Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Fifteenth

"Jadi, untuk apa kau ke sini?"

Tatapan mata Rheana sama sekali tak beralih dari mata setajam elang itu. Kedua tangannya sedikit mengepal, mencoba untuk menahan emosi-nya yang siap meledak kapanpun. Bibirnya ia tutup rapat-rapat, menahan agar tak ada untaian kalimat menusuk yang keluar dari sana.

Ah, ini menyakitkan.

Bohong bila Rheana mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan akan segera menyelesaikan semua ini. Faktanya? Ia tidak baik-baik saja. Bibir memang mampu mengatakan hal tersebut dengan mudah, tetapi hati kecil tidak akan bisa dibohongi seberapa keras dia mencoba.

Karena sungguh, hati kecilnya tak pernah rela untuk melepas seorang Wu Yifan. Apalagi untuk seorang wanita semacam Bae Irene yang ia sendiri tidak tahu asal muasalnya.

"Aku ingin bertemu denganmu karena selama ini aku tidak memiliki waktu untuk i--"

"Sudah ku katakan untuk tidak menemuiku lagi, bukan?" dengan nada sarkas, Rheana memutus ucapan Yifan. Bahkan kedua mata si gadis tak lagi memandang manik hitam itu.

"Dengarkan penjelasan--"

"Tidak butuh." Untuk yang kedua kalinya, ia memutus ucapan Yifan. Si gadis mundur beberapa langkah agar jarak di antara mereka semakin menjauh. "Aku tidak butuh itu. Untuk apa kau menjelaskan semuanya jika pada akhirnya.... Kita akan berpisah?"

Tidak.

Bukan itu yang Rheana inginkan.

Bukan itu yang Rheana harapkan.

Ia hanya ingin semuanya kembali lagi ke awal. Di mana saat itu Yifan berhasil membuatnya jatuh cinta. Sungguh, ia tak pernah menyangka bahwa pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirnya. Lancar seperti aliran sungai, tanpa hambatan sedikitpun.

"Tidak." Gurat wajah Yifan menegang. Kini tak ada lagi ekspresi tenang di wajahnya, digantikan dengan ketegangan yang kentara. "Jangan pernah berpikir bahwa kita akan berpisah, Rheana," sambungnya seraya berjalan menghampiri gadis itu sebelum akhirnya menggenggam lembut kedua tangan si gadis.

"Aku tidak ingin kehilanganmu lagi--"

"--Aku tak ingin merasakan perasaan menyakitkan itu lagi. Perasaan di mana aku merindukan kehadiranmu di sisiku."

Rheana tersenyum tipis. Perlahan melepaskan genggaman tangan si pemuda, sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya pelan.

Memang hati kecilnya mengatakan bahwa ia harus tetap mempertahankan hubungan ini, tapi apa yang bisa ia lakukan saat ini selain pasrah terhadap Tuhan yang tengah mengombang-ambingkan hubungannya?

Ia sendiri tak mau ada kata "selamat tinggal" dalam hubungannya, tapi semuanya tak akan kembali lagi seperti dahulu jika sang perusak sendiri masih belum disingkirkan.

Lagipula jika Yifan tak ingin kehilangan Rheana, lantas kenapa ia tidak ikut berjuang bersama gadis itu?

"Aku juga ingin tetap bersamamu, Yifan. Aku juga mencoba untuk memahami keadaanmu. Aku juga sedang meyakinkan diriku sendiri bahwa kau hanya mencintaiku seorang. Tapi, lama-lama aku ragu dengan semua itu. Aku ragu hatimu hanya untukku--"

"--Aku ragu, dengan semua kata cinta yang kau ucapkan padaku. Kita selesai sampai sini."

Hancur sudah hubungan mereka. Rheana lelah berjuang seorang diri. Ia lelah harus tetap bertahan disaat Yifan mengabaikan segala perjuangannya.

Jika perjuangannya tak lagi dihargai, bukankah pantas ia pergi meninggalkannya?

Bukan berarti Rheana tak lagi mencintai Yifan, atau bosan dengan pemuda itu, ia hanya mencoba untuk melepaskan diri dari segala kelelahan yang hinggap di hidupnya.

Ia mencoba untuk kembali seperti dulu, di mana ia hanya mementingkan impiannya saja.

"Saya permisi," pamit Rheana. Sedikit membungkukkan tubuhnya, lantas berjalan masuk kembali ke dalam apartement.

"Anda tahu tidak?"

Yifan menolehkan kepalanya saat suara yang tak asing masuk ke indera pendengaran. Kedua mata pemuda itu mengerjap, menatap bingung ke arah seorang gadis yang tengah duduk di bangku kecil yang ada di dekat gedung apartement.

"Dia selalu jatuh terlalu mudah, terluka terlalu dalam, memaafkan terlalu mudah, dan peduli terlalu banyak. Pada akhirnya... dia selalu menyakiti dirinya sendiri hanya untuk kebahagiaan orang yang ia sayangi." Gadis itu memberi jeda pada kalimatnya. Senyum lembut ia berikan pada Yifan. "Anda sendiri sudah melihat video yang kak Darrel berikan, bukan? Video saat tunangan Anda menampar Rheana...."

"...Apa Anda pikir Mrs. Irene hanya sampai di situ saja? Tidak, Mr. Yifan. Mrs. Irene kerap kali datang pada Rheana disaat kami tidak sedang didekatnya."

"Kenapa kau bisa tahu? Kau sedang tidak ada di sana dan Rheana bukanlah tipe gadis yang akan segera menceritakan masalah pribadinya, bukan?"

"That's right." Gadis itu mengangguk. "Tapi Saya selalu memperhatikannya dari kejauhan. Saya tahu bahwa Mrs. Irene akan melakulan tindakan yang lebih keji dari itu. Saya sudah memperhitungkannya."

Kalau boleh jujur, Yifan merinding saat mendengarnya.

Bagaimana mungkin ada gadis yang bisa memperhitungkan hal tersebut sampai bisa se-akurat ini? Ayolah, memperhitungkan sesuatu agar tepat itu tidaklah mudah. Membutuhkan waktu yang lama dan juga otak yang cerdas tentunya.

"Mrs. Irene juga pernah bilang jika Rheana tidak menjauh darimu, dia akan melakukan sesuatu yang buruk terhadap--" si gadis memutus ucapannya sendiri. Diliriknya Rheana, Ahran, Witri, serta Rillian yang telah berdiri di ambang pintu gedung apartement. "Baiklah, Saya permisi."

"Tung--"

Yifan terlambat menahan gadis itu karena ia telah lebih dulu berlari menjauh meninggalkannya.

Ini membingungkan, sungguh.

Pemuda itu bahkan tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Ia tidak tahu apa yang dikatakan Irene pada Rheana sehingga kekasihnya itu memilih untuk menyerah dengan semuanya.

Ia kebingungan.

Dan tak ada lagi yang bisa dimintai tolong.

Satu-satunya penolong yang Yifan miliki telah kembali merantau lagi kemarin lusa. Selain itu, ia sama sekali tidak percaya dengan kelima temannya.

Hell!

Hubungannya akan semakin hancur jika ia meminta tolong pada Hyunjin, Jaemin, Jungkook, Taehyung, dan Joohyuk.

Baiklah, coret nama Hyunjin dari daftar karena ia yakin, Hyunjin tidak akan bisa membantunya walaupun sedikit. Hyunjin saja masih bingung dengan masalahnya sendiri, bagaimana ia bisa membantu?

Sedangkan Jaemin, Jungkook, Taehyung, dan Joohyuk?

Memangnya orang semacam mereka terlihat bisa membantu?

Rheana mengunyah makanan yang ada di dalam mulut tanpa mempedulikan teman-temannya yang tengah bercanda dengan Luhan dan istrinya. Bukannya ia tidak ingin ikut bersenang-senang, tetapi saat ini mood-nya benar-benar hancur. Tentu saja hal ini dikarenakan obrolannya bersama dengan Yifan sebelum mereka datang ke acara pernikahan Luhan.

Sejujurnya Rheana tidak tahu pasti hubungannya dengan Yifan sudah benar-benar berakhir atau belum. Yang Rheana ketahui, hubungan mereka berdua tak akan pernah bisa diperbaiki lagi.

Haruskah Rheana juga berhenti bekerja di perusahaan tersebut dan menyerah dengan cita-cita yang selama ini ia impikan?

Tidak mungkin, kan?

Jika iya, apa yang akan ia katakan pada keluarganya, Darrel, dan Ara yang sedang jauh di sana?

"Kenapa melamun?"

Rheana sontak terkejut saat mendengar suara Luhan yang berada tepat di telinganya. Ia bahkan bisa merasakan hembusan nafas pemuda itu.

"Menjauh dariku. Orang-orang akan salah paham!" titah Rheana. Tangannya mendorong wajah Luhan agar menjauh dari wajahnya. "Kenapa melakukan itu? Kau mengagetkanku, ck."

Luhan terkekeh pelan lantas memanggil nama sang gadis, membuatnya kembali menoleh dan menatap Luhan dengan sebelah alis yang terangkat. "Dulu... Aku menyukaimu."

Hening.

Rheana tak menjawab. Gadis itu memilih untuk diam mendengarkan apa yang akan dikatakan Luhan selanjutnya. Rheana berharap apa yang baru saja ia dengar adalah sebuah candaan yang diberikan oleh Luhan untuk mengembalikan mood-nya.

Tapi sayang, tak ada lagi kalimat lanjutan yang keluar dari bibir si pemuda. Yang ada hanyalah ekspresi serius di sana sehingga membuat Rheana sadar bahwa Luhan sedang tidak bercanda untuk sekarang.

"Aku serius. Dulu aku menyukaimu. Apa kau tidak menyadarinya? Ya Tuhan, seberapa tidak peka-nya kau ini, Rhea?"

Rheana mendengus. Ia sendiri tak tahu pasti kenapa dirinya tidak peka seperti ini. Ia bahkan tak pernah menyadari bahwa Luhan menaruh perasaan terhadapnya.

Sudah dikatakan sebelumnya, bukan?

Rheana tidak pernah mempedulikan tentang asmara.

Itu dulu. Jauh sebelum ia mengenal Yifan.

"Aku tidak tahu tentang hal itu, Lu. Harusnya kau mengatakannya secara langsung padaku."

"Aku ingin, tapi aku takut kau akan menilaiku jelek. Apalagi dulu kau benar-benar dingin terhadapku."

"Benarkah?" kedua alis Rheana terangkat, bingung. Memangnya sedingin apa dia dulu?

"Iya, benar." Luhan meringis. Ia benar-benar merasa bodoh jujur terhadap gadis yang satu ini. "Aku tidak mungkin mengatakannya disaat kau sendiri tidak menganggapku ada. Dan disaat aku sudah benar-benar dekat denganmu, aku malah dijodohkan."

"Yah...." Si gadis terdiam. Ia memainkan sendok makannya itu. "Setidaknya gadis yang dijodohkan denganmu cocok, bukan?"

Luhan mengangguk kemudian tersenyum lembut. Beberapa detik kemudian, ia merogih saku celananya dan meletakan sebuah kotak beludru di hadapan Rheana.

"Apa?"

"Tentu saja untukmu," jawab Luhan, mendorong kotak beludru itu agar lebih dekat dengan Rheana. "Kau ingat saat aku memintamu untuk menemaniku membeli kalung? Kubeli itu untukmu."

"Aku me--"

"Tidak ada penolakan atau aku akan melakukan hal aneh terhadapmu. Seperti menciumu contohnya?"

Rheana cemberut. Mau tak mau gadis itu mengambil kotak beludru tersebut dan memasukannya ke dalam tas. Ayolah, apa kata orang jika melihat dirinya berciuman dengan Luhan yang status-nya telah ber-istri?

"Kau terlihat manis saat cemberut."

"Katakan lagi sesuatu yang memalukan, dan aku akan melemparmu dengan high heels yang kupakai."

Jangan tanyakan kenapa Rheana menggunakan alas kaki semacam high heels. Pastinya hal itu dikarenakan teman-teman menyebalkannya yang memaksa si gadis itu untuk mengenakan hal semacam itu.

Sebenarnya Rheana tak mau, tetapi ancaman yang diberikan oleh Ahran benar-benar membuatnya menyerah untuk memberontak lagi. Ketahuilah, menggunakan alas kaki semacam itu membuat Rheana pegal.

"Kenapa pengantin pria nya ada di sini? Kenapa malah meninggalkan istri mu seorang diri di sana?"

Luhan serta Rheana menoleh, mendapati sosok pria jangkung dengan bahu lebarnya serta wajah dingin yang teramat tampan tengah berdiri tidak jauh dari mereka seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

Tatapan tajamnya itu ia berikan pada Luhan yang hanya bisa tersenyum lebar dan mengusap belakang kepalanya.

"Apa kau tega melihatnya digoda oleh teman-temanmu yang lain seperti itu, hyung?"

Senyuman pada wajah Luhan semakin melebar. Perlahan tapi pasti, pemuda itu beringsut pergi dari sana dan meninggalkan sang pria bersama dengan Rheana.

Rheana sendiri hanya diam seraya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Ia tidak tahu siapa pria ini, tapi setidaknya pria itu telah menyelamatkannya dari segala gombalan basi yang diberikan oleh Luhan.

"Maafkan kakakku. Dia memang seperti itu." sang Pria mendesah pelan. Seperkian detik kemudian, ekspresi dinginnya berubah sedikit lebih lembut serta senyum tipis yang mengiasi wajahnya.

"Kakak? Oh, kau Sehun? Luhan pernah menceritakanmu minggu lalu."

Senyumnya mulai mengembang. Bukan senyum tipis lagi, melainkan sebuah senyum menawan khas seorang bangsawan.

Ya Tuhan, kenapa ada manusia setampan dia di muka bumi ini?

"Kau benar. Aku Oh Sehun. Aku adik--bukan. Tepatnya saudara dekat dari Xi Luhan."

"Rheana Andria. Senang bertemu denganmu."

Sehun diam. Manik matanya menatap ke arah Rheana. Tepatnya mengamati gadis itu dengan seksama. "Ya, begitu pula denganku. Tak ku sangka apa yang dikatakan hyung tentangmu semuanya benar."

"Mak--"

"Ngomong-ngomong, apa kau kenal dengan dia?"

Pandangan Rheana beralih kala Sehun menunjuk seorang gadis dengan ibu jarinya. Ia kembali diam, mencoba untuk melihat dengan seksama apa yang baru saja Sehun tunjuk. Rheana tak ingin salah orang nantinya.

"Aku kenal. Ada apa memangnya?"

"Aku tertarik dengannya."

Demi apapun, Rheana tidak pernah menyangka bahwa ada orang lain yang tertarik dengan dia selain Manager Divisi Programmer yang kewarasannya patut dipertanyakan.

"Ingin kukenalkan?"

"Tidak perlu. Biar aku sendiri yang melakukannya. Tapi jangan beritahu dia, okay? Aku permisi sekarang."

















































Rheana benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Sehun. Bagaimana mungkin sosok menawan, tampan, dan penuh kharisma semacam Oh Sehun bisa tertarik pada sosok labil temannya itu?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro