Chapter 32 - 💋A man who forbidden to love💋
"Hei, kamu mau ke mana?" Setelah mematikan panggilan dari sang ayah, Vian menarik tangan Jiana untuk menahannya pergi.
"Pulang," jawab Jiana singkat. la masih bersusah payah untuk menyembunyikan rasa malunya selepas berciuman di photobox tadi.
"Masuklah, aku antar!" titah Vian seraya mengambil kunci dari saku lalu berjalan ke kursi kemudi.
"Aku pulang sendiri aja." Penolakan Jiana membuat Vian menghentikan langkah lalu berbalik. Dengan salah satu alis terangkat ke atas dan raut tidak suka, Vian berucap, "kenapa?"
"Ehm, kamu harus menemui Papa kamu 'kan? Sepertinya penting. Lagi pula rumahku dekat, di ujung jalan itu," terang Jiana yang tengah memanjangkan leher sambil menunjuk ke ujung jalan belakang Vian.
Tidak peduli dengan alasan Jiana, Vian masih menatap Jiana lurus -lurus. "Aku tahu mana yang lebih penting. Masuk."
"Ta -tapi.""
"Jiana, kamu tahu aku tidak suka dibantah!" Nada bicara Vian mulai meninggi.
Jiana meneguk saliva lalu menuruti Vian. la masuk ke dalam mobil tanpa membantah, persis seperti anak anjing yang tidak berkutik.
Selama perjalanan, Jiana benar -benar mengunci mulut. Tidak ada sepatah kata yang terucap. Begitu juga dengan Vian yang fokus pada kemudi.
Sesekali Jiana mencuri pandang pada Vian. Wajah tampan dengan sikap kasar yang terkadang menyebalkan itu kembali membuat jantung Jiana berdegup kencang. Vian terlihat menakutkan dan sulit untuk ditaklukkan. Sejak awal Jiana sudah bersusah payah untuk tidak terjatuh dalam pesona Vian. Namun sialnya, ia tidak bisa mengendalikan rasa itu. Jiana sudah jatuh cinta kepada Vian.
"Aku berada dalam masalah besar," gumam Jiana yang belum mengalihkan tatapannya dari Vian.
Meskipun lirih, ucapan Jiana bisa didengar oleh Vian. Menoleh lalu mata mereka bertemu. Kontan wajah Jiana memerah seperti tersiram saus tomat. Vian melepaskan tatapan penuh intimidasi dan membuat napas Jiana tercekat. Sial! Pasokan oksigen dalam paru-paru Jiana mulai menipis kala Vian semakin mengikis jarak di antara mereka. Sekarang Vian berada pada jarak 5 centi dari wajah Jiana.
"Kamu memang akan segera mendapatkan masalah jika tidak lekas turun. Ibumu sudah menunggu di balik jendela." Suara bariton Vian membuat Jiana tersentak.
"Ibu!" Jiana menoleh panik kemudian sedikit mendorong tubuh Vian. "Astaga! Apa yang sudah kamu lakukan?"
"Haruskah aku turun agar kamu tidak kena marah?" Vian menawarkan.
"Nggak perlu!" jawab Jiana tanpa berpikir. Membiarkan Vian masuk sama saja memancing pertengkaran dengan sang ibu. Setelah insiden kemarin, Kenanga meminta Jiana menjauhi Vian. Namun, Jiana tidak mengindahkannya. "Terima kasih, tumpangannya," sambung Jiana yang kemudian bergegas turun dari mobil Vian.
Kening Vian sedikit berkerut saat Jiana menutup pintunya dengan sangat keras. Lantas tatapan Vian melesat pada pribadi Kenanga yang sedang menunggu sang putri dari balik jendela. Tidak ada raut semringah terpancar, hanya resah dan gelisah yang ditampilkan oleh wanita paruh baya itu.
"Kenapa orang tua selalu banyak tingkah dan menyusahkan anaknya?" Vian mencibir. Tidak lama kemudian ia melajukan mobilnya dan pergi.
Jiana setengah berlari sambil sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mobil Vian masih berada di sana. Senyumnya kembali terulas diikuti kedua pipi yang bersemu merah setiap mengingat kebersamaan singkat tadi.
"Astaga! Bonekanya masih di dalam mobil," keluh Jiana menepuk jidat. Napas kasar dilepaskannya dari bibir.
"Dari mana kamu!" tanya Kenanga dengan nada bicara yang meninggi. Tatapan yang semula ditujukan ke arah mobil Vian, kini berpindah ke Jiana.
Tersentak, Jiana sedikit berjingkat. Ekspresi sang ibu tampak luar biasa marah. Ini pertama kali bagi Jiana mendapati Kenanga begitu marah.
"A- Aku tadi makan sebentar, Bu." Jawaban Jiana sedikit terbata-bata. la memilih ujung bajunya untuk mengenyahkan rasa takut.
"Jiana! Bukankah ibu sudah melarang kamu buat dekat sama pria itu! Kenapa kamu nggak nurut!" seru Kenanga sambil berjalan mendekati Jiana.
"Bu, Vian itu atasan Jiana. Nggak mungkin tiba-tiba menjauh tanpa alasan," ujar Jiana dengan nada lembut. "Maaf."
"Hindari dia, Jiana. Kalau masih terlalu sulit, kamu keluar saja dari pekerjaan kamu."
Ucapan Kenanga yang terdengar semena -mena, membuat Jiana tersentak. la tidak tahu mengapa sikap sang ibu kepada Vian berubah drastis. Padahal dulu Kenanga selalu memuji Vian. Bahkan terlihat seperti berharap hubungan mereka lebih dekat dari sekedar atasan dengan bawahan.
"Keluar? Ibu tahu bekerja di The Moon Hotel adalah impianku. Nggak semua orang bisa bekerja di sana. Aku sudah berjuang keras untuk sampai di posisi sekarang," terang Jiana panjang lebar.
"Ibu masih bisa menghidupi kamu dengan layak meskipun kamu menganggur, Jiana!" Tatapan Kenanga tertuju lurus ke arah Jiana. Ketakutan semakin menggerogoti Kenanga ketika teringat percakapan Nawasena dengan Ruby. "Ibu melakukan ini semua demi kebaikan kamu, Jiana."
"Tapi apa alasannya, Bu?" Intonasi Jiana ikut meninggi.
Kenanga membisu seolah kehabisan kata. Tidak mungkin jika ia mengatakan yang sebenarnya. Membahas mengenai Ruby, berarti harus menguak luka lama dan memberitahu status Nawasena sebagai ayah Jiana. Kenanga tidak sudi.
"Cukup turuti ibu, Jiana! Jangan membantah!" Kenanga berteriak, tangannya mengepaI kuat di pinggiran jahitan gaun rumahan yang melekuk tubuhnya.
Mata Jiana terasa panas diikuti buliran bening yang menyelimuti sklera. "Nggak! Aku nggak akan menuruti ibu sebelum ada penjelasan!"
"Jiana, kamu harus menuruti ibu. Ibu ini yang mengandung dan melahirkan kamu! Sudah sepantasnya kamu nggak membantah!" Kedua tangan Kenanga mencengkeram bahu Jiana diikuti matanya yang memerah terlihat Kenanga bersusah payah menahan amarah yang bergejolak di dalam hati.
"Cukup, Bu!" Tangis Jiana pecah. "Selama ini aku sudah berusaha menahan diri untuk menjaga hati ibu." Tangan Kenanga terlepas saat melihat air mata Jiana jatuh melindas pipi. "Aku sama sekali tidak bertanya mengenai Papa. Karena aku tidak ingin membuat ibu menangis." Pipi Jiana basah. la mengeluarkan rasa yang selama ini tertahan di dalam dada.
Sementara itu, Kenanga terkesiap diikuti gerakan tangan yang menutupi mulut. Ternyata selama ini bukan tidak mau tahu, tetapi Jiana menahannya seorang diri.
"Aku tidak pernah tanya kenapa Papa meninggalkan kita. Aku tidak ingin menghakimi ibu jika kenyataannya aku adalah anak haram, tapi kenapa ibu tidak pernah memahami perasaanku?" Bibir Jiana berucap tanpa berhenti. la benar-benar meluapkan semua emosi yang sudah lama mengendap dalam hati.
"Jiana cukup!""
PLAKKK
Tanpa sadar, tangan Kenanga mengayun dan menampar pipi mulus sang putri. Sangat keras hingga bekas kemerahan masih terlihat di sana.
"I-ibu?" Mata basah Jiana terlempar pada Kenanga yang terlihat menyesali perbuatannya.
Bibir dan tangan Kenanga bergetar. Tidak menyangka tangannya bisa begitu ringan menampar sang buah hati. "Ji -jiana maafkan ibu."
Jiana menghempaskan pegangan tangan Kenanga. Tanpa kata Jiana berlari keluar rumah, menerobos guyuran hujan serta mengabaikan panggilan sang ibu yang suaranya bersatu dengan gemuruh petir.
"Jiana! Maafkan ibu. Jiana!" Kenanga mengejar Jiana hingga keluar rumah, tetapi nahasnya ia tersandung dan tidak bisa bangkit lagi. "Jiana! Ibu mohon."
Rintihan dan penyesalan Kenanga terlihat sia-sia, kala punggung Jiana semakin menjauh lalu menghilang. Semua kepercayaan Jiana untuk Kenanga seolah sirna, hanya dengan kemarahan secepat kilat itu.
***
Jiana berteduh di pinggir toko sambil mencari ponsel dalam tas. la menggulirkan jemari di ponsel untuk menghubungi salah satu sahabatnya. Mungkin keberadaan mereka bisa sedikit menjadi penghiburan untuk Jiana.
'Malam ini aku mau ketemu orang tua Jeffry'
Ingatan mengenai perkataan Rossie, membuat Jiana mengurungkan niatnya. la kembali mengetikkan nama Amber di layar ponsel.
'Aku deg-degan banget mau ketemu pacarku. Udah 6 bulan sejak dia kerja di London'
Perkataan Amber juga membuat Jiana batal menghubunginya. Tangannya terkulai lemas. Air mata sedari tadi terus membasahi pipi, bersatu dengan tetesan air hujan dari ujung rambut.
Kaki Jiana mengayun pelan, pergi dari naungan teras toko yang semula melindunginya. Guyuran hujan lantas membasahi tubuh Jiana. la tidak memiliki tujuan.
'Aku tidak akan menghakimi ibu jika kenyataannya aku adalah anak haram'
Rangkaian kalimat itu memenuhi rungu Jiana. Sama sekali tidak menyangka akan mengutarakan isi hati yang sudah lama terpendam dengan cara yang begitu menyakitkan.
"Ah!" Tidak memperhatikan jalanan yang berlubang, Jiana jatuh tersungkur. Kedua sandalnya putus. Entah mengapa ia memiliki garis hidup yang begitu nelangsa. Sungguh menyedihkan.
Dengan tertatih, Jiana kembali berjalan sembari menahan rasa sakit di telapak kaki saat menginjak kerikil tajam. Pun rasa itu bercampur dengan perih di lutut. Celana Jiana robek karena tergores jalanan berlubang tadi. Sekarang hati dan tubuh Jiana sama-sama terluka. Sungguh penderitaan yang sempurna.
la terus melangkah dengan tatapan kosong, tanpa mengindahkan sekitar. Hingga teriakan orang yang memperingatinya tidak terdengar sama sekali.
Suara klakson semakin menjerit diikuti pergesekan ban dan jalanan akibat di rem. Lampu kendaraan yang menyorot membuat Jiana menoleh lantas mengernyit. Sebuah mobil melaju ke arahnya. Meskipun samar, terlihat sang pengemudi kepayahan mengendalikan laju mobil karena hujan yang deras.
Jiana memilih berhenti di tempat. Mungkinkah ini saat yang tepat untuk mengakhiri hidup? Melepaskan semua derita yang sedari kecil menemaninya. Menghapuskan gelar anak haram yang sedari lama selalu menghantui. Meninggalkan kemalangan cinta yang seolah muak pada Jiana.
Tubuh Jiana terasa tertarik ketika mobil itu semakin mendekat dengan suara rem yang menyakiti gendang telinga. Jiana terjatuh, tetapi kali ini bukan aspal yang menjadi alasnya. Melainkan ....
"Apa kamu sudah gila!"
"Vi-Vian," sebut Jiana saat menyadari sedang berada dalam pelukan Vian. Pria berbahaya yang sudah membuat Jiana jatuh cinta.
TO BE CONTINUED ....
Selamat sore, Lovelies. Kisah Jiana dan Vian hadir lagi, selamat membaca ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro