillian."

Rillian yang namanya disebut mendecakkan lidah sebal. "Kenapa gue coba? Kenapa gak si Ara aja?"

Manik mata Ara langsung melebar. Ia tampak keberatan dengan usulan dari temannya itu. Bagaimana jika nantinya orang berpikiran yang macam-macam tentang mereka?

"Beli kamar apartement-nya aja napadah?" kini giliran Witri yang membuka suara.

Si pemuda tidak menjawab. Ia memilih melepaskan topi yang ia kenakan kemudian merapikan rambutnya sebelum akhirnya menggunakan kembali topi tersebut.

"Yeu, sok cakep lo anjir." Ahran dengan wajah tanpa dosanya segera memukul kepala si pemuda dengan kasar.

Tidak sopan sih sebenarnya karena pemuda itu lebih tua dua tahun dari dia. Tapi yah... begitulah Ahran.

"Emang dasarnya gue cakep," celetuk si pemuda seraya menaik turunkan alisnya, berniat menggoda kelima gadis itu. Dan berakhir dengan mendapatkan tatapan jijik dari mereka berlima.

Darrel Darmawan, kakak dari Rheana Andria, seorang musisi internasional yang tak bisa menetap di satu negara. Itulah si pemuda.

Entah karena kebetulan dirinya ada di Korea, atau karena Darrel memutuskan untuk menetap di Korea karena ada sang adik disini, tidak ada yang tahu pasti alasannya. Darrel ini bukanlah tipe orang yang mudah ditebak jalan pikirnya. Ia juga sering berpindah-pindah daerah atau bahkan negara sekalipun karena pekerjaannya sebagai musisi internasional.

Rheana sebenarnya sempat heran dengan kakaknya yang satu ini. Kenapa Darrel tidak memilih pekerjaan yang tidak merepotkan seperti itu?

Menjadi seorang dokter contohnya. Mengingat dahulu Darrel pernah mengambil jurusan kedokteran saat kuliah.

Yah, mungkin bukan takdir Darrel menjadi seorang dokter sih.

Karena Darrel memiliki phobia terhadap darah.

Brak!

Tepat saat Ara ingin membuka suaranya, Rheana membuka pintu kamar dengan kasar. Gadis itu menatap sang kakak dengan datar sebelum akhirnya melirik ke dalam, mengisyaratkan agar sang kakak masuk dan tidak mempermalukan dirinya lagi di hadapan teman-teman Rheana.

Seolah mengerti apa yang dimaksud Rheana, senyum lebar Darrel mengembang. Ia mengacak rambut si gadis sesaat sebelum akhirnya masuk ke dalam apartement Rheana dengan tidak tahu malunya.

"Lain kali gak usah nampung dia, guys. Biarin aja jadi gelandangan. Duit banyak, tapi gak di pake buat apaan?" decih Rheana kesal, membuat teman-temannya terkekeh.

"Btw, Rhe, kenapa hp lo dimatiin? Padahal tadi gue mau ngajak lo makan diluar sama yang lain."

Rheana tampak memutar bola matanya. Sudah dipastikan hari ini mereka berlima bersenang-senang tanpa dirinya. Mengingat seberapa sering kelima temannya ini menghabiskan uang hanya untuk hangout bersama.

"Gue sibuk."

"Sibuk ketemu sama orang yang waktu itu ketemu di bandara, ya?"

"Ya gitu. Tepatnya dipaksa ketemu, sih. Udah ya, gue balik masuk dulu. Si sesat manggil."

Mereka hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku Rheana yang sebenarnya labil itu.

Esok hari, karena mereka akan bekerja minggu depan, keenam gadis itu memutuskan untuk berkumpul di kamar apartement Adara Dheandra dan menceritakan segala sesuatu yang bisa diceritakan.

Si pemilik kamar tampak mengerang frustasi di kamar apartement-nya. Tubuh si gadis berguling-guling di lantai dingin.

Rilliana Al-fira menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan tingkah laku teman masa SMK nya ini. Ia merasa tak ada yang salah dengan hidup mereka selama beberapa hari kebelakang, tapi Ara telihat terbebani dengan suatu hal yang tidak ia ketahui. Ingin bertanya, namun di urungkan karena ia tahu, Ara tidak akan pernah menjawab pertanyaannya jika gadis itu sedang dalam mode frustasi.

Begitu pula dengan keempat orang lainnya. Semenjak Ara keluar dari ruangan Direktur Personalia itu, mereka melihat gurat keresahan di ekspresi wajah si gadis. Padahal sebelumnya, mereka tidak memiliki sedikitpun masalah ketika interview.

"Kenapa sih, Ra?" Rheana yang kesal melihat tingkah laku aneh dari Ara pun memutuskan untuk bertanya. Ia menopang pipinya dengan tangan kanan dan melihat intens temannya itu.

Rheana benar-benar lelah melihat Ara yang mengerang frustasi dan bertingkan abnormal seperti itu.

"RHEANAAAA, BANTUIN GUEEE!!"

"HAH?!" tentu si pemilik nama terkejut. Tanpa ia tahu permasalahannya, Ara meminta tolong kepadanya begitu saja. Ah, bukan itu yang membuatnya terkejut. Melainkan teriakkan dari seorang Adara Dheandra. "Apaan sih lo teh?" tetapi di detik berikutnya si gadis sudah bisa menetralkan perasaan terkejutnya.

"Yakali gue harus tinggal barengan sama Hwang Hyunjin kalau mau masuk ke perusahan dengan gampang?"

Kening Rheana mengerut. Lalu apa salahnya dari itu?

Ting!

Baru saja Rheana ingin membuka suaranya, denting ponselnya membuat gadis itu mengurungkan niat. Rheana mengambil ponsel, dan kembali melihat nama Xi Luhan pada notifikasi di layar ponselnya.

Mengganggu, itulah yang dipikirkan oleh Rheana. Jujur, ia tak pernah menyukai seseorang yang mengganggu waktu luang bersama teman-temannya.

Ting!

Rheana berniat tidak membalas, tapi dentingan ponsel yang kembali berbunyi membuat Rheana terpaksa membuka room chat-nya bersama Luhan.

Xi Luhan
Online

Sudah makan?
Aku bawakan sesuatu untukmu. Turunlah dari apartement mu.
Aku menunggu di bawah.

Sir, saya tidak memintanya.
Lebih baik anda pulang dan beristirahat.

Tidak sebelum kau menemuiku.

Rheana kembali mendecak. Gadis itu mengambil tas selempang merahnya dari atas sofa yang ada di ruang tengah dan beranjak dari apartement Ara untuk menemui Luhan yang telah menunggu dibawah.

Melihat tingkah dari Rheana tentunya membuat lima penghuni yang ada di sana keheranan. Mereka melihat punggung Rheana yang perlahan menghilang dari pandangan tanpa berniat bertanya apapun pada si gadis.

"Lah? Rere kemana?" Darrel yang baru saja keluar dari kamar mandi menatap kelima gadis itu lama. Keningnya berkerut, tanda keheranan.

Ahran mengedikkan bahunya tak tahu. "Keluar. Gak tau kemana. Kayaknya, sih, ketemu sama orang yang ngobrol sama dia di bandara."

"Cewek atau cowok?"

"Cewek mana tahan ngajak Rheana ngobrol gitu. Dia 'kan orangnya tukang ngacangin," nyinyir Ara yang segera mendapat pukulan kencang dari Darrel yang notabene-nya kakak dari Rheana.

"Kalau gitu, lo bukan cewek berarti."

"Perlu bukti?"

"Eh anjing, udah woi." Rillian yang memang sudah tahu kemana topik obrolan Darrel dan Ara akan menjurus kemana segera menghentikan pertengkaran mereka. "Gak usah dipikirin. Rhea udah gede, bukan bocah ingusan yang harus dijaga terus," sambungnya seraya melirik Darrel yang sudah memasang wajah masam karena kesal dengan sindiran Rillian yang tepat mengenai hatinya.

Dilain sisi, Rheana tampak berdiri di hadapan pemuda pemilik nama lengkap Xi Luhan ini. Helaan nafas tampak ia hembuskan kala Luhan memberikannya sepaket kotak makanan.

Dibuang pun sayang.

Karena isinya adalah makanan yang ia sukai.

Hei, darimana pemuda itu tahu makanan yang ia sukai?

"Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku tahu makanan kesukaanmu, bukan?" Luhan terkekeh melihat Rheana yang tampak terheran-heran dengan isi dari kotak makanan tersebut. "Itu mudah saja bagiku, honey. Makan ya? Jangan sampai sakit," tuturnya diiringi dengan tangan yang mengacak-acak puncak kepala si gadis.

Rheana luluh diperlakukan seperti itu?








































































Jawabannya tidak.

Sebanyak apapun perhatian yang diberikan Luhan padanya, semua itu akan sia-sia. Karena bagi Rheana, hal seperti ini tak perlu dimasukkan ke dalam hati.

Bahaya juga jika dirinya terjerat perlakuan manis Luhan, dan berakhir dengan menyukainya.

Rheana tidak ingin ditinggal lagi saat sedang sayang-sayangnya. Itu menyakitkan, sungguh.

"Terima kasih, Mr. Luhan. Aku menghargainya, tapi lebih baik anda pedulikan diri anda sendiri," jelas Rheana kemudian seraya menepis tangan si pemuda yang sedaritadi mengacak surai hitamnya. "Dan lain kali, anda tidak perlu repot membelikkan saya makanan. Saya makan dengan baik," sambungnya. Membungkukkan tubuh sedikit, sebelum akhirnya pergi dari tempat tersebut begitu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro