Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fifth

"Btw, kabar Felix gimana?"

Rheana terdiam. Mimik wajah si gadis terlihat menegang kala mendengar nama pemuda itu disebut. Ia menoleh, menatap ke arah Ara yang sedang memasang ekspresi tanpa dosanya.

Apa Ara tidak mendengar lagi apa yang diucapkan Rheana saat itu? Tentang dirinya tak ingin mendengar nama si pemuda lagi.

"Dibilangin jangan bahas lagi!" Rillian segera mencubit pelan lengan Ara kala menangkap mimik wajah Rheana yang mulai menegang.

Rheana tersenyum miris, lantas duduk kembali di samping Rillian dan mulai menyantap makanannya yang baru saja diantarkan tadi.

Biarlah Ara penasaran dengan kabar dari Felix, karena Rheana tak pernah ingin mengungkap lagi tentang pemuda bernama lengkap Felix Saputra tersebut. Hatinya sangat sakit setiap kali mendengar nama pemuda itu, sungguh.

"Felix? Felix Saputra? Kak Felix? Kalian kenal?" Sam yang masih setia di seberang sana mulai membuka suaranya kembali. Pemuda itu tampak mengerutkan keningnya heran karena keenam gadis itu kenal dengan kakak tingkatnya yang terkenal akan kelakuan buruknya. "Kok bisa kenal sih?" pemuda itu semakin mengerutkan keningnya kala melihat mereka tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Kalau boleh jujur, Sam kesal. Benar-benar kesal. Disetiap kali Sam mendengar nama Felix, rasanya ia ingin melakukan sesuatu terhadap pemuda itu. Seperti menjadikan Felix tumbal contohnya.

Kenapa? Karena Sam pernah memiliki kenangan buruk dengan Felix, dan ia tak ingin keenam gadis itu mendapatkan kenangan buruk yang sama seperti Sam.

Tapi sayangnya, hal itu sudah terjadi. Jauh sebelum Sam mengenal Felix.

"Mbak, kalau kalian semua kenal sama kak Felix, gue mau kalian jauhin dia. Gue gak mau kalian kenapa-napa," celetuk Sam seraya mendekatkan wajahnya pada layar ponsel.

"Ya udah, gak usah dibahas. Ngomong-ngomong, lo di mana sekarang? Di dalem pesa--"

"Iya, gue mau ke Korea."

Aktivitas Rheana tehenti saat mendengar Sam ingin pergi ke Korea. Manik matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya gadis itu kembali larut menyantap makanannya.

Hingga beberapa menit kemudian, suara lemparan ponsel pada permukaan meja membuat Rheana kembali mendongakkan kepalanya. Rheana mendengkus, menatap tak suka ke arah Hwang Hyunjin yang tengah berbicara dengan salah satu teman masa SMK-nya.

Iya tahu sebuah drama pasti akan terjadi diantara mereka. Konyol sekali memang saat orang sedingin Adara Dheandra menerima tantangan yang diberikan oleh Ditektur Personalia itu, tapi itulah kenyataannya. Rheana bahkan tak pernah menduga hal seperti ini akan terjadi walau terkadang firasatnya selalu tepat.

Rheana kembali mengalihkan pandangannya pada seorang gadis yang berlari kecil ke arah Hyunjin. Di detik berikutnya, gadis itu menggenggam jemari si pemuda dan mengatakan sesuatu terhadapnya. Pandangan Rheana tertuju pada tautan jemari mereka, di mana Hyunjin juga balas menggenggam jemari si gadis.

Ah, Rheana curiga terhadap mereka. Entah saat ini, ataupun saat di atas podium, sikap mereka berdua benar-benar aneh. Seakan-akan mereka menyembunyikan sebuah hubungan kepada orang lain.

Sebenarnya Rheana ingin mengatakan semua kecurigaannya terhadap Ara, tapi... ia tak ingin bahwa Ara menganggap dirinya seolah-olah tahu dengan segala sesuatu. Maka dari itu, Rheana memilih untuk diam menyimak semua jalan hidup teman-temannya.

Bukannya tidak ingin membantu. Rheana hanya ragu.

"Lo semua ngerasa aneh gak sih?" tepat saat Ara, Hyunjin, dan Hyun pergi dari tempat tersebut, Witri mulai membuka suaranya. Tatapan gadis itu tetap terfokus pada Ara yang tengah berjalan menuju toilet terdekat.

"Maksud lo?" dan Ahran yang mendengarnya malah balik bertanya.

"Hyunjin nantangin Ara kayak gitu, tapi dia nggak nantangin kita apapun. Bukannya aneh, ya?"

Semua diam, membiarkan keheningan menguasai tempat mereka berkumpul.

"Kita pantau aja dulu," ringis Rheana, pasrah.

"...."

Rheana terdiam, menatap seorang pemuda yang berdiri dihadapannya. Pemuda itu tampak melirik ke arah lain seraya mengulum bibirnya sendiri.

Di dalam hati, pemuda itu mengutuki dirinya sendiri karena harus bertemu dengan Rheana di saat yang tidak tepat seperti ini. Jika ia tidak bertemu dengan Rheana, pemuda itu--Darrel--tak perlu memberikan alasan apapun.

Oh, Tuhan. Ini akan kacau.

"Lo ngapain di sini?" ringis Rheana dengan senyum menahan rasa kesalnya.

Serius, Rheana selalu dibuat kesal setiap kali melihat wajah Darrel yang menurutnya menyebalkan itu.

"Em... ketemu temen?" Darrel beralasan. Pemuda itu menatap ragu Rheana yang kini tengah menatap tajam ke arah Darrel.

"Siapa?" tak bisa dipungkiri, ada nada mengintimidasi di dalam kalimatnya.

Mendengar itu membuat Darrel ciut. Ia semakin menatap ragu ke arah Rheana. Baiklah, katakan saja jika Darrel adalah tipe kakak yang takut terhadap adik karena begitulah kenyataannya. Terutama saat seperti ini, bagi Darrel, Rheana akan berkali-kali lebih menakutkan dari sebelumnya.

"Oh, Hello~ kau pasti yang ingin bertemu dengan dia, kan?" seseorang mencairkan canggungnya suasana. Orang itu merangkul pundak Rheana, dan melambaikan tangannya ke arah Darrel. Hal itu sukses membuat Rheana terdiam seribu bahasa dengan ekspresi yang tak bisa ditebak.

Karena pasalnya, orang itu adalah kepala Administrator dari Daylen company.

Na Jaemin.

"Yeah. Di mana dia?" tanya Darrel yang kini sudah bisa mengatur ekspresinya seperti biasa. Pemuda itu berjalan menghampiri Rheana kemudian menyingkirkan tangan Jaemin yang masih setia bertengger di bahu sang adik.

"Di dalam. Ikut aku," jawab Jaemin. Lantas berjalan berlalu dari tempat tersebut.

Darrel diam sesaat. Atensi-nya beralih pada Rheana yang saat ini sudah menatapnya keheranan. Tangan kanan si pemuda terulur, mengusap puncak kepala Rheana dengan lembut. Jangan lupakan juga senyuman khas seorang kakak yang terlukis di wajah tampannya.

"Cuma urusan bisnis. Lo santai aja. Bisa pulang sendiri, kan? Hati-hati di jalan." Sebelum Darrel benar-benar pergi dari tempat tersebut, ia mencubit pelan pipi kiri Rheana, membuat si gadis mendengkus pelan.

"Urusan bisnis apaan sampe masang ekspresi kayak gitu, eh?" tanya si gadis pada dirinya sendiri.

Tentu pada dirinya sendiri. Karena saat ini, Darrel telah pergi meninggalkannya.

Tin! Tin!

Sebuah mobil berhenti tepat dihadapan Rheana. Hal tersebut tentu membuat si gadis melukiskan senyum tipis. Karena dirinya sudah tahu siapa si pemilik mobil, ia segera masuk dan duduk di sebelah sang pengemudi.

Iya, Xi Luhan.

Siapa lagi kalau bukan dia?

Disaat seperti ini, biasanya mereka berdua akan pergi mencari tempat hanya untuk mengobrol hal-hal yang mereka alami. Ah, tidak. Tepatnya Luhan saja yang menceritakan segala sesuatu tentang kehidupannya dan Rheana hanya menyimak saja.

Well, itu yang beberapa hari lalu mereka lakukan. Tapi tidak dengan sekarang. Wajah Luhan tampak kusut. Jangan lupakan ekspresi wajah yang menyiratkan rasa frustasi yang begitu kentara.

Rheana tahu, ada sesuatu yang terjadi pada pemuda keturunan China ini.

"Ingin mencari tempat makan terlebih dahulu?" tawar Rheana pada si pemuda. Namun, tidak Luhan jawab. Padahal si pemuda sendiri yang menawarkan untuk menjemput Rheana.

Merasa jika dirinya tak akan diacuhkan oleh Luhan, Rheana lebih memilih mengotak-atik ponselnya.

Mencari sebuah tempat nyaman untuk mereka datangi tentunya.

Yah, daripada harus menunggu jawaban Luhan yang tak kunjung datang, lebih baik gadis itu segera memilih sebuah tempat untuk mereka berdua.

"Ingin ke MoMo Cafe dahulu? Kudengar tempatnya bagus."

Tetap tak ada jawaban dari si pemuda, membuat Rheana mendengkus tak suka.

Jujur, ia tidak nyaman dengan segala kecanggungan ini. Apalagi saat bersama dengan sosok yang ceria seperti Luhan.

"Kau dengar aku?"

Hening.

"Ck. Aku turun di sini saja kalau begitu."

Ckiit...

Mobil yang dikendarai oleh Luhan terhenti begitu saja. Si pemuda menatap Rheana dengan kedua mata yang mengerjap tak percaya.

"Kau mengatakan apa barusan?" tanya Luhan saat Rheana hendak membuka pintu mobil.

Tentunya pertanyaan dari Luhan membuat Rheana kebingungan setengah mati. Ia tak mengerti lagi apa yang terjadi pada Luhan hingga membuat si pemuda menjadi sosok yang tak lagi Rheana kenali.

"Aku ingin turun. Memang kenapa?"

"Tidak! Bukan itu maksudku. Ah--maksudku, kenapa kau ingin turun? Aku melakukan sesuatu yang salah?"

Helaan nafas terdengar dari bibir Rheana. Ia kembali mengurungkan niatnya turun dari mobil dan memilih menyenderkan punggungnya pada jok mobil. Si gadis perlahan mengusap pangkal hidungnya, mencoba menghilangkan rasa pening yang mulai terasa di kepalanya.

"Ada apa denganmu sebenarnya? Aku mengajakmu bicara sedaritadi, tapi kau bahkan tidak mengacuhkan aku. Apa aku berbuat salah padamu?" tanya Rheana seraya meringis pelan. Rasa nyeri pada kepalanya semakin menjadi.

Luhan mengusap tengkuk kepalanya, merasa bersalah dengan sikapnya tersebut. "Maafkan aku, sungguh. Aku tidak mendengarkanmu."

"Jadi?"

"Akan kuceritakan saat sampai nanti. Tadi kau ingin kemana? MoMo Cafe? Baiklah." Luhan sesaat mengusap puncak kepala Rheana sebelum akhirnya kembali melajukan mobil menuju tempat yang dimaksud oleh Rheana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro