Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 28 - 💋The truth untold💋

Mata Jiana memejam perlahan ketika hangat bibir Vian mengulum disisipi hisapan yang semakin menguat. Tangan kekar Vian ikut merangkum wajah Jiana, mencari posisi ternyaman untuk memagut bibir merah jambu dengan tambahan rasa es krim vanila itu. 

Bibir mereka saling beradu diikuti belitan lidah yang menari indah di dalam sana. Bulu kuduk Jiana yang meremang semakin tegak karena tiupan angin malam yang terasa mencubit kulit. Jantungnya kian bergemuruh menemani hasrat yang berbaur dalam lumatan basah penuh gairah. 

Kecupan Vian yang semakin membabi buta dibalas oleh Jiana dengan sepenuh hati. Pun relung hati Vian teraa mendesir ketika lembut bibir Jiana menyapu bibirnya. Seperti aa raa aneh yang tiba-tiba menggulung liar di hati Vian. Ciuman ini bukan sekedar nafsu belaka. 

Jemari Jiana yang semula mengalung di leher Vian kini berpindah pada kancing kemeja dan bersiap untuk melucutinya. Hasrat yang semakin pekat membuat Jiana tidak peduli dengan sekitar. Masa bodoh jika harus bercinta di dalam mobil. Sekarang ia hanya ingin dihenta oleh Vian. Mencapai the big ‘O’ dengan kenikmatan di luar nalar. Well, harus diakui jika Jiana ketagihan akan ha tersebut. 

Tarian bibir mereka tiba-tiba terhenti ketika Vian menunduk sambil mengatur napasnya yang terengah. Jiana ikut menunduk, mengamati tubuh bagian bawah yang masih terbungkus busana. 

Di luar dugaan, Vian kembali ke kursinya tanpa menjamah tubuh Jiana. Ia membuang muka lalu membuat Jiana berada di situasi yang canggung. 

Wajah Jiana mendadak tegang tanpa mengubah posisi sedikitpun. Ia hanya memandang Vian dan menunggu perintah dari pria tersebut. Tidak mungkin jika Jiana bertanya kenapa Vian tiba-tiba berhenti atau kembali ke posisi semula seperti tida terjadi apa-apa. 

“Rapikan bajumu, kita pulang,” ucap Vian beberapa detik kemudian. Atap mobil menutup seperti semula lalu melaju dengan kecepatan rata-rata. 

Hening tanpa suara seolah membunuh Jiana kala itu. Vian mendadak berubah menjadi robot yang kehabisan kosa kata. TIdak ada satu kata yang terucap dari bibirnya. Bahkan melihat ke arah Jiana saja seperti tidak sudi. 

“Su-sudah sampai ternyata,” kata Jiana sesaat setelah mobil Vian berhenti di depan rumah. “Terima kasih, aku pulang dulu.” 

Vian tidak menjawab, hanya membuka kunci mobil sebagai isyarat agar Jiana segera keluar dari mobilnya. 

Tidak ingin terlihat semakin canggung, Jiana segera turun dari mobil Vian dan setengah berlari masuk ke dalam rumah. Tampak mobil Vian langsung melaju setelah itu. 

“Kenapa dia? Apa aku buat kesalahan?” gumam Jiana lirih. “Apa ciumanku sepayah itu sampai membuatnya marah? Perasaaan biasanya ciumanku bisa membuat Vian makin bergairah. Kenapa sih dia? Dasar cowok aneh!” kesal Jiana sambil menghentakkan kakinya dan bergegas naik ke kamar. 

Sementara itu, Vian masih melajukan mobilnya dengan kecepatan yang semakin tinggi untuk membelah jalanan menuju Denpasar. Tangan Vian perlahan mengerat di kemudi dan membayangkan rasa aneh yang tiba-tiba menyelimuti hati. Ia berdesir ketika mencium Jiana. Gelenyar aneh menjalar ke setiap sara tubuh Vian, seperti tersengat listrik. 

“Ah, apa aku sedang tidak enak badan ya?” tanya Vian kepada diri sendiri. 

Alih-alih melajukan mobilnya ke rumah, Vian memutar arah menuju ke klinik dokter keluarga yang menangani kesehatan seluruh anggota keluarga Aditama. Setelah tiba di depan lobi dengan lampu putih yang menyala terang, Vian bergegas turun dari mobil dan menemui dokter Surya. 

“Vian, ada apa malam-malam kesini?” tanya Dokter Surya yang baru selesai membaca rekam medis salah satu pasien. 

“Aku butuh diperiksa,” pinta Vian dengan raut wajah sungguh-sungguh. 

“Periksa? Kamu sakit?” Sontak dokter Surya memeriksa suhu tubuh Vian. Lantas dokter Surya mengernyitkan dahinya ketika suhu tubuh Vian normal. “Ke ruanganku sekarang.” 

Menunda kepulangannya, Dokter Surya segera membawa Vian ke dalam ruang periksa. Meraih stetoskop lalu ia memeriksa detak jantung Vian yang terdengar normal. 

“Semuanya normal, apa yang kamu rasakan?” 

“Tadi tiba-tiba saja dadaku berdebar. Apa mungkin aku mendadak terkena tachycardia?” tanya Vian dengan wajah kelewat serius. 

Dokter Surya mengulum senyum lau melepaskan stetoskopnya. “Mungkin saja.” 

“Kalau begitu kamu harus mengobatiku. Aku punya banyak pekerjaan, tidak mungkin jika harus sakit,” titah Vian yang membuat Dokter Surya semakin terkekeh. 

“Kapan detak jantungmu jadi cepat?” tanya Dokter Surya. 

Vian terdiam sesaat lalu membuka suara. “Saat aku dekat dengan seorang wanita.” 

“Sedekat apaa?” Dokter Suryaa menyelidik. 

“Hassh! Aku serius!” seru Vian turun dari bed periksa. 

“Aku juga serius. Seperti anatomi berpelukan, jantung mereka saling menempel, seolah detak jantung keduanya tersambung,” terang dokter Surya. “Selain itu, berpelukan bisa meningkatkan hormon dopamin, hormon yang membuat seseorang merasa senang.” Dokter Surya menjeda ucapannya sesaat seraya mengamati perubahan raut wajah Vian. “Kamu sedang kasmaran? 

“Kasmaran? Omong kosong,” cicit Vian sambil berlalu. Kedua pipi pria itu memerah, seperti tersapu blush on. “Akan aku minta Papa mengganti dokter yang tidak pandai sepertimu.”

Alih-alih tersinggung, dokter Surya hanya mengulas senyum. Well, ia sudah terbiasa dengan perlakuan dari ketujuh putra Aditama yang sangat beragam. “Vian, kurangilah mengkonsumsi obat tidur!”

Suara Dokter Surya menghentikan langkah Vian. Ia baru sadar jika beberapa hari ini sudah tidak bergantung pada obat tidur untuk terlelap. 

“Aku sudah bisa tidur tanpa obat.” Ucapan Vian membuat Dokter Surya menghampirinya dengan antusias. 

“Benarkah? Sejak kapan?” tanya Dokter Surya ingin tahu. 

“Entahlah,” jawab Vian yang tiba-tiba di benaknya dipenuhi oleh rupa Jiana. Ia mulai menerka sejak kapan tidak bergantung dengan pil tidur. Apakah sejak Jiana membuatkan susu hangat sebelum ia tidur, lalu menjadi kebiasaan? Atau sejak wangi lavender pemberian Jiana selalu membuatnya tenang sebelum terlelap? 

“Kamu melakukan terapi seperti yang aku sarankan?” Dokter Surya coba menebak. 

“Tidak. Seseorang memberiku lilin aromatherapy,” terang Vian sedikit gamang. Bagaimana bisa ia baru menyadari perubahan besar yang terjadi pada dirinya? 

“Hanya itu saja?” tanya Dokter Surya memastikan. 

“Yah, hanya itu saja,” terang Vian. Menghirup aroma lavender dan menghangatkan tubuh sebelum berbaring menciptakan rasa tenang yang membuatnya lebih rileks. 

“Saat kamu ingin tidur lupakan semua hal yang sudah berlalu. Anggap kamu sedang membuka lembar baru bukumu dan bersiap menyambut kisah yang lebih bahagia di hari berikutnya.” Perlahan suara Jiana mengalun di telinga Vian. Kalimat yang sempat diucapkan olehnya seperti mantra penghantar tidur yang membuat Vian merasa semua akan baik-baik saja. 

Tanpa berpamitan, Vian segera pergi meninggalkan Dokter Surya yang masih sedikit kaget dengan pengakuan darinya. 

“Wanita mana yang mampu mendobrak dinding hati Vian?” gumam Dokter Surya sambil melipat tangan di depan dada. Matanya masih mengamati Vian dari balik jendela klinik. “Aku harap kondisinya bisa cepat membaik.” 

***

“Wortel, Tomat, Kentang, Selada, sama cabai sudah. Jiana, sudah ambil wijennya belum?” tanya Kenanga sambil memeriksa kembali bahan belanjaan di dalam troli. Tidak mendapatkan sahutan dari sang putri, Kenanga mendongakan kepala dan mendapati Jiana sedang melamun. “Jiana! Kamu dimintai tolong ibu kok malah ngelamun sih!” seru Kenanga sedikit menaikkan intonasi. “Jiana!” 

“Eh iya, Bu. Tadi Ibu minta apa? Buncis ya?” Jiana terbeliak lalu celingukan ke kanan dan kiri untuk mencari buncis. 

“Buncis buncis, minyak wijen. Lagian kamu ngelamunin apa sih?” Kenanga berjalan melewati Jiana kemudian mengambil minyak wijen dari rak belakang sang putri. 

“Maaf, Bu,” tutur Jiana lemah. 

“Kamu lagi nggak enak badan?” tanya Kenanga seraya mengamati wajah Jiana yang kuyu. 

“Nggak kok. Aku baik-baik aja.” Menggelengkan kepala lalu Jiana meringis, memamerkan deretan giginya yang rapi kepada sang ibu. “Ehm, apalagi yang kurang?” Jiana mengambil catatan belanja dari tangan Kenanga lalu memeriksa barang yang tidak ada di troli. “Merica belum ada ya, aku ambilin,” ujar Jiana yang langsung berlari ke rak bumbu. 

“Anak itu kenapa sih?” Kenangan mengamati Jiana sambil menggelengkan kepalanya heran. 

“Merica…merica….ah ini dia.” Jiana memeta tatanan rak bumbu untuk mencari merica. Setelah mendapatkannya, Jiana mendesah. “Hah, ini gara-gara Vian si cowok aneh! Sampai aku nggak bisa tidur!” umpat Jiana. 

Memikirkan alasan sikap Vian yang mendadak berubah, membuat Jiana terjaga semalaman. Bukan karena kecewa Vian tidak menghentaknya. Melainkan sifat Vian yang tiba-tiba menghindar dari Jiana. 

“Napasku juga nggak bau kok kemarin. Hah hah!” Jiana mencium aroma napasnya melalui telapak tangan. “Ah tau ah! Bodo amat! Lihat aja, aku nggak bakalan mau diajak ketemu sama dia.” 

“Aduh!” Jiana terjatuh saat seorang pria tegap menabrak dirinya. 

“Astaga! Maaf! Nona baik-baik saja?” 

“Hash!” Jiana menahan rasa hangat yang perlahan menyelinap di balik fabric. Ia bangkit sambil mengibaskan bajunya yang basah tersiram kopi hitam. 

“Astaga. Maaf tadi saya terburu-buru,” ujar seorang pria paruh baya dengan setelan rapi lengkap dengan dasi yang melilit leher. 

“Nggak apa-apa, Pak. Biar nanti saya bersihkan sendiri,” ucap Jiana sedikit ragu. Well, meskipun sulit, Jiana berharap baking soda sang ibu bisa memudarkan noda tersebut. 

“Jiana, kamu kenapa Nak?” Suara Kenanga membuat Jiana menoleh. 

“Nggak apa-apa, Bu. Tadi nggak sengaja Om ini nabrak aku,” jelas Jiana sambil melemparkan tatapan kepada Nawasena. 

Kontan mata Kenanga membulat saat melihat rupa Nawasena. Begitu pula dengan Nawasena yang memberikan reaksi serupa. 

Melihat reaksi sang ibu dan pria asing itu, Jiana berceletuk, “Ibu kenal Om ini?” 

“Nggak!” 

“Iya, kami kenal.” 

“Ha?” Dahi Jiana berkerut mendengarkan jawaban berbeda dari Kenanga dan Nawasena. “Jadi, saling kenal atau tidak?” 

“Ah, kamu melupakanku Kenanga? Bukankah kita teman sewaktu sekolah?” ucap Nawasena yang membuat Kenanga semakin mendelik tidak terima. Lantas Nawasena menoleh kepada Jiana. Ia memperhatikan rupa sang putri lekat-lekat sembari mengulas senyuman tipis. “Ternyata putrimu sudah dewasa.” 

“Eh, maaf sepertinya anda salah orang. Ayo Jiana.” Tanpa basa-basi, Kenanga meraih tangan Jiana lalu membawanya pergi. 

“Bu! Ibu pelan-pelan, sakit,” rintih Jiana yang kemudian mengikuti langkah Kenanga. Sesekali ia menoleh ke arah Nawasena yang masih setia memandangi Jiana tanpa jeda. 

“Ibu sudah bilang jangan bicara sama orang asing!” seru Kenanga dengan nada kesal saat Jiana berhasil melepaskan cengkraman tangannya. 

“Bu, aku bukan anak kecil. Aku sudah dewasa dan bisa jaga diri,” tukas Jiana yang ikut kesal dengan perlakuan sang ibu. “Lagi pula orang itu tidak terlihat jahat. Dia hanya minta maaf karena nggak sengaja nabrak aku.” 

Tangan Kenanga spontan mencengkram kedua bahu Jiana. “Darimana kamu tahu kalau orang itu tidak jahat, ha? Jangan asal kamu menilai orang Jiana!” 

“Ibu sakit!” Jiana menghentakkan tangannya dari Kenanga. “Ibu kenapa sih semarah ini?” 

Kenanga terdiam, bibirnya mendadak terkunci dengan jawaban dari Jiana. Sesaat ketakutan menyerang hati Kenanga karena melihat Nawasena sudah bertatap muka dengan Jiana. Ia tidak ingin Nawasena bertemu dengan Jiana dan berikrar jika mereka memiliki hubungan sebagai ayah dan anak. Kenanga terlampau takut Jiana mengetahui siapa ayah kandungnya kemudian Nawasena membawanya pergi. 

“Ibu bayar belanjaan dulu, kamu tunggu di parkiran.” Kenanga menarik troli lalu berjalan melewati Jiana begitu saja. 

Menghela napas, lantas Jianna menuruti perintah sang ibu tanpa banyak protes. Sungguh energi Jiana sudah terkuras karena terlalu banyak menduga sikap Vian yang tiba-tiba berubah. Sekarang malah harus menghadapi sikap sang ibu yang aneh. 

Saat akan berjalan ke parkiran motor, atensi Jiana tertarik pada seorang kakek yang berjualan kerupuk di seberang jalan. Melihat langkahnya yang tertatih sembari berusaha melindungi diri dari terik mentari dengan topi lusuh, membuat Jiana kasihan. 

Tanpa berpikir dua kali, Jiana setengah berlari menyebrangi jalanan yang lengang. Namun, di luar perhatian Jiana, sebuah mobil melaju dengan kecepatan kencang ke arahnya. Mata Jiana membola tanpa bisa menggerakkan kakinya untuk berlari. Ia hanya mematung sambil membiarkan sebuah mobil hitam pekat mendekat. 

DUARRR! 

TO BE CONTINUED…. 

Selamat siang, Lovelies. Jiana dan Vian kembali hadir, selamat membaca^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro