Chapter 34 - 💋Touch Me Slowly💋
Mengambil kesempatan tersebut, Jiana langsung bangkit dari posisi yang membuatnya sulit mengendalikan diri. Ia berjalan menuju ke ranjang, berniat untuk duduk di sana. Sementara itu, atensi Vian tersita pada langkah Jiana yang pincang. Ia mengamati perban di kelingking serta teringat luka lecet di telapak kaki wanita itu.
Tanpa suara, Vian mengubah posisi tidur untuk menyusul Jiana. Segera ia merengkuh pinggang Jiana dan menuntunnya berjalan.
Jiana terhenyak ketika lembut tangan Vian kembali menyentuh kulitnya. Ia merona. Sial, semakin menghindari Vian, perasaan Jiana kian tidak karuan. Jantungnya berdebar tidak karuan dan yang lebih gila, suhu tubuh Jiana selalu naik setiap berada di dekat Vian.
"Perhatikan langkahmu," ucap Vian dengan embusan napas yang menerpa pipi Jiana.
"A-aku bisa jalan sendiri," respon Jiana seraya menelan saliva dengan susah payah.
"Jiana...." Nada bicara Vian kali ini terdengar lebih serius. Sorot mata yang dihaturkan, terlihat intens.
"Ya," jawab Jiana terpaku.
"Apa alat-alat itu menyakitimu?" tanya Vian.
"Hmmm, se-sedikit." Meskipun ragu, Jiana berusaha menjawab pertanyaan Vian.
"Jadi kamu tidak menyukainya?"
Jiana menggigit bibir bawah. Ia melihat pada sepasang iris Vian yang sepekat malam sembari mengorek jawaban dalam otak. Jiana takut jika salah memberikan jawaban.
"A-aku lebih suka sentuhan yang lembut," tutur Jiana jujur. Sekarang ia menundukkan wajahnya malu.
"Hm, begitu ya?" Vian menjeda ucapannya sebentar, tanpa melepaskan rengkuhan di pinggang Jiana. "Kamu masih lemas?"
"Tidak begitu." Jiana mendongakkan kepala kemudian menggeleng.
"Mau bermain denganku?" tanya Vian meminta consent.
Keheningan menyelimuti mereka sesaat. Jiana masih bergeming, tampak tengah menimbang tawaran dari Vian. Ia ingin menolak permintaan Vian, tetapi gairah dari dalam diri seolah menahan jawaban itu.
"Kamu bisa menolaknya," tambah Vian. Ujung jemarinya membuat Jiana merinding, ketika dengan lembut pria itu menyelipkan helai rambut ke belakang telinga.
Jiana masih terdiam. Ia hanya bisa memandang Vian tanpa suara, sesekali menelan saliva kuat-kuat. Kegundahan melanda hati Jiana, dan Vian menyadarinya.
Sedikit merendahkan tubuh, Vian menyelipkan tangan ke belakang lutut Jiana untuk kemudian membopongnya. Jiana sedikit terhenyak.
"Diam artinya tidak ada penolakan," ujar Vian diikuti seringaian penuh kemenangan.
Alih-alih menolak, Jiana justru mengalungkan lengan di leher Vian. Ia mengikuti langkah Vian yang menyusuri lorong mansion menuju 'taman bermain'.
Seperti biasanya, berjalan menuju ke ruangan tersebut, membuat gairah bercinta Jiana semakin meningkat. Sensasi percintaan yang mendebarkan seolah menyambut Jiana penuh dengan euforia. Meskipun terkadang Jiana ketakutan dengan hal baru yang akan diberikan oleh Vian.
Apakah kali ini akan ada hal yang menyakitkan?
"Aku akan mengabulkan permintaanmu." Seolah mengetahui isi kepala Jiana, Vian tiba-tiba berucap demikian.
Jiana mendongak, menatap side profil Vian yang penuh pesona. "Permintaanku?"
"Sentuhan yang lembut," tukas Vian yang beberapa saat kemudian menoleh pada Jiana. "Aku akan memberikan itu kepadamu."
Suhu tubuh Jiana semakin panas ketika mendengar kalimat itu lolos dari bibir Vian. Kali ini ia akan mendapatkan sentuhan yang bisa berkali lipat mendebarkan jantungnya. Sentuhan lembut yang mendamba.
Jiana terlihat begitu pasrah saat Vian meletakkan tubuhnya di kursi tantra dengan sangat hati-hati. Vian benar-benar memperlakukan Jiana seperti benda pecah belah yang rapuh.
"Apakah kamu sudah merasa nyaman?" tanya Vian memastikan.
Kepala Jiana mengangguk, memberikan isyarat jawaban kepada Vian.
"Good," ujar Vian sambil mengelus pipi Jiana dengan lembut. Kemudian satu kecupan didaratkan pada dahi Jiana. Jantungnya mendadak berdesir dengan kecupan singkat itu. "Tunggu di sini."
Jiana membiarkan Vian pergi untuk memilih mainan yang akan mereka gunakan kali ini. Ia terdiam di atas sofa tantra yang dilapisi busa empuk dengan warna yang menggairahkan, merah menyala. Tempat duduk yang berbentuk seperti tubuh wanita itu bisa memberikan sensasi bercinta liar dengan posisi berbeda.
Setelah mendapatkan mainan yang diinginkan, Vian menghampiri Jiana dengan seutas tali berbahan rami. Ia mendekat lalu kembali mengelus pipi Jiana dengan lembut.
"Kita sudah pernah melakukan ini sebelumnya," ujar Vian dengan suara bariton yang semakin meliarkan fantasi bercinta.
"Teknik Shibari?" tanya Jiana dengan suara kelewat lirih. Vian pernah menggunakan teknik mengikat tubuh yang berasal dari Jepang itu di awal percintaan mereka. Kala itu Jiana merasa dirinya tertawan dan tidak berdaya. Namun, saat mendapatkan sentuhan Vian, kenikmatan seolah membanjiri.
"Tidak. Kali ini aku tidak ingin mengikat tubuhmu," jawab Vian.
Satu per satu kancing piyama kebesaran yang melekuk tubuh Jiana, dilepaskan oleh Vian. Netranya tertuju pada tubuh Jiana yang menggoda dengan dada sekal dengan puncak merona.
"Kamu tahu bagaimana aku mempelajari teknik menali seperti ini?" Suara Vian memecah keheningan. Meskipun tidak mampu mengurangi intensitas debaran jantung Jiana.
Kepala Jiana menggeleng sebagai jawaban.
"Aku belajar dari Nawashi, sebutan seseorang yang ahli dalam teknik shibari." Vian bercerita sambil melilitkan tali berbahan rami tersebut di pergelangan tangan Jiana. "Waktu itu aku sedang menghadiri acara bisnis bersama dengan Narendra."
Setelah menyelesaikan simpulnya, ia mengikat kedua tangan Jiana yang disambungkan pada tiang di belakang sofa tantra. Sesekali ia merekam ekspresi Jiana, memastikan sang submisif tidak merasakan kesakitan.
"Apakah menyakitkan?" tanya Vian.
"Ti-tidak," jawab Jiana sambil menggeleng diikuti napas memburu.
"Karena tubuhmu masih lemah, katakan jika nanti kamu sudah lelah," ujar Vian menghadap pada Jiana.
"Ba-baiklah."
Tegukan saliva Jiana semakin menguat kala Vian membuka kaosnya dan memperlihatkan pahatan otot yang sempurna. Sangat memanjakan mata.
Mata Jiana bergerak turun, tersita pada milik Vian yang sudah menonjol, tampak meronta di balik celana.
"Apa kamu menginginkannya?" tanya Vian sambil menarik dagu Jiana ke atas.
"A-a-a-a." Mendadak Jiana kesulitan berbicara. Namun, setelah itu bibirnya membisu karena Vian mengulumnya dengan hisapan cukup kuat. Ia mencecap bibir merah jambu Jiana dengan cukup lembut.
"Kamu sepertinya harus bersabar untuk mendapatkan benda itu," sambung Vian dengan kerlingan nakal. Ia sedang menggoda Jiana.
[Baca selengkapanya di Karyakarsa]
"Kamu hebat Jiana," puji Vian seraya menjatuhkan kecupan singkat di bibir sang submisif.
***
"Benarkah? Aku boleh tinggal di sini sementara?" Jiana memastikan. Sepasang matanya berbinar ketika Vian mengizinkan untuk tinggal di mansion itu selama beberapa waktu.
"Tentu saja. Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau," tukas Vian yang sedang bersimpuh di bawah Jiana. Ia mengganti perban Jiana sambil mengolesi salep di telapak kaki wanita itu. "Sudah selesai."
"Terima kasih," tambah Jiana yang kini melihat Vian sebagai malaikat penolongnya. Selalu ada Vian di saat Jiana membutuhkan sandaran. Bahkan pengaruh Vian dalam hidupnnya terasa lebih besar dibandingkan Raditya. "Tapi ...."
Vian mendongakkan kepala ketika Jiana menjeda ucapannya.
"Bagaimana kalau ada yang tahu aku tinggal di rumahmu. Pasti mereka akan berbicara yang bukan bukan."
"Tenang saja. Tidak ada yang peduli dengan kejadian di rumah ini. Lagipula dinding rumah ini terlalu tebal untuk mereka yang ingin mendapatkan informasi," jelas Vian. Lantas ia mengecup telapak kaki Jiana yang lecet. "Kamu tidak perlu khawatir."
Wajah Jiana kembali merona. Bagaimana bisa ia tidak mencintai pria yang bisa bersikap semanis ini? Terkadang Vian memang memperlakukan Jiana seperti ratu.
Dering ponsel di atas nakas, mengalihkan perhatian Vian. Ia bangkit dari posisi jongkok lalu mendapati nama ibu Jiana muncul di layar ponsel. Garis retakan yang tercetak tidak menghalangi susunan sederhana yang bertuliskan 'ibu' itu.
Melihat Jiana yang tidak berniat untuk menerima panggilan itu, Vian lantas bersuara, "kenapa tidak kamu terima?"
"Biarkan saja. Aku masih marah sama ibu," ucap Jiana masih kesal. "Ibu selalu semena-mena."
"Memangnya apa yang ibumu katakan?" tanya Vian.
Jiana tidak langsung menjawab. Ia mendongakkan wajah pada Vian dan berpikir jika alasan sang ibu akan membuat Vian merasa terhina. Ah, lagipula Jiana juga sebenarnya enggan berpisah dengan Vian. Ia nyaman berada di dekat pria itu. Pun crasa cinta seolah semakin terpupuk dengan subur.
"Begitulah," ucap Jiana sambil menaikkan kedua bahunya.
"Baiklah." Vian mengelus pipi Jiana. "Ada beberapa baju di closet room, aku sudah meminta Tino untuk membawakan beberapa. Kamu bisa pakai saat bekerja nanti."
"Terima kasih." Bibir Jiana melengkung manis.
"Anything for you," jawan Vian yang semakin membuayarkan ketakutan dalam hati Jiana. Bukankah batu yang keras juga bisa rapuh dengan tetesan air? Apalagi hati manusia yang lunak. "Aku berangkat ke kantor."
"Hm, hati-hati."
Vian mengayunkan kaki keluar dari kamar. Lalu ia merogoh ponsel dalam saku, memencet nama Tino sebelum menempelkannya di salah satu telinga.
"Aku mau handphone keluaran terbaru."
["Handphone? Baiklah Tuan, saya segera mencarikannya."]
"Tino, tunggu. Apa bisa kamu sekalian mendownload tema pororo di dalamnya?"
["Pororo?"]
"Iya, kartun penguin dengan kacamata bulat."
["Ah, baik Tuan. Saya carikan."]
"Satu lagi. Carikan juga casing dan beberapa aksesoris pororo untuk hape barunya."
["Baik, Tuan. Tapi maaf, Tuan muda. Apakah pororo tidak terlalu kekanakan untuk Tuan?"]
"Itu untuk Jiana." Panggilan mereka terputus, Vian yang melakukan.
Tidak langsung pergi ke kantor, Vian membelokkan arah mobil menuju ke rumah Jiana. Kafe ibu Jiana terlihat sepi, lalu mata Vian tertuju pada papan 'close' yang terpasang di depan pintu kaca.
Segera Vian memarkirkan mobil di halaman rumah Jiana yang biasa difungsikan sebagai parkir pengunjung kafe. Terlihat dari dalam rumah, ibu Jiana memanjangkan leher. Mungkin mengira Vian akan datang bersama Jiana.
Tanpa membuang waktu, Vian turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah Jiana. Tidak seperti biasanya, Kenanga menyambut Vian dengan wajah tidak suka. Padahal di awal pertemuan, Kenanga selalu memberikan sambutan yang hangat.
"Ada yang ingin saya katakan mengenai Jiana," kata Vian mengawali percakapan.
TO BE CONTINUED....
Selamat pagi, Lovelies. Asupan Jiana dan Vian siap menemani akhir minggu kalian. Selamat membaca ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro