
Chapter 31 - 💋 Heartbeat💋
"Kenapa kamu tidak memakannya?" Mata Vian tampak memicing ke arah Jiana. Tangannya bersedekap sambil menyandarkan punggung di kursi.
Arsitektur yang megah dan layak dikagumi seketika sirna di benak Jiana ketika mendapatkan tatapan yang menyeramkan dari Vian. Ia meneguk ludah sembari memerhatikan pastry perpaduan croissant dan bomboloni yang tengah viral itu. Topping matcha dan cokelat favorit Jiana terasa menggoda. Namun, perutnya sudah terasa penuh karena sudah menyantap dua buah makanan tersebut saat makan siang tadi.
Tidak ingin membuat Vian marah, Jiana mengambil pastry tersebut lalu menyantapnya. Perut Jiana yang terasa penuh seolah menolak makanan itu untuk ditelan. Ia bersusah payah mengunyang lalu mendorongnya ke dalam lambung, tetapi gagal. Jiana tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajah yang ingin muntah.
Ia meletakkan cromboloni yang hanya termakan sedikit itu, kemudian meneguk air mineral untuk mendorong sisa makanan dari kerongkongan.
Mata Vian berputar, ditujukan lurus pada Jiana. Salah satu alisnya terangkat ke atas sambil kembali mengingat ekspresi Jiana yang 360 derajat berbeda. Saat makan siang tadi, Jiana terlihat bahagia saat menikmati makanan itu. Bahkan tidak jarang tersenyum renyah ketika tertawa dengan pria yang menurut Vian tidak lebih tampan dari dirinya.
"Maaf, aku tidak bisa menghabiskannya," ucap Jiana. Ia tidak ingin memaksakan diri lalu berujung muntah di tempat.
"Kenapa? Apa tidak enak?" tanya Vian.
"Enak, ini sangat enak. Tapi perutku sudah sangat kenyang, aku tidak bisa melanjutkannya." jawab Jiana dengan jujur.
Vian lantas bergeming tanpa mengalihkan tatapannya dari Jiana. Dalam benak, ia mencoba menganalisa pria yang tadi siang bergurau dengan Jiana. Pria itu hanya seorang staf dengan kedudukan jauh di bawah Vian. Wajah pas-pasan, serta postur yang tidak begitu tinggi. Jika dibandingkan dengannya, Vian jauh lebih unggul dari segala sisi. Namun, mengapa Jiana tampak lebih nyaman bersama pria itu? Bahkan senyuman yang terukir di bibir Jiana jauh lebih indah dibandingkan saat bersamanya.
Menyadari ekspresi Vian yang mulai kesal, Jiana memegang tangan pria itu ketika akan mengambil minuman sambil tersenyum lebar. Vian melirik pergerakan tangan Jiana tanpa mengubah ekspresi dinginnya.
"Mau pergi ke pasar malam?" Spontan Jiana berceletuk tanpa memperdulikan peringatan sang ibu untuk segera pulang setelah bekerja.
"Pasar malam? Apa itu?" tanya Vian tidak paham.
"Seperti taman bermain di malam hari. Ada banyak wahana di sana." Jiana menjelaskan dengan antusias.
"Aku tidak suka permainan seperti itu. Kekanakan," tukas Vian sambil menarik kembali tangannya.
Tidak putus asa, Jiana bangkit dari duduknya lalu menarik tangan Vian untuk berdiri. "Ayolah, ini akan mengasyikkan."
Entah apa yang membuat pertahanan Vian melunak. Dengan mudah ia berdiri dan mengikuti langkah Jiana keluar kafe. Ia seperti terhipnotis dengan rupa Jiana yang tampak menggemaskan ketika mengajaknya. Mata sayu Jiana mendadak menjadi bulat dan berbinar saat berceloteh penuh semangat mengenai wahana malam tersebut.
Kerlap-kerlip lampu kecil menjadi pemandangan pertama yang menyambut kedatangan Vian. Riuh suara orang yang berlalu-lalang sambil menikmati permen harum manis mampu menarik perhatian Vian. Bianglala yang berada di depannya serta carousel yang berputar pelan seolah mengingatkan kembali masa kecil Vian sebelum pindah ke negeri tetangga.
Tawa riang seorang anak kecil yang merengek minta digendong sang ayah menghidupkan kembali kenangan indah yang sempat membeku dalam memori Vian.
"Papa aku mau beli itu!" Rengekan anak laki-laki berusia 6 tahun itu menarik perhatian Vian sepenuhnya. Adegan itu sangat mirip ketika Vian meminta Aditama untuk membelikan mainan kapal untuk hadiah ulang tahunnya.
Perlahan memori Vian bergerak seperti puzzle yang menyatu. Ingatan yang sudah membeku itu mulai mencair, kembali berputar dalam benak Vian.
"Vian! Untuk apa kamu mengajak Papa ke tempat kumuh seperti ini? Papa bisa memberikan mainan yang mahal untukmu! Ayo kita pulang! Buang-buang waktu saja!"
"Tapi, Pa aku mau itu untuk hadiah ulang tahunku," rengek Vian sambil menoleh ke mainan sederhana itu. Sementara kaki kecilnya terpaksa melangkah mengikuti tarikan sang ayah.
"Biar asisten Papa yang mencarikan nanti. Kamu ini buang-buang waktu Papa yang berharga saja!" seru Aditama tanpa memperdulikan rengekan Vian.
"Tapi aku mau Papa yang membelikannya langsung. Aku cuma mau mainan yang murah itu agar tidak menyusahkan Papa. Aku hanya ingin Papa menemaniku sebentar di hari ulang tahunku, hanya sebentar saja tidak lebih," batin Vian sambil menahan tangisannya. Ia selalu mengingat perkataan Aditama, jika anak laki-laki tidak boleh menangis dan cengeng. Vian selalu mengingat kalimat itu karena tidak ingin dibenci oleh sang ayah.
"Ah! Vian! Aku mau boneka besar itu!" Seruan Jiana sekaligus sentuhannya di bahu, membuat memori Vian mengabur begitu saja.
Pria itu menoleh kepada Jiana lalu mengikuti arah jari sang wanita yang menunjuk pada permainan lempar bola. Ada banyak boneka pororo berukuran besar yang tertata manis di rak sekitar permainan.
"Memangnya kamu bisa?" tanya Vian ragu.
Kepala Jiana menggeleng. Senyumnya yang merekah seperti bunga di musim semi masih senantiasa terukir di wajah. "Bukan aku yang main, tapi kamu."
"Aku?" Seketika Vian terhenyak.
"Iya, tentu saja. Ayolah aku mohon, please!" pinta Jiana dengan sepasang mata yang membulat seperti anak rusa.
"Tidak. Kamu harus berusaha mendapatkan apa yang kamu mau," ujar Vian tidak peduli.
Bibir Jiana mengerucut kesal. "Bilang saja kalau kamu tidak bisa. Ck... kalau aja aku sama Ady, pasti bisa dapat boneka pororo itu.
Mata Vian berkilat sambil melirik tajam ke arah Jiana ketika mendengar nama asing itu. Apa mungkin itu adalah nama pria yang siang tadi asyik membuatnya tertawa seperti wanita gila?
"Aku bisa mendapatkan 10 boneka untukmu." Tiba-tiba Vian berjalan ke area permainan sambil menggulung lengan kemeja hingga ke siku. Jiana yang melihatnya tersenyum kegirangan seraya membuntuti Vian.
"Semangat semangat, aku akan mendukungmu!" seru riang Jiana diikuti lompatan kecil.
Vian mengamati satu ember yang dipasang sejajar dengan pinggangnya itu lurus -lurus. Fokus dikumpulkan sebelum melempar bola yang berada di genggaman. Sementara itu Jiana setia berdiri di samping Vian penuh harap. Sebelum bisa memeluk boneka Pororo itu, Vian harus memasukkan tiga bola ke dalam ember.
"Yes!" Jiana melompat kecil saat Vian berhasil memasukkan satu bola ke dalam ember.
"Hore!" Bola kedua berhasil dimasukkan. "Satu lagi!" Jiana bersorak riang.
Sedikit membungkuk, Vian mengayunkan tangan dari atas untuk membidik sasaran. la sangat berkonsentrasi agar menang. Well, siapa yang mau dipermalukan di depan Jiana?
"Yes! Kamu hebat!" Jiana berteriak kegirangan seperti anak kecil yang kemauannya dituruti oleh orang tua. Sementara Vian tersenyum tipis sambil sedikit membusungkan dada.
"Silahkan ini bonekanya," ucap penjaga permainan tersebut sambil memberikan satu boneka Pororo kepada Jiana.
"Terima kasih banyak." Senyuman Jiana merekah saat memeluk boneka penguin berkacamata itu dengan erat. "Lembut sekali ," tambahnya sambil menggosok- gosokkan pipinya di kepala boneka.
Vian melirik ke arah Jiana sambil berjalan pelan, "apa kamu begitu senang?"
"Tentu saja. Aku bisa mendapatkan boneka besar ini. Aku sangat bahagia," jawab Jiana sembari memeluk bonekanya sangat erat. Lalu ia berdiri di depan Vian, menghadangnya, "terima kasih."
Kedua sudut bibir Jiana tertarik ke atas, menciptakan senyuman lepas yang dihaturkan kepada Vian. Mata Jiana berbinar terang dengan latar belakang biang lala yang berputar pelan serta langit hitam bertabur bintang. Jiana terlihat sangat bahagia.
Waktu seolah berhenti sejenak. Vian merasa ada yang aneh dengan hatinya. Entah mengapa ia lebih menyukai Jiana yang tersenyum seperti ini dibandingkan saat wanita itu merintih Sambil mengaduh di bawahnya. Aneh.
"Eh! Ma-maaf, saya terburu-buru."
Kontan Vian merengkuh pinggang Jiana yang nyaris terjatuh karena tertabrak seorang pria dari arah yang berbeda. Wajah Jiana seketika memerah saat matanya bersirobok dengan Vian. Sepasang iris gelap yang terbiasa menatap tajam penuh intimidasi itu berhasil membuat jantung Jiana berdetak dengan kencang. Mata pria itu seolah memancarkan mantra untuk membuat Jiana terjatuh dalam cinta yang terlarang. Mencintai Vian adalah larangan yang mustahil untuk tidak dilanggar.
"Ma-maaf!" Tersadar sudah lama berada dalam pelukan Vian, Jiana mundur beberapa langkah untuk melepaskan mereka. Kemudian ia celingukan untuk mencari topik agar terlepas dari suasana yang mendadak canggung. "Ah! Ayo kita foto di sana!"
Vian menoleh, mengikuti arah jari Jiana yang menunjuk pada photobox. Belum sempat mengiyakan. Jiana menarik tangan Vian lalu berlari kecil masuk ke dalam tempat foto kecil itu.
"Senyum dong!" titah Jiana ketika Vian berpose dengan kaku. la tidak terbiasa bergaya konyol dengan senyuman narsis. "Padahal kamu lebih tampan jika tersenyum."
"Kamu saja yang senyum, aku tidak terbiasa," tukas Vian menolak. Alih -alih menunjukkan senyuman, Vian lebih sering menunjukkan tampang serius ketika tertangkap kamera.
"Ish!" Jiana mendesah jengah. "Baiklah kalau begitu."
Tidak kehilangan akal, Jiana menarik kedua sudut bibir Vian dengan tangan. Sontak Vian terhenyak dengan mata membulat dan senyuman terpaksa ala Joker.
"Nah, senyum!" Jiana meringis puas bisa mengerjai Vian yang terkadang menyebalkan. Bahkan kemungkinan hukuman di red room sama sekali tidak terfikirkan olehnya.
"Jiana hentikan!" Rengekan Vian diabaikan oleh Jiana.
Lantas Vian mendorong tubuh Jiana hingga menyentuh tembok. Tangannya dengan cepat memegang kedua pergelangan Jiana.
"Lepaskan aku." Jiana meronta..
"Kamu tidak akan bisa terlepas dariku." Suara bariton Vian membuat Jiana tidak berkutik. Lebih tepatnya, kuluman bibir Vian yang langsung melahap bibir Jiana tanpa ampun. Vian terus menghisap bibir wanita itu hingga bengkak.
Napas mereka saling bersahutan. Kecupan Vian semakin brutal tanpa memperdulikan di mana mereka berada. la terus melahap bibir Jiana sambil memasukan lidahnya. Sesekali ia memijat dada Jiana. Namun, Jiana masih cukup waras untuk tidak melakukan tindakan senonoh itu di depan umum.
Menggelengkan kepala untuk terlepas dari ciuman Vian sambil berusaha melepaskan pegangan kuat sang pria.
"Tu-tunggu," ujar Jiana sambil terengah. Dadanya naik turun, bersusah payah mengais oksigen di udara. Begitu pula dengan Vian yang juga terengah tanpa mengalihkan pandangan sedetik pun dari Jiana. "Tolong lepaskan aku.""
Vian menurut. Pergelangan tangan Jiana terlepas lalu mengayun untuk mengelus pipi Vian pelan. la menatap pria itu lekat -lekat. Jantung Jiana semakin sulit dikendalikan. Pun perasaannya. Semakin ia berusaha menolak rasa itu, cinta kian tumbuh dalam hati. Jiana takut jatuh cinta dan sakit hati pada akhirnya. Apalagi bersama Vian yang sudah memberi larangan dari awal. Namun, Jiana menyerah. la telah jatuh hati pada pria berbahaya itu.
"Aku lebih suka ciuman yang seperti ini." Jiana mendekat lalu mengecup bibir Vian dengan lembut dan pelan. "Ciuman yang tidak menyakiti hati, dan membuatku merasa lebih dihargai."
Perkataan Jiana membuat Vian bergeming. la bisa melihat kebahagiaan terbungkus lara dalam pantuan bola mata Jiana.
"Permisi!"
Suara orang lain dari luar photobox membuat Jiana salah tingkah. Segera ia bangkit dari duduknya dan keluar dari photobox dengan wajah memerah. "Silahkan, mohon maaf menunggu lama."
Sementara itu Vian tidak langsung mengejar Jiana. la keluar dari photobox sambil mengamati hasil foto mereka. Sesekali ia melemparkan tatapan pada punggung Jiana yang semakin menjauh. Jantungnya berdetak aneh. Vian merasa tidak ingin Jiana pergi jauh.
TO BE CONTINUED....
Selamat siang, Lovelies. Kisah Jiana dan Vian kembali lagi, selamat membaca ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro