Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sixth

Hanya duduk diam selama lebih dari lima belas menit bukanlah kesukaan Rheana. Ia benar-benar tidak menyukai suasana canggung seperti yang ia rasakan saat ini. Sudah lima belas menit berlalu semenjak mereka duduk di salah satu meja yang ada di caffe tersebut, tetapi Luhan tak kunjung membuka suaranya. Malah, ia terlalu fokus kepada layar ponselnya.

Tentu hal itu juga lah yang membuat Rheana harus menahan semua kalimat menyakitkannya untuk di keluarkan.

Ayolah, semua gadis pasti akan merasakan hal yang sama seperti apa yang dirasakan oleh Rheana.

Walaupun mereka tidak memiliki hubungan serius, tapi tetap saja hal seperti ini yang membuatnya kesal. Jika tahu hal ini akan terjadi, ia lebih memutuskan untuk kembali ke apartement dan mengerjakan apa yang CEO-nya perintahkan kepadanya tadi.

Lupakan tentang itu.

Karena jujur, Rheana sama sekali tak ingin mengingat wajah sang CEO yang teramat menyebalkan dan segala sikap dingin serta arogannya itu.

Hell! Mati saja!

"Luhan, makananmu akan dingin," tutur Rheana seraya melirik sepiring chicken steak yang terlihat mulai mendingin.

Luhan tak memberikan respon lebih terhadap Rheana. Pemuda itu hanya berdehem pelan sedangkan kedua matanya masih tetap tertuju pada layar ponsel yang Rheana sendiri tak tahu apa isinya.

"Katanya kau akan menceritakan semuanya padaku."

Tak ada lagi respon dari Luhan.

Oke, kesabaran Rheana sudah habis.

Ia tak bisa lagi berada di sini untuk kedepannya. Ia harus kembali ke apartement, atau tidak sesuatu yang buruk akan keluar dari bibirnya.

"Luhan-ssi." Rheana kembali memanggil nama si pemuda. Namun kali ini disertai dengan penekanan nada pada panggilannya. Wajah lembut yang sedaritadi ia perlihatkan telah hilang, digantikan dengan wajah datar yang sama saat pertama kali mereka berdua bertemu.

Atau mungkin lebih datar dari itu.

"Aku mengerti jika kau tidak ingin menceritakannya, itu tak masalah denganku karena aku juga tidak berhak ikut campur dalam masalah pribadimu. Tapi pantaskah kau mengabaikan kehadiranku di sini?"

Lihatlah, kebiasaan buruknya muncul lagi. Atau mungkin lebih parah dari yang dulu. Karena biasanya, Rheana hanya akan berbicara singkat namun menusuk.

"Bukan berarti aku ingin kau menghargai perasaanku, sungguh. Aku hanya merasa berada di sini hanya membuang waktu ku saja," sambung Rheana. Gadis itu hendak mengambil tas selempang kesukaannya, namun tertahan karena Luhan yang lebih dulu menggenggam pergelangan tangan si gadis.

Tatapan sendu si pemuda perlihatkan kepadanya, membuat gadis itu kembali menghela nafas dan mengurungkan niat untuk pergi.

Oke, Luhan butuh waktu. Rheana juga tidak peduli lagi berapa lama kecanggungan ini akan berlangsung. Ia lelah. Maka dari itu, Rheana memilih untuk kembali diam dan menyeruput  Cappucino Ice-nya yang telah mencair.

"Aku akan menceritakannya."

Uhuk!

Rheana tersedak minumannya sendiri kala mendengar penuturan dari Luhan yang begitu tiba-tiba. Baiklah, ini menyebalkan. Rheana tak pernah berpikir Luhan akan secepat ini menceritakan masalah pribadinya sendiri. Walaupun sebenarnya Rheana telah berharap hal seperti ini terjadi karena ia telah lelah menunggu.

Menurut Rheana, bergelung di bawah selimut tebal di ruangan ber-AC seraya membaca wattpad ataupun melakukan kegiatan seperti memrogramkan sesuatu lebih menyenangkan daripada harus duduk diam selama berjam-jam tanpa adanya pembicaraan sedikitpun.

"Aku...." Luhan tampak menghela nafasnya. Pemuda itu mengusap pelan rambut hitam legamnya pelan, terlihat seperti orang yang telah kehabisan ide. "Aku dijodohkan."

"Hm... lalu?"

Seperti biasa, tak ada ekspresi terkejut ataupun reaksi heboh dari si gadis. Ia hanya duduk menyimak seraya melanjutkan kegiatan menyeruput minumannya.

"Aku tak ingin dijodohkan. Ini... menyakiti hatiku."

Sebelah alis Rheana terangkat. "Kenapa? Bukankah bagus? Setidaknya kau bisa mendapatkan ahli waris dari wanita unggul yang telah dipilihkan orangtuamu."

Percayalah, curhat kepada seorang Rheana Andria tidak akan meringankan masalah kalian. Ia hanya akan memberikan pertanyaan demi pertanyaan yang akan membuat kalian berpikir lebih banyak lagi.

Aneh memang, tapi begitulah faktanya.

Toh bagi Rheana, ia hanya perlu menyadarkan orang tersebut, dan mandiri dalam menyelesaikan masalahnya. Walaupun pasti akhirnya ia akan ikut serta menyelesaikan masalah dari orang yang curhat padanya setelah orang itu tak sanggup lagi menyelesaikan sendirian.

Tak perlu ditanya lagi. Dia memang aneh, percayalah.

"Masalahnya..., aku telah memiliki seseorang yang mengisi hatiku. Aku menyukainya. Ah, tidak. Mungkin mencintainya? Entahlah. Intinya, aku tidak ingin kehilangan dia."

Rheana menghela nafas. Gelas yang tadi ia pegang kembali diletakkan pada permukaan meja. Manik hitamnya menatap dalam manik kecokelatan milik Luhan. "Apa dia mencintaimu juga, eh?"

Luhan menggelengkan kepalanya. Bukan tidak, tapi ia tak tahu pasti orang tersebut memiliki perasaan yang sama terhadapnya atau tidak. Melihat tingkah laku dari orang yang dimaksud oleh Luhan benar-benar membuat si pemuda bingung sekaligus bimbang.

Iya, dia bimbang terhadap perasaannya.

Ia bimbang menentukan pilihan yang pasti.

Tetap mencintainya atau memilih untuk mundur secara teratur.

"Kalau begitu, lupakan dan menikahlah dengan gadis pilihan orangtuamu."

"Kau tidak mengerti perasaanku, Rhe," ringis Luhan. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman miris. "Bagaimana rasanya hatiku saat mengetahui jika aku dijodohkan dengan gadis lain saat hati ini telah di isi oleh seseorang, itu menyakitkan."

"Aku memang tak mengerti. Dan tak akan pernah mengerti, Lu. Kau tahu? Aku tak pernah merasakan perasaan itu lagi saat si keparat pergi meninggalkanku."

Si keparat.

Oke, baiklah.

Keparat yang Rheana maksud itu... mungkinkah Felix Saputra yang sebelumnya pernah disebutkan namanya oleh Ara?

"Si keparat?" Luhan yang memang pada dasarnya selalu penasaran akan apa yang ada di sekelilingnya mulai bertanya. Pemuda tersebut melupakan sesaat masalah yang ia alami dan berfokus pada si keparat yang dimaksud oleh Rheana tadi.

Rheana menggelengkan kepalaya kecil. Senyum tipisnya terbentuk. "Tak ada. Lupakan apa yang kukatakan. Ngomong-ngomong, siapa nama gadis yang akan dijodohkan denganmu?"

Raut wajah Luhan tampak kecewa begitu mendengar Rheana kembali berucap. Bukan jawaban yang diharapkannya, melainkan sebuah pertanyaan yang selalu ingin ia hindari.

Ah, mengungkap masa lalu Rheana memang sulit. Gadis itu tak akan mungkin memberikan kepercayaannya begitu saja terhadap seorang lelaki. Terutama laki-laki yang baru bertemu dengannya selama satu minggu ini.

"Dilraba Dilmurat."

Dilraba Dilmurat.

Nama itu yang selalu muncul di pikiran Rheana. Entah itu saat di perjalanan menuju apartement-nya sampai si gadis berdiri di depan pintu apartement-nya.

Rasanya ia pernah mendengar seseorang menyebutkan nama itu selain Xi Luhan. Salah satu temannya, itu pasti. Tapi, Rheana tak bisa mengingat siapa yang menyebutkan nama itu di antara kelima temannya.

Karena mereka berlima sama-sama menyukai orang-orang dari negeri lain walaupun sebenarnya mereka masih mencintai laki-laki lokal, termasuk dirinya.

Selain itu, dirinya masih tetap berdiri di depan pintu apartement. Hal itu dikarenakan si gadis yang mendengar kakak laki-lakinya tengah berbicara dengan seseorang di dalam sana.

Rheana tak tahu pasti siapa pemilik suara laki-laki itu, tetapi Rheana tak ingin mengganggu waktu mengobrol mereka berdua walau kenyataannya apartement tersebut adalah miliknya.

"Lho, Rhe? Gak masuk lo?"

Ara tampak menghampiri Rheana dengan dua orang laki-laki yang mengekorinya. Rheana tahu siapa mereka berdua. Pastinya Sam dan Jinnan yang tak lain adalah saudara dari si gadis.

"Mau masuk, sih. Tapi gak enak aja gitu sama bang Darrel yang lagi ngobrol di dalem."

Ara memasang wajah tanpa ekspresinya. Entahlah, Ara sendiri heran dengan temannya yang satu ini. Kenapa si pemilik apartement  harus takut mengganggu orang yang hanya menumpang saja?

Cklek

Lucky!

Pintu apartement dibuka oleh Darrel. Di detik berikutnya, pemuda tersebut berjalan keluar diikuti dengan seorang pemuda dibelakangnya.

Darrel tampak sedikit panik kala melihat sang adik yang berdiam diri di depan. Walaupun ekspresi wajah Rheana terlihat tidak menampakkan perasaan kesalnya, si pemuda yakin bahwa adiknya ini tengah mencoba menahan amarahnya.

Pada kenyataannya, Rheana memang mencoba menahan amarahnya.

Bukan karena Darrel yang seenaknya membawa seseorang ke dalam apartement, melainkan karena melihat sosok yang sebenarnya tak ingin ia temui untuk satu hari ini ataupun selamanya.

Sosok yang selama lima jam lebih memerintahkannya untuk melakukan ini-itu walaupun sebenarnya hari ini masihlah hari bebas untuk karyawan baru.

Rheana tuh nggak bisa diginiin.

Oke, salah narasi.

Lupakan.

"Selamat malam, Mr. Yifan," sahut Ara dari balik punggung Rheana. Gadis itu tersenyum lebar ke arah pemuda yang dipanggilnya Yifan ini seraya melambai-lambaikan tangannya.

Yifan tidak menjawab. Ia hanya memberikan senyum tipis pada pegawainya itu sebelum akhirnya kembali melihat Rheana.

"Kau kemana saja?" tanyanya, datar. Bahkan terkesan dingin.

Orang datar bertemu dengan orang datar. Siap, kecanggungan tak akan bisa dipungkiri lagi.

"Apa urusan anda?"

Lihat?

Bahkan Darrel sudah menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah dan beringsut mendekati Ara kemudian meletakkan tangan kanannya pada pundak kiri si gadis dan bersandar di sana. Hal ini tentunya membuat seorang Adara Rheandra menatap aneh ke arah Darrel yang mencuri kesempatan dalam kesempitan.

Ara dengan cepat menyingkir dari samping Darrel, membuat si pemuda jatuh tersungkur di lantai dingin dengan tidak elite-nya. Dia, Sam, bahkan Jinnan terlihat menertawakan kekonyolan Derrel selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali diam.

"Gue balik ya. Bang, cari pacar aja sana. Ngenes hidup lo. Dan Rhea, kalau ngomong sama atasan di filter dikit, ya? Dipecat mampus lo. Jangan sampai bertengkar ya sayang-sayangku. Daahh~"

Siapapun yang bisa, tolong rukiyah Adara Dheandra agar dia kembali normal :')

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro