Chapter 33 - 💋Did I hurt you?💋
"Apa yang kamu lakukan!"
Suara Vian kembali menghampiri rungu Jiana. Raut wajahnya terlihat marah, jauh lebih marah dibandingkan saat Jiana membantah. Pun pegangan Vian di pinggang Jiana semakin mengerat, seolah tidak ingin terlepas.
Air mata Jiana yang bercampur dengan air hujan, semakin membanjiri kedua pipi. Isakan Jiana sudah tidak tertahankan. Kontan ia memeluk Vian dengan sangat erat. Membuat pria itu terhenyak.
"Mas, baik -baik saja?"
"Mau saya antar ke rumah sakit? Mohon maaf, tadi saya kaget. Soalnya Mbaknya tiba-tiba ada di depan mobil saya," ucap seorang pria seumuran Vian yang merupakan pengemudi mobil tadi.
Vian membopong tubuh Jiana, kemudian berdiri. la menundukkan kepala dalam kepada pengemudi sebagai permohonan maaf. "Maaf sudah menimbulkan kekacauan."
"Masnya yakin nggak ada yang terluka?" Pria pengemudi berambut keriting itu terlihat panik seraya memerhatikan tubuh Vian dari ujung kaki hingga puncak kepala. Tidak ada luka berat, hanya sikunya yang lecet, tergores aspal tadi.
"Tidak perlu, ini hanya luka ringan saja," jawab Vian.
"Mbaknya nggak ada yang terluka?" Pengemudi itu ganti memeriksa Jiana yang berada dalam pelukan Vian. la masih menangis tersedu-sedu sambil mengalungkan lengan di leher Vian.
"Dia baik -baik saja. Sekali lagi saya minta maaf, jika ada kerugian bisa langsung menghubungi saya. Sebentar." Vian buru-buru meletakkan Jiana di kursi samping kemudi lalu memberikan kartu nama kepada pengemudi tersebut.
"Silahkan hubungi saya untuk semua kerugian anda," tukas Vian.
"Ah iya, baik." Pria itu melirik nama di kartu nama itu. Sedikit kaget saat membaca nama Vian tercetak di kartu persegi dengan logo huruf A yang termasyur. Well, siapa yang tidak mengenal Aditama grup, salah satu perusahaan property terbesar di Indonesia. Nama properti mereka sudah tersebar di setiap provinsi Indonesia.
"Saya permisi." Entah berapa kali Vian sudah menundukkan kepala kepada pengemudi tersebut. la tidak ingin Jiana berurusan dengan polisi karena tingkah gegabahnya itu.
Vian masuk ke dalam mobil, Jiana masih menangis sambil menggigil kedinginan. la meraih mantel yang tergeletak di kursi belakang. Tidak memperdulikan dirinya yang juga basah kuyup, Vian memakaikan mantel tersebut ke Jiana.
"Pakai ini."
Jiana menurut. Tatapannya kosong tertuju ke depan. Pertengkaran dengan sang Ibu, masih mengacaukan hati Jiana. Satu sisi ia merasa ucapannya keterlaluan, tetapi di sisi lain merasa lega. Sebab Jiana bisa mengutarakan isi hati yang selama ini terpendam.
Tanpa banyak bertanya, Vian menyusut air mata Jiana dengan tisu. Pun mengeringkan rambut dan wajah Jiana dengan tisu. Meskipun tidak bisa kering dengan maksimal.
Setelah memasangkan seatbelt, Vian memacu mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Suara gahar mobil sport itu seolah membelah guyuran hujan yang menghalangi pandangan.
Dalam diam, Vian sesekali melirik ke arah Jiana yang masih menangis tanpa suara. Entah mengapa kali ini tangisan Jiana membuat Vian kesal. Tidak seperti biasanya. Dimana saat melihat Jiana menderita, Vian merasa mendapatkan kepuasaan.
Atensi Vian teralihkan pada layar ponsel yang memunculkan nama sang ayah. Setelah mengantarkan Jiana tadi, Vian tidak langsung menemui Aditama. la berhenti cukup lama di perempatan jalan dekat rumah Jiana untuk menguIur waktu. Vian tengah mencari alasan agar bisa tetap menjadi manajer utama di The Moon Hotel. Supaya tetap dekat dengan Jiana.
Tidak ingin berdebat dengan sang ayah mengenai pemindahannya untuk mengurus hotel di Canberra, Vian mematikan ponsel lalu melajukan mobil.
"Mbok! Mbok Ida!" Vian berteriak sambil menggendong Jiana masuk ke dalam kamarnya.
Sambil menggulung rambutnya, Mbok Ida setengah berlari menghampiri Vian. "Ya, Tuan muda."
"Tolong ganti bajunya," titah Vian.
"Astaga, Non Jiana kenapa?" Mbok Ida sedikit panik saat melihat Jiana tertidur dengan baju basah dan wajah kelewat pucat. Lalu ia melemparkan tatapan ke Vian, "Tuan muda, tapi disini tidak ada baju wanita. Nggak mungkin pakai baju saya."
"Pakai baju saya, dan buat dia tetap hangat," pinta Vian.
"Baik, Tuan muda."
Mbok Ida segera mengganti baju Jiana dengan piyama Vian. Setelah memeriksa suhu tubuh Jiana dengan termometer, Mbok Ida mengompresnya.
"Oalah, ada apa sama Nona Jiana ini. Sampai kakinya lecet semua," lirih Mbok Ida saat membersihkan kaki Jiana dengan air hangat.
Seluruh telapak kaki wanita itu lecet karena menginjak bebatuan di aspal yang tidak rata. Salah satu kuku jari Jiana nyaris terlepas. Mbok Ida memberikan pertolongan pertama. la mengempres bagian yang terluka dengan es. Agar esok hari bisa ditangani dokter keluarga.
"Permisi." Suara Dokter Surya membuat Mbok Ida menoleh.
"Dokter, sepertinya saya tidak menelepon tadi?" tanya Mbok Ida heran.
"Vian yang memanggilku. Bagaimana keadaannya?" tanya Dokter Surya sambil memasangkan stetoskop untuk memeriksa Jiana.
"Panasnya sedikit menurun, Dok." Mbok Ida menjelaskan. "Lalu kukunya hampir lepas."
Dokter Surya melirik ke kelingking Jiana. "Akan aku beri suntikan anti nyeri nanti. Tidurnya juga bisa lebih tenang."
Mbok Ida mengangguk paham. la mundur beberapa langkah agar Dokter Surya lebih leluasa memeriksa.
"Ibu, maafin aku," lirih Jiana saat Dokter Surya menyuntikkan obat secara intravena.
Beberapa detik kemudian, Jiana terlelap.
Helaan napas lolos dari bibir Dokter Surya. Menatap sejenak wajah Jiana lalu membuang spuit bekas suntikan ke tempat sampah.
"Sepertinya mereka berdua membutuhkan pengobatan."
"Maksud, Dokter?" Mbok Ida penasaran..
"Tidak apa -apa," jawab Dokter Surya.
***
Jalan hidup seseorang memang tidak terduga. Begitu pula dengan kisahnya yang terkadang mengejutkan. Terlahir sebagai seorang putri tanpa kehadiran ayah, membuat Jiana sering mencari kasih sayang dari seorang pria. Mendapatkan curahan kasih sayang dari pria seolah bisa mengisi kekosongan hati Jiana, meskipun sesaat.
Sejak remaja, Jiana tidak pernah menolak tawaran cinta dari pria. Jika mereka harus mengakhiri hubungan, maka Jiana akan cepat mendapatkan pengganti. Memiliki paras yang menawan adalah salah satu keuntungannya. Hingga banyak pria yang mengantri.
Hingga pertemuan dengan Radit, menciptakan ketergantungan dalam hidup Jiana. la rela melakukan segalanya sampai menjadi budak cinta. Tidak dinyana pria itu menciptakan luka dalam hati Jiana. Luka yang cukup menyakitkan, hingga ia kapok mencinta.
Namun, pria di hadapannya kini seolah menawarkan harapan baru. Di balik sikapnya yang menyebalkan terkadang menyakitkan, Vian selalu berusaha melindungi Jiana. Seperti malam kemarin. Entah sudah berapa kali Vian menyelamatkan Jiana.
Diam-diam sikap Vian yang perhatian, membuat hati Jiana berdebar. la berhasil jatuh cinta lagi kepada pria berbahaya ini.
Iris Jiana terus menatap Vian yang tertidur di sofa panjang. Seolah merekam pesona Vian dalam ingatan. Mungkinkah semalaman ia menjaga Jiana?
Helaian rambut Jiana yang terjatuh mengenai wajah, mengusik lelap Vian. Perlahan matanya terbuka. Masih buram hingga ia perlu mengerjap berkali-kali.
"Vian!" seru Jiana ketika tangan Vian merengkuh pinggangnya. Jiana terjatuh di atas tubuh Vian.
"Bukankah kamu harus istirahat? Kenapa malah mengamatiku diam-diam?"
"A-aku tadi terbangun."
"Mimpi buruk lagi?" tanya Vian yang semalaman mendengar Jiana mengigau sambil menyebut nama sang ibu.
"Tidak," jawab Jiana tidak ingat.
"Beristirahatlah lagi. Setelah itu aku antar pulang ke rumah," kata Vian.
"Nggak mau. Aku nggak mau pulang," tolak Jiana.
"Lalu kamu ingin tinggal di sini bersamaku?"
Wajah Jiana memerah. la sedikit memberontak agar terlepas dari pelukan Vian. "Bu-bukan begitu maksudku. Lepaskan."
Pelukan Vian semakin mengerat.
"Vian, biarkan aku pergi," pinta Jiana.
"Bagaimana bisa aku membiarkanmu pergi. Kamu selalu terluka setiap tidak bersamaku," ujar Vian.
Sesaat Jiana bergeming. la menatap Vian dalam-dalam. Semakin berharap cinta kepada Vian, Jiana tersadar jika itu akan sangat menyakitkan.
"Bukankah ketika bersamamu, aku juga terluka?" Ucapan Jiana kontan membuat pegangan tangan Vian melonggar.
TO BE CONTINUED....
Selamat Siang, Lovelies. Kisah Vian dan Jiana kembali hadir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro