Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Second

Tuk Tuk Tuk

Suara ketukan pada meja terdengar. Hal ini dikarenakan Rheana yang mengetuk-ngetuk meja dengan bosan. Pandangan wajah si gadis tak beralih sedikitpun dari luar jendela. Rheana bahkan tak mengacuhkan sosok pemuda yang sedaritadi duduk canggung di hadapannya. Gadis ini juga tidak berniat untuk membuka pembicaraan sedikitpun.

Beberapa suara bisikkan tentangnya yang dapat ia dengar pun tidak ia acuhkan. Karena sekali lagi, Rheana tidak pernah peduli dengan hal itu. Terkecuali seseorang datang padanya dan marah-marah ataupun menegurnya, Rheana baru akan memikirkan hal tersebut sampai tidak bisa tidur.

Iya, dia memang seperti itu.

"Err, canggung, ya?" si pemuda membuka suaranya, membuat atensi si gadis teralihkan padanya.

Kening si gadis mengerut. Ia mengedikkan bahunya tidak acuh, dan segera kembali melihat keluar jendela yang sebenarnya tidak memiliki daya tarik sedikitpun.

Bukan berarti Rheana sok jual mahal atau apalah itu, dia hanya sedang mencoba mengembalikkan mood-nya yang anjlok akibat beberapa gangguan yang terjadi dihidupnya. Maka dari itu, Rheana memilih melihat keluar jendela daripada harus melihat wajah Xi Luhan yang bisa saja membuat mood-nya semakin anjlok. Karena sungguh, di dalam hatinya yang paling dalam, ia tak pernah ingin mengucapkan hal yang menyakitkan pada orang yang baru saja ia temui.

Kalau kata Ara, kesan pertama itu harus baik.

Tapi yah... memangnya kesan pertama Rheana di mata pemuda itu sudah baik? Mengingat seberapa kejamnya ia mengucapkan kalimat itu pada si pemuda.

Lagi-lagi si pemuda melukiskan senyum manisnya--yang mungkin mampu meluluhkan semua gadis yang melihat hal tersebut--untuk Rheana, mencoba membuat mood si gadis kembali membaik. Namun tampaknya, hal itu tak ada gunanya karena Rheana tetap tidak mengalihkan fokusnya dari luar jendela.

Ini sulit, pikir Luhan miris karena Rheana satu-satunya gadis yang membingungkan bagi Luhan.

Bisa ditebak bukan kalau Luhan mampu meluluhkan semua gadis di dunia dengan mudahnya?

Memang gadis mana yang akan menolak pesona dan seluruh kekayaannya?

Gadis bodoh sekalipun akan berpikir dua kali jika ingin menolak Xi Luhan yang tak lain adalah CEO dari ACE Company, perusahaan yang tingkatannya lebih rendah satu level dari Daylen Company.

Ya, gadis bodoh pun tak akan menolaknya.

Terkecuali gadis itu memiliki gangguan pada otaknya sehingga tidak tertarik sedikitpun dengan pesona pemuda tersebut.

Damn, ayolah! Rheana tidak semurah itu. Yang akan langsung takluk hanya dengan kedipan mata. Sama seperti Adara Dheandra, Rheana bukanlah tipe gadis yang mudah terjebak dalam pesona seseorang. Karena masa lalu sudah membuatnya sadar.

"Baiklah, tidak ada yang perlu dikatakan, bukan? Kalau begitu, saya pamit--"

Baru saja Rheana hendak mengambil tas kecilnya, jemari tangan Luhan telah menggenggam pergelangan tangan si gadis, sangat erat. Hal itu tentu membuat Rheana sedikit ragu untuk meninggalkan tempat tersebut.

"Temani aku. Sebentar saja."

Kening Rheana sedikit berkerut. Sebenarnya ia tidak keberatan menemani Luhan, tetapi lama-lama menemani tanpa adanya pembicaraan pastinya akan sangat membosankan. Itu pasti. Terutama saat ini tak ada teman-temannya yang lain. Pasti akan terasa membosankan.

Iya, Rheana tidak terbiasa tanpa adanya canda mereka berlima. Walaupun terkadang mereka tak kalah menyebalkan dari kakaknya, Darrel Darmawan.

Ngomong-ngomong, Rheana merindukan celotehan Darrel. Dimana dia sekarang?

"Tak apa 'kan jika aku memintamu menemaniku?" Luhan tampak risih ketika melihat ekspresi datar si gadis dan merasakan aura suram yang kentara dari gadis itu.

"Hanya setengah jam. Setelah itu, saya akan pulang. Dan saya harap, anda tidak menghubungi saya lagi."

Luhan terdiam. Ia terlihat keberatan dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Rheana. Jujur saja, ia tidak bisa melakukan itu. Tidak terhadap Rheana.

Karena di dalam hati kecilnya, ia tertarik dengan Rheana. Tentang Rheana yang tidak memandangnya seperti gadis kebanyakan, dan tentang Rheana yang selalu memasang ekspresi datar terhadap lelaki yang baru saja dikenalinya.

"Itu bukan pertanyaan, Mr. Luhan, tapi pernyataan. Anda tidak perlu memikirkan jawabannya," sambung Rheana kala mata hitam legamnya menangkap gurat tak nyaman pada wajah si pemuda.

"Itu tak bisa kulakukan," ungkap Luhan seraya memperbaiki posisi duduknya.

"Kenapa?" masih dengan wajah tanpa ekspresi, Rheana mengambil gelas berisi Caramel Macchiato yang dipesannya tadi. Gadis itu bahkan tidak peduli terhadap Luhan yang telah menatapnya lekat-lekat.

"Karena... tidak bisa?"

Mendengar ucapan aneh yang dilontarkan oleh Luhan membuat si gadis memutar bola matanya pelan. Ia tidak menjawab, memilih untuk menyesap minumannya.

Hening sejenak.

"Ngomong-ngomong, tidak akan ada yang marah 'kan jika kau menemaniku di sini? Ku lihat tadi kau ingin lekas pergi dariku."

Uhuk!

Ucapan Luhan sangat tiba-tiba, sungguh. Lihatlah ekspresi Rheana yang kesakitan saat gadis itu tersedak minumannya sendiri.

"E-eh!" Luhan panik. Dikeluarkannya sapu tangan dari saku jaket yang ia kenakan, pemuda itu segera membersihkan noda Caramel Macchiato pada bibir Rheana, membuat si gadis merengut pelan. "Sekali lagi, maafkan aku!"

Ah, dia mulai meminta maaf lagi.

"Tak perlu meminta maaf," ucap Rheana disela-sela batuknya. Gadis itu menghela nafas pelan seraya mengambil sapu tangan dari pemuda tersebut. Senyum tipisnya menyembang, sangat tipis. Bahkan nyaris tak telihat jika saja Luhan tidak mengamati wajah Rheana dengan seksama.

Manis, pikir Luhan, tepat ketika manik matanya menangkap senyuman tipis yang Rheana kembangkan.

Iya, manis. Walaupun hanya sebuah senyum tipis.

Lagipula Ara pernah bilang, bukan? Rheana akan sangat manis jika saja gadis itu menambahkan sebuah senyuman di ekspresinya. Sayangnya, hal itu selalu ditepis oleh Rheana, dan berakhir dengan si gadis yang selalu memasang ekspresi datar tak bersahabat.

Berbeda dengan teman-temannya yang selalu memasang ekspresi sedemikian rupa--termasuk Ara yang notabene-nya adalah gadis dingin di sekolah.

"Ini juga bukan salah anda," sambung Rheana dan memasukkan sapu tangan tersebut kedalam tas kecil yang selalu ia bawa kemanapun. "Akan saya cuci. Nanti saya kembalikan."

"Jadi, aku boleh menghubungimu kapanpun?"

"Tidak."

Jawaban telak yang diberikan Rheana sukses membuat Luhan mengembangkan senyum manisnya entah untuk yang keberapa kali.

Di detik berikutnya, si pemuda menopang dagu dengan salah satu tangannya dan menatap intens sosok gadis yang saat ini sudak sibuk meminum Caramel Macchiato.

Tanpa mereka berdua sadari, sepasang mata setajam elang tengah memperhatikan mereka dari sudut ruangan tersebut, menatap Xi Luhan dengan pandangan tak suka.

Rheana Andria menatap mobil sport hitam yang perlahan meninggalkan apartement-nya itu. Lambaian tangan ia berikan kepada sosok Luhan yang baru saja mengantarnya dengan selamat sampai ke tempat tinggal si gadis.

Awalnya Rheana menolak tawaran Luhan karena merasa tak enak merepotkan pemuda itu terus menerus, tetapi karena Luhan memaksa, Rheana memilih untuk menerimanya. Lagipula tidak baik berdebat dengan orang keras kepala seperti pemuda itu. Yang ada, tenaganya akan terkuras habis.

Rheana melangkahkan kakinya secara perlahan, melewati lorong apartement dan sesekali mengintip kamar apartement teman-temannya yang terlihat telah gelap, menandakan bahwa si penghuni telah terlelap dalam mimpi.

Atau bahkan masih bersenang-senang di luar rumah tanpa mengajak Rheana.

Ah, tidak. Bukannya tidak mengajak. Lebih tepatnya, Rheana yang mematikan ponselnya hanya untuk menghindari pertanyaan betubi-tubi yang akan dikirimkan mereka berlima via chat.

Tepat setelah memasuki kamar apartement-nya, Rheana segera melempar tas kesembarang arah dan mengganti pakaian yang terasa tidak nyaman lagi di tubuhnya.

Ting!

Denting ponsel Rheana membuat gadis yang baru saja selesai berpakaian itu menoleh. Ia beralih menghampiri tas yang tergeletak dengan sembarangan dan mengambil ponsel dari dalam sana.

Nama Xi Luhan tertulis begitu jelas di layar ponsel, beserta dengan sebuah pesan singkat yang ditulisnya.

Xi Luhan: Pastikan kau beristirahat dengan cukup. Aku tahu kau lelah.
Xi Luhan: Dan jangan pergi kemanapun lagi karena hari sudah larut.

Pesan yang dikirimkan oleh Luhan membuat si gadis mendecak pelan. Ia sudah memastikan jika Luhan tidak akan pernah mengiriminya pesan apapun lagi, tapi tampaknya ekspektasi tak pernah seindah realita.

Tanpa membalas pesan tersebut, Rheana segera beralih duduk di atas kasur empuknya--yang beberapa jam ini tak ia tempati.

Namun--

Ting Tong

--Belum sempat ia merebahkan diri pada kasur itu, bel kamarnya kembali berbunyi--membuat sang empunya mendecak kesal.

Mau tak mau, niat tak niat, si gadis segera membuka pintu kamarnya dan mendapati seseorang tengah berdiri di sana. Dengan setelan T-shirt berwarna putih dengan topi hitam yang ia pakai dan headphone yang melingkari lehernya.

Melihat sosok itu, Rheana kembali mendecak sebal. Lantas menutup kembali pintu kamar tanpa mempersilahkannya untuk masuk ke dalam.

"ANJ--"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro