Chapter 22 - 💋The Red Heels💋
Pandangan Nawasena tertuju di pintu masuk The Moon Hotel. Gapura setengah lingkaran berhias tanaman rambat memantul di kornea Nawasena. Jemarinya mengetuk paha, masih memikirkan perkataan Kenanga beberapa jam yang lalu.
"Tuan, itu Nona Jiana,” ucap sopir sekaligus tangan kanan Nawasena seraya melihatnya dari pantulan spion. Tidak mendapatkan respon dari sang tuan, Jaka kembali bersuara sambil menoleh, "Tuan, haruskah kita ikuti?”
“Ha, apa yang kamu katakan?” Nawasena tersentak. Rupanya ia tengah melamun hingga tidak sadar Jiana sudah melintas.
“Nona Jiana sudah lewat, Tuan. Haruskah kita ikuti?” Jaka mengulangi ucapannya.
Nawasena memanjangkan leher hingga mendapati motor matic Jiana semakin menjauh. "Ikuti dia, jangan sampai kehilangan jejak!”
"Baik, Tuan.” Jaka buru-buru melajukan mobil untuk mengikuti Jiana.
Selama mobilnya membelah jalanan Seminyak yang tidak padat, benak Nawasena kembali berselancar. Mengumpulkan puing-puing kenangan bersama Kenanga. Masih teringat dengan jelas wajah kaget Kenanga ketika Sherly datang dengan perut yang membuncit.
Pengakuan Sherly mengenai ayah biologis dalam kandungan, semakin membuat Kenanga hancur. Kala itu Nawasena masih bisa berkilah, meskipun Sherly adalah mantan kekasihnya. Namun, bibir Nawasena langsung terkunci ketika melihat hasil tes DNA.
“Maafkan Papa, Jiana.” Jemari Nawasena meremas kuat ketika melihat Jiana berhenti di pinggir jalan untuk membeli rujak potong.
Wajahnya yang sangat antusias mengingatkan pada Kenanga. Dulu wanita itu kerap merengek untuk dibelikan rujak potong pinggir jalan dengan banyak mangga. la tidak menyangka jika keinginan Kenanga merupakan tanda kehamilan.
Mata Nawasena terus mengamati senyum Jiana dari kejauhan. "Senyumnya sangat mirip dengan Kenanga. Kamu sangat mirip dengan ibumu,” celetuk Nawasena.
"Tapi tingginya seperti anda, Tuan.” Jaka yang sedari tadi ikut mengamati Jiana tiba-tiba bersuara.
"Benarkah?” Seutas senyuman terukir di wajah Nawasena.
“Iya, Tuan. Selain itu Nona Jiana tidak bisa mengonsumsi makanan pedas seperti, Tuan.” Jaka menambahkan. Well, cukup lama Jaka mengikuti Jiana. Sehingga wajar jika tahu kesukaan Jiana.
Nawasena sedikit terkejut, lalu senyuman mengembang di wajahnya. Kembali ia menoleh pada Jiana yang sudah naik ke motor. Beberapa saat kemudian, kening Nawasena berkerut ketika mendapati pribadi Vian turun dari porsche dan menghampiri sang putri.
"Bukankah itu Vian? Putra Aditama?” tanya Nawasena.
"Benar, Tuan,” jawab Jaka. “Nona Jiana sering menghabiskan waktu bersama Tuan Vian. Saya belum sepenuhnya yakin dengan hubungan mereka. Jadi, saya belum memberitahu Tuan,” terang Jaka.
“Cari tahu hubungan mereka,” pinta Nawasena. Nama Ruby yang muncul di layar ponsel menarik atensinya. la mengabaikan sejenak. "Apa Ruby tahu hubungan mereka?”
"Saya kurang tahu, Tuan.”
"Cari tahu secepatnya,” tandas Nawasena. “Semoga Ruby tidak mengetahui hubungan mereka.”
"Baik, Tuan.”
"Antarkan aku ke rumah,” tukas Nawasena seraya menggulirkan jemari untuk menerima panggilan Ruby.
***
“Vian, sambutan macam apa ini?” tanya Ruby ketika mendapati Vian memandanginya dengan sinis.
Meletakkan ponsel di meja lalu Vian kembali melemparkan punggung di sofa teras rumah. Angin sepoi -sepoi menerbangkan beberapa helai rambutnya diiringi suara lembut dari ombak pantai.
"What do you expect, Ruby?” (Apa yang kamu harapkan, Ruby?) Vian menatap malas rupa Ruby. "Aku berdiri dan memelukmu?” Tidak lama kemudian Vian terkekeh. “Jika bukan karena Papamu, aku tidak sudi melihat wajahmu lagi.”
"Vian, kenapa kamu jadi sedingin ini?”
Salah satu alis Vian terangkat. “Aku dari dulu seperti ini. Cepat katakan keperluanmu, karena aku sibuk.”
"Kamu mau pergi?” Ucapan Ruby terjeda sesaat. "Dengan Jiana?” lanjut Ruby membuat praduga. la sempat membuntuti Vian dan melihatnya menemui Jiana di pinggir jalan. "Kamu punya hubungan spesial dengannya?” Susah payah Ruby merangkai kalimat tersebut, kemudian melafalkannya.
Sorot mata Vian terlempar kepada Ruby seperti pisau tajam yang menghunus sanubari. "Bukan urusan kamu!” Vian melirik waktu pada arloji di pergelangan dan bersiap pergi. “Kalau tidak ada yang mau kamu bicarakan, aku pergi.”
"Tunggu! Vian, aku minta maaf,” ucap Ruby seraya duduk berhadapan dengan Vian. "Mungkin kita tidak bisa menjadi suami istri, tetapi setidaknya kerjasama perusahaan bisa tetap berlanjut.”
Vian tersenyum kecil seraya meneguk minumannya. "Kamu sudah tahu jawabannya, Ruby.”
"Aku tahu. Kak Narendra juga bilang semua keputusan tergantung dirimu. Maka dari itu aku datang,” tukas Ruby sembari melirik ponsel Vian yang tergeletak bebas. la terlihat sedikit cemas.
“Tidak akan ada kerjasama lagi. Semua hotel dari Aditama grup tidak akan mengambil segala jenis linen dari pabrik Nawasena,” tandas Vian yang membuat Ruby menelan ludah.
Suara bel yang berbunyi, membuat Vian dan Ruby menoleh bersamaan. Ruby mengembuskan napas lega ketika Vian beranjak dari duduk tanpa membawa ponselnya.
Tidak ingin membuang waktu, Ruby segera meraih ponsel Vian dan mencari nama Jiana. Ruby tahu jika Vian tidak pernah mengunci ponsel. Setelah menemukan percakapan mereka, ia terbeliak. Tepat seperti dugaannya, Vian dan Jiana akan bertemu malam ini.
"Kamu tidak pantas bersama, Vian. Kamu hanya anak haram!” Dengan kesal, Ruby mengirimkan pesan kepada Jiana lalu buru-buru menghapusnya.
Menyadari langkah Vian yang semakin mendekat, Ruby segera meletakkan ponsel tersebut dan berdiri untuk berpamitan.
"Terima kasih untuk waktumu, Vian. Aku pamit,” tukas Ruby sembari menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga.
Tanpa memberikan jawaban, Vian memiringkan tubuh untuk memberikan jalan kepada Ruby. "Aku harap ini terakhir kalinya aku melihat wajahmu.”
Tatapan jijik dari Vian sedikit membuat hati Jiana terluka. Pria idamannya itu kini semakin menjauh dan malah memiliki hubungan spesial dengan Jiana, wanita yang sangat dibenci oleh Ruby.
Dengan langkah cepat, Ruby masuk ke dalam mobil. Segera ia keluar dari mansion Vian dan berhenti di pertigaan jalan. Ruby mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan untuk diberikan kepada kurir paket yang membantunya tadi. Pria itu berpura -pura mengirim paket penting yang harus diterima langsung oleh Vian.
“Terima kasih banyak, Kak,” ucap pria tersebut dengan senyuman merekah.
"Anggap kita tidak pernah ada urusan,” kata Ruby seraya melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
***
From: Bos aneh
Temui aku di The Widjaja Hotel kamar nomor 212
"Hish! Dasar nyebelin! Seenaknya sendiri!” seru Jiana sambil menghentakkan kakinya setelah membaca pesan dari Vian. "Tadi katanya di rumah, kenapa sekarang mendadak di hotel?”
Melemparkan ponsel ke atas ranjang, kemudian Jiana berkaca. Gaun cream pemberian Vian tampak pas melekuk tubuhnya yang ramping. Tulang selangka Jiana yang menonjol terekspos dengan hiasan tali spaghetti melingkar di pundak.
“Hah, dasar Vian Baidurya Aditama,” sebut Jiana seraya merapikan rambutnya yang dibiarkan terurai. Seutas senyuman mengukir bibir. Entah mengapa setiap menyebut nama Vian, hati Jiana menjadi berbunga. Well, meskipun terkadang sikap Vian menyebalkan.
“Nggak! Nggak!” Jiana menggeleng cepat ketika mulai tertarik kepada Vian. “Ingat Jiana, no fall in love. Vian nggak pernah bercinta, only having sex,” ucapnya memperingatkan diri sendiri. Napas kasar diembuskan oleh Jiana, masih menatap diri dari pantulan cermin dalam-dalam. “Kamu menerima perjanjian itu hanya untuk mengobati luka hati, Jiana. Jangan mikir macem-macem.”
Napas kasar kembali diembuskan. Lantas Jiana melirik waktu pada jam yang tergantung di dinding. Masih ada 45 menit sebelum janji temunya dengan Vian. Tanpa membuang waktu, Jiana mengenakan mantel untuk melindungi diri dari udara malam yang dingin. Segera ia keluar dari kamar sambil memesan taksi online.
Hentakan heels yang beradu dengan anak tangga, membuat Kenanga yang tengah menyeduh teh mendongak. Mata sayu wanita itu memeta penampilan sang putri yang terlihat ayu.
“Jiana, mau ada pesta?” tanya Kenanga menghampiri sang putri.
“Eh.” Otak Jiana berputar untuk mencari jawaban yang tepat. “Yah, ada pesta,” dusta Jiana.
“Sorry, Bu,” batin Jiana yang tidak sering berbohong kepada Kenanga. Well, tidak mungkin jika Jiana harus mengaku akan menemui Vian untuk menerima hukumannya di red room.
Alih-alih melontarkan ribuan pertanyaan penyelidikan, Kenanga justru mengelus wajah sang putri sambil tersenyum haru. Waktu berputar begitu cepat, hingga tanpa disadari putri kecil Kenanga kini sudah tumbuh dewasa.
“Bu, kenapa liatin aku kayak gitu sih?” tanya Jiana malu-malu.
“Nggak apa-apa. Jangan pulang malam-malam ya. Hape kamu jangan dimatikan dan segera hubungi Ibu kalau ada apa-apa,” ujar Kenanga panjang lebar.
“Iya, Bu.”
"Jangan minum terlalu banyak lho,” tambah Kenanga.
"Iya, aku bakal inget pesan ibu,” tukas Jiana yang sudah hafal di luar kepala semua pesan ibunya itu.
"Nanti di acara ada Pak Vian nggak?”
Mendengar pertanyaan sang ibu, sontak Jiana melemparkan tatapan ke arahnya. "Ibu kok tiba-tiba nanyain dia sih?”
"Habisnya Ibu ngerasa tenang kalau ada Pak Vian di sebelah kamu. Jadi nggak terlalu khawatir kalau ada bos kamu itu. Soalnya kamu kalau udah mabuk resek.” Kenanga berceloteh seraya merapikan poni Jiana yang tertiup angin.
Jiana tidak menjawab. Kenanga belum tahu saja jika sang putri selalu berada dalam bahaya apabila hanya berduaan dengan Vian. Lilitan tali, guyuran wine, bahkan cambukan akan didapatkan apabila tidak patuh. Berbahaya, tetapi selalu membuat Jiana bergairah.
“Udah ah, taksinya datang tuh.” Dagu Jiana menunjuk mobil silver yang baru saja berhenti di depan rumah. "Aku berangkat dulu ya, Bu,” tambah Jiana menjatuhkan kecupan di pipi Kenanga.
"Jiana tunggu,” tahan Kenanga seraya menahan tangan sang putri. la berusaha menata kalimat sebelum melanjutkan perkataannya. “Apa akhir -akhir ini ada orang yang mencurigakan di sekitar kamu?”
Jiana berpikir sejenak. “Mencurigakan? Kayaknya enggak ada. Emang kenapa, Bu?”
"Nggak apa-apa.” Kenanga menghela napas lega. “Kalau ada apa-apa cerita sama Ibu ya.”
"Iya ibuku tersayang. Aku sayang ibu.” Satu kecupan penuh tekanan dijatuhkan Jiana di pipi Kenanga sebelum berlari. "Bye!”
"Jiana hati -hati!” Kenanga sedikit kaget ketika Jiana nyaris kehilangan keseimbangan di atas heels-nya.
"I'm okay, Bu.” Jiana menoleh sambil meringis. Buru-buru ia masuk ke dalam mobil dan melambaikan tangannya.
"Dasar anak itu,” gumam Kenanga tersenyum tipis. Dalam hati ia terus merapaIkan doa untuk kebahagiaan sang putri. Pun berharap Nawasena tidak kembali datang mengusik kehidupan mereka. "Haruskah kami pindah?” celetuk Kenanga yang kemudian berjalan masuk ke dalam rumah.
Mobil yang ditumpangi Jiana melaju dengan kecepatan rata-rata. Jalanan seminyak yang tidak terlampau padat, membuatnya tiba lebih cepat. Patung huruf W yang berdiri gagah dengan air mancur di sekitar menyambut kedatangan Jiana. Hotel dengan konsep kolam renang laguna itu merupakan salah satu hotel megah se -Asia Tenggara, menempati peringkat ketiga setelah properti hotel milik Aditama grup.
Baru saya mengayunkan kaki masuk lobby, Jiana sudah disambut ramah oleh Greater. Tuxedo warna maroon lengkap dengan kaos tangan putih menambahkan kesan profesional staf tersebut.
"Selamat malam, Miss. Ada yang bisa saya bantu?” tegurnya dengan senyuman ala hotelier.
"E, saya mau ke kamar 212,” kata Jiana sedikit ragu.
Senyuman petugas itu semakin lebar, tampak sudah menunggu kedatangan Jiana.
"Baik, akan segera saya antar.”
Staf dengan senyuman mirip Willy Wonka tersebut setengah berlari menemui porter kemudian berbisik. Tidak lama kemudian kembali menghampiri Jiana.
"Mari saya antar,” ucapnya seraya menunjuk ke arah lift.
"Te-terima kasih.”
Jiana membuang napas sambil menggoyangkan kaki sebab gugup. Apalagi ketika angka digital pada lift menunjukkan lantai yang dituju. Jiana menelan saliva saat mengayunkan kakinya keluar dari lift.
“Kamarnya di sisi kanan, Miss,” ujar staf itu tanpa keluar dari lift.
"Ba-baik,” ucap Jiana diikuti anggukan kepala tanda terima kasih.
Mata Jiana berkeliling dan hanya mendapati dua pintu di lorong tersebut. Sepertinya di bangunan berbentuk lingkaran itu terbagi menjadi 4 bagian, dan hanya menyediakan 2 kamar di setiap bagian.
Kerongkongan Jiana semakin mengering ketika berada di depan pintu dengan nomor 212 tercetak di sana. Meskipun ragu, tangan Jiana memencet bel lalu pintu terbuka secara otomatis.
Perlahan Jiana masuk ke dalam kamar tersebut sambil celingukan mencari keberadaan Vian. "Per-permisi.”
Dalam ruangan dengan sofa melingkar dalam naungan chandelier, tampak sepi tanpa penghuni. Kemudian Jiana berjalan menuju ke kamar yang pintunya terbuka separuh. Mungkin saja Vian sudah berada di sana dengan perut kotak dan siap menyambut Jiana.
"Argh! Bodoh!” Jiana menggelengkan kepala kuat -kuat. la sangat benci pikiran kotornya yang selalu datang tanpa diundang.
Mendorong pintu kamar tersebut sambil mengedarkan matanya berkeliling. “Vian. Aaaa!”
Tubuh Jiana seketika melemah saat melihat manekin dengan gaun hitam dan sepasang heels menggantung di atas ranjang. Sosok yang selalu menghantui Jiana seolah menyerangnya dengan bertubi-tubi.
Dengan sisa tenaga, Jiana berusaha bangkit untuk keluar dari kamar tersebut. Namun, lampu langsung mati. Jiana tersandung dan jatuh tersungkur.
“I -Ibu,” rintih Jiana dalam kegelapan. Napasnya mulai berangsur ketika ketakutan perlahan menyelimutinya.
Tangan Jiana mencoba meraba lantai mencari ponsel dalam tas untuk mendapatkan cahaya. Tidak lama kemudian, suara ketukan heeIs terdengar semakin mendekat. Detak jantung Jiana semakin tidak karuan. la menoleh ke kanan kiri untuk melihat siapa pemilik sepatu tersebut, tetapi hanya gulita yang didapati.
"Si - siapa itu,” seru Jiana terbata-bata.
"Anak haram tidak pantas hidup di dunia ini.” Rahang Jiana dicengkeram diikuti suara tidak asing mengalun di rungu. “Perusak kebahagiaan orang lain tidak selayaknya hidup bahagia!”
Jiana bisa merasakan napas hangat yang menerpa wajah. Mereka sangat dekat, tetapi Jiana tidak bisa melihat siapa pemilik suara tersebut.
"Si-siapa kamu?” tanya Jiana dengan bibir bergetar.
"Siapa aku?” Wanita itu tertawa. "Aku adalah anak yang sudah dihancurkan oleh ibumu!” Cengkeraman pada rahang Jiana semakin menguat. “Ibumu adalah pembunuh! Kalian sudah merebut ayahku!”
PLAKKK! PLAKKK!
Tamparan mendarat di kedua pipi Jiana. Kehilangan kendali, rambut Jiana dijambak sekuat tenaga.
"Kamu harus mendapatkan ganjarannya! Dasar anak haram!” geram wanita itu.
"Le- lepaskan aku!” rintih Jiana berusaha melepaskan jambakan dari rambutnya. Salah satu tangan Jiana masih meraba lantai untuk mencari ponsel. "Ah!” Sekuat tenaga Jiana mendorong tubuh wanita itu kemudian merangkak melepaskan diri.
Dengan tangan bergetar, Jiana mencari nomor Vian untuk menghubunginya. la masih merangkak sambil menerangi lantai untuk mencari jalan keluar. Sementara suara heels yang beradu dengan lantai kembali terdengar mendekat.
["Kamu mau mendapatkan hukuman dariku?”]
"To-tolong, a-aku mohon tolong aku. Ah!”
Wanita misterius itu menendang ponsel Jiana kemudian menjambak rambutnya kuat-kuat. “Wanita yang kamu lihat tadi adalah ibuku! Ibumu yang membunuhnya dan merebut ayahku! Kamu akan membayar semuanya!”
TO BE CONTINUED ….
Selamat Siang, Lovelies. Mohon maaf ya udah lama nggak update cerita ini. Selamat membaca ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro