Arc 2-6: Geluh Lempung Pasiran
Bab 20: Geluh Lempung Pasiran
❝The trigger is activated❞
###
Waktu makan siang telah tiba, ditunjukkan oleh jarum jam istana, baik itu jam ayun, jam dinding, maupun jam tangan milik para pelayan.
Aku dan Ketua memasuki satu ruang makan sesuai arahan beberapa peladen. Di dalam sana, terpampang meja panjang dengan bangku yang ditata di tiap-tiap sisinya. Pelita hias yang terbuat dari kristal putih disangkut tepat pada tengah pagu. Sejumlah pajangan didekor di dinding tinggi lagi lebar. Beraneka ragam vas pun tempayan diletakkan pada sudut-sudut ruangan.
Aku cukup terpana dengan segala kemewahan serta kemegahan yang kusaksikan. Meski kesan awal istana ini terbilang sederhana, tetapi pada kenyataannya bukanlah demikian. Istana ini benar-benar menakjubkan. Namun, aku berusaha tetap memasang wajah biasa-biasa saja. Kusinggung lengan pemuda di sampingku agar dia menutup mulutnya yang ternganga dan menurunkan dagunya yang terlalu tinggi mendongak. Aku tak bisa menanggung rasa malu apabila aksi Ketua ketahuan dan dilihat oleh para peladen, terlebih oleh tuan rumah yang sudah menunggu di meja makan.
"Jaga sikapmu," bisikku, menjulurkan kepala ke telinga Ketua.
Kami pun berjalan menuju kursi yang disediakan—nang ditunjukkan oleh salah satu peladen. Kursi berlengan nan dibuat dari kerangka kayu dan dipasangi bantal merah empuk lagi nyaman. Segenap ventilasi di bagian atas tembok membuat sirkulasi udara lancar sehingga tak terasa pengap di dalam sini.
Hidangan yang disajikan sangat menggugah nafsu makan. Perpaduan antara indra penglihat yang dimanjakan warna-warna menggiurkan serta indra pencium yang dirangsang dengan bau-bauan nikmat membuat produksi saliva oleh kelenjar ludah menjadi meningkat drastis. Aku tak kuasa menahan air liur di rongga mulut ketika menyaksikan berbagai masakan yang terdiri atas pembangkit selera, makanan utama berupa daging dan protein, hidangan penutup, juga minuman yang begitu menyejukkan.
Sungguh, lama-lama tempat ini membuatku jadi ingin menetap setidaknya satu hari saja. Hidup bisa menjadi lebih mudah lagi sejahtera. Akan tetapi, pemikiran semacam itu langsung kutepis setelah aku mengingat perkataanku kepada Ketua di kamar Sister Mint sebelumnya.
Profesor bersama seorang wanita serta seorang gadis kecil sudah duduk dan menunggu kedatangan kami. Kepala keluarga itu mengenakan setelan jas biru gelap yang tampak gagah. Wanita di sampingnya, yang tak lain tak bukan adalah sang istri, memakai gaun warna hitam kristal yang terlihat sederhana, tetapi begitu anggun. Surai panjang hitam mengilap nan tergerai pun amat menawan.
Sementara itu, gadis kecil di sebelah istri Profesor merupakan target utama yang akan aku dan Ketua selidiki lebih dalam. Sister Mint. Anak yang menggunakan baju putih, rambut panjangnya biru tua, dikucir dua, serta manik mata serona langit pagi. Tubuh mungil anak itu begitu kurus juga tak terawat dengan baik. Bisa saja ada bekas luka plus lebam pada kulit di balik pakaian yang dia kenakan. Sister Mint kecil dari tadi menunduk, berwajah murung. Iris netranya tak sekali pun melihat ke aku dan Ketua.
Si istri yang tampangnya cantik mengangguk ramah lalu berkata, "Perkenalkan, saya istri Prof Giltch, panggil saja Nyonya Giltch. Ini anak kami, namanya Allyana. Ally, beri salam kepada tamu kita." Dia mengajukan tangan dahulu kemudian menoleh kepada gadis kecil di sampingnya.
Sister Mint tidak tanggap. Dia tetap merundukkan kepala, mengigit bibir. Kelopak matanya sayu. Aku tak bisa membiarkan gadis kecil itu murung, sehingga aku menyapanya, "Selamat siang, Nak Ally. Senang bertemu denganmu." Senyum lembut terulas di mukaku.
Berikutnya, Profesor bertanya, "Ngomong-ngomong, apakah Tuan Marjan baik-baik saja? Kata salah satu pelayan, Tuan sempat hampir pingsan di salah satu koridor istana."
Aku membalas tanpa memberi jeda sejenak, "Sudah baik, Prof. Tidak apa-apa."
"Syukurlah bila Tuan Marjan tidak apa-apa. Kalau begitu, mari kita mulai makan siang." Kepala keluarga tersebut mengedikkan kepala dengan penuh wibawa. "Kepala Pelayan, silakan pimpin doanya."
Kepala Pelayan nang dimaksud adalah pria yang tampak paling tua; diketahui dari tampang senioritas dan rambut ubannya nan sudah botak sebagian. Pria itu berdiri di dekat Profesor, memimpin doa dengan khidmat. Tangan ditangkupkan serta mata memejam. Suaranya merdu lagi penuh penghayatan kala melafalkan doa dengan fasih. Aku, Ketua, Profesor, dan istri Profesor mengatupkan tangan sembari menutup mata. Sister Mint kecil pun turut mengikuti.
"Selamat makan."
Para peserta makan siang pun memulai menyantap hidangan yang tersaji, sementara peladen-peladen melayani apabila ada seseorang membutuhkan, seperti kepala keluarga yang minta dipasangkan apron, atau istrinya yang ingin dipotongkan daging sapi panggang, ataupun Sister Mint yang disuapi oleh pelayan perempuan.
Sembari menikmati masakan, Profesor bertanya-tanya, "Tetapi, aneh bukan, ya? Apa yang dilakukan Tuan Marjan sampai pingsan di depan kamar anak saya? Di samping itu, aku jadi khawatir. Akhir-akhir ini ada desas-desus yang mengatakan terdapat penyusup yang menyamar menjadi tamu istana."
"A—a—aku...." Ketua terlihat gugup, dia ingin menjawab, tetapi tak tahu harus menyusun kata apa, sehingga yang keluar adalah perkataan gagap.
"Dia tersesat," jawabku, tanpa mengalihkan perhatian dari piring dan lauk.
"Benarkah itu?" Profesor tahu-tahu menghentikan gerakan makan. Netranya menatap lekat Ketua.
"I—iya." Ketua tersenyum paksa.
Manik mata Profesor ganti menatapku. "Selain itu, pelayanku pun berkata Tuan Cris juga ada di sana. Apakah Tuan Cris tersesat pula?"
"Saya mencari Marjan yang tiba-tiba hilang," balasku.
Profesor meletakkan sendok lagi pisau di tangannya. Mendadak seluruh tatap mata kedua tuan rumah juga para peladen tertuju kepada aku dan Ketua. Beberapa jenak lamanya mereka melayangkan lirikan, tanpa berkedip, membuat tubuhku bergidik dan peluhku berceceran. Acara makan siang nan khidmat berubah menjadi atmosfer canggung lagi senyap. Semuanya menyetop makan.
Lalu, tiba-tiba Profesor tergelak, dituruti istrinya.
"Hah! Ha ha! Ha ha ha! Ha ha ha!"
Aku serta Ketua yang awalnya tegang pun ikut-ikutan tertawa.
"Heh? Heh heh? Ha ha! Ha ha!"
"Oh, begitu, ya! Saya kira ada apa tadi! Hahaha!" kekeh Profesor.
"Iya, iya, benar!" sahut aku dan Ketua.
"Saya kira kalian adalah penyusup yang menyamar jadi tamu istana! Ternyata, bukan! Hahaha!"
"Ya, ya, benar!" sambut aku dan Ketua.
"Hahaha! Hahaha Hahaha!"
Kami semua larut dalam suasana hangatnya tawa yang sahut-menyahut dalam ruang makan nan luas ini. Beberapa lama berlangsung hingga mulut terasa kering dan jarum panjang jam telah melampaui satu garis.
Tawa pun mereda. Kami mulai fokus menikmati santapan masing-masing.
"Lagi pula, cukup aneh Profesor dan Nyonya tidak memakai mahkota dan tiara padahal kalian kepala keluarga di sini!" Ketua terbahak seraya memotong daging panggang di atas piring dengan santai.
Akan tetapi, seketika lawan bicara diam. Profesor dan istrinya mematung di tempat, tatapan mata mereka seolah hampa, tetapi amat mencekam. Sister Mint kecil menunduk sampai kepala si gadis bersembunyi di balik meja.
Aku merasakan hal yang amat begitu sangat ganjil sekali.
Ketua menyungging seringai bingung. "E—eh? Kenapa? Bukankah wajar karena ini pertemuan informal—"
Tiba-tiba ruangan ini seperti berguncang dalam sekali getaran, segalanya porak-peranda bagai terkena gempa. Lampu penerangan mati. Aku menjadi panik, begitu pun Ketua di sebelah. Namun, setelah netra berkedip, semua pemandangan berubah ekstrem.
"A—apa yang terjadi!" Aku dan Ketua siaga, mencengkeram pegangan senjata masing-masing.
Visi yang kutangkap berubah jadi agak berefek fluoeresens, warna pun seperti berbalik hue-nya. Pendar rona warna-warni bersinar di tiap garis bentuk setiap bidang benda. Profesor dan Nyonya Profesor terikat lehernya, digantung di dekat pintu. Para pelayan tertusuk kepala oleh tombak, ditancapkan pada tembok. Muka mereka semua kabur, tercoret-coret.
Dimensi Iblis Yudikatif.
Sejumlah Mint Kecil berona gradasi hijau masuk dari pintu masuk tanpa daun, berbaris rapi menuju setiap sisi dinding. Mereka kembar, ada banyak, dan tak mempunyai kesadaran. Mereka tak berbusana, tubuhnya berwarna krem bercampur hijau lumut. Mereka memakai helm nan pelik. Mereka ... mereka seolah adalah pasukan prajurit.
Mint Kecil yang duduk di kursi mengekspos wajah nan begitu mengerikan. Matanya merah menyala tanpa iris. Mulutnya menyeringai lebar, menampakkan barisan taring tajam. Anak rambutnya melayang-layang di udara. Seisi ruangan mendadak jadi beterbangan. Benda-benda bak kehilangan gaya gravitasi mereka.
Pemuka Iblis Yudikatif membuka identitas. Wujud yang awalnya Sister Mint kecil menjelma seorang pemuda bersurai hijau, tetapi wajahnya buram. Ketua mencabut pedang dari sarung. Aku menghunus long sword.
Badanku memelesat, memusatkan senjata kepada tubuh si Iblis. Ketua melejit, melompat guna mengincar kepala si musuh. Iblis Yudikatif menyunggingkan seringaian.
Sedetik kemudian, lampu gantung di langit-langit pecah menjadi berkeping-keping. Segalanya menggelap.
###
Kudus, 27 Januari 2020
Sebenarnya aku gak tau hidangan orang-orang mewah itu seperti apa :") Apalah orang miskin...
Males searching juga. Toh, ya, gak berperan penting :')))
±1350 kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro