Chapter 20 - 💋Did you remember me?💋
Vian terdiam di sofa saat Jiana dengan telaten mengobati luka di jari. Tidak ada kerutan yang tercetak di wajah Vian, meskipun rasa perih menguasai jari telunjuk. la hanya terdiam seraya mengamati wajah khawatir Jiana dalam- dalam. Well, jari Vian hanya teroris pisau, tetapi ekspresi Jiana seolah menyiratkan Vian terluka parah. Pun Vian bisa merasakan gemetar tiupan Vian yang menyapu jemarinya.
"Tahan sebentar ya, ini sedikit perih," ucap Jiana seraya mendongak pada Vian. Dengan penuh hati -hati ia meneteskan obat merah lalu membalutnya dengan perban.
Vian menyeringai, "kamu tidak perlu memperlakukanku seperti anak kecil!"
"Maksudnya?" Jiana mendongak diikuti sepasang mata yang membulat.
"Luka ini bukan apa -apa, sama sekali tidak terasa perih," lanjut Vian.
"Tetap aja, kamu terluka." Jiana melepaskan tangan Vian, lalu memasukkan sisa perban ke kotak obat. "Lain kali kamu harus hati -hati."
Sejenak, Vian merenung, senyuman tipis melintas di bibirnya. Vian teringat pada masa kecil mereka, saat Jiana spontan merobek ujung rok untuk membalut luka goresan di lengan sambil menangis.
Potongan memori tersebut kembali bersatu dan membuat senyuman Vian semakin terukir jelas di wajah. Kenangan itu perlahan membawa Vian pada 20 puluh tahun silam. Ketika ia berusaha kabur dari pengasuhnya dan mencari sang ibu untuk mengadu. Kemudian di perjalanan ia melihat seorang bocah sedang menangis di jendela rumah kosong sambil menangis.
Tanpa pikir panjang, Vian menerobos dari celah pagar yang berlubang. Well, kala itu Vian masih seorang bocah dengan tenaga ala kadarnya.
"Aw!" seru Vian ketika lengannya tergores pinggiran pagar yang tajam. "Aduh." Darah segar lantas membasahi area lengan. Namun, Vian berusaha menahan rasa perih lalu menolong Jiana untuk keluar.
"Hei!" panggil Vian sambil melambaikan tangan dan sesekali melompat untuk menarik atensi Jiana. "Hei aku di sini!"
Masih tidak bisa mengalihkan perhatian Jiana, Vian mengambil kerikil lalu dilempar ke jendela. "Hei!"
Jiana menoleh dan mendapati Vian melompat kecil dari halaman rumah kosong. Rumput yang tumbuh tinggi membuat Vian sulit menjangkau area dekat jendela tempat Jiana berada.
"Sini! Kamu bisa lewat sini!" teriak Vian sambil menunjuk pintu yang sekarang terbuka separuh setelah didorong dengan susah payah.
Dengan langkah kecilnya, Jiana berlari menemui Vian. la tampak ketakutan ketika keluar dari pintu. Tidak terkecuali Vian yang ikut melihat sepasang kaki menggantung tidak jauh dari sana. Mendadak kaki Vian sulit untuk digerakkan. Well, tentu melihat tragedi seseorang mengakhiri hidup bukanlah pemandangan yang menyenangkan.
"Jangan menoleh!" seru Vian sambil meneguk saliva. Rasa ngeri masih menguasai diri diiringi dentuman jantung yang berpacu kian cepat. Spontan ia menutup mata Jiana dengan tangannya. "Kita keluar dari sini."
"Tangan kamu terluka," ujar Jiana saat melihat darah mengalir dari lengan Vian. Matanya yang masih basah kembali mengalirkan air mata. Lalu beberapa detik kemudian Jiana meraung, "kamu terluka."
"Aku nggak apa-apa. Kamu jangan nangis." Vian berusaha menghentikan tangis Jiana yang pecah.
"Tapi kamu berdarah, itu pasti sakit," rintih Jiana sembari menyobek pinggiran rok lantas membutuhkannya di lengan Vian. "Pasti kamu kesakitan," tambah Jiana dengan air mata yang terus melindas kedua pipi.
Kala itu Vian hanya bisa pasrah sambil menatap wajah Jiana lekat-Iekat. Seperti saat ini, ia sama sekali tidak mengucap sepatah kata pun di hadapan Jiana. Vian merasa tersentuh ketika seseorang mengkhawatirkannya begitu dalam. Well, selama ini tidak ada yang begitu peduli kepada Vian.
***
"Cie … calon Nyonya muda kaya raya nih," cicit Bagas, salah satu front office yang berjaga pagi dengannya.
Jiana melirik bingung lalu menyodorkan lembaran kamar yang sudah bersih dan siap untuk ditempati. "Ngomong apaan sih? President suite yang belum ready 708, 709 sama 710."
"Ternyata lo diem-diem menghanyutkan ya." Bagas menyenggol bahu Jiana tanpa memperdulikan informasi rekan setimnya itu.
Napas kasar Jiana ditembuskan. la melemparkan tatapan kepada Bagas dengan jengah. "Lo dari tadi ngomong apaan sih. Diem-diem menghanyutkan apa coba?"
"Halah, nggak usah sok polos deh. Lo dari awal udah ngincer Pak GM ' kan?" Bagas menurunkan kacamatanya hingga nyaris melorot. Mata Bagas mendelik, mirip detektif Conan yang sedang menginterogasi.
Jiana tercengang saat mendengar pertanyaan Bagas. Seketika ia menelan saliva seraya menyusun kalimat untuk menjawab pertanyaan Bagas yang cukup mengejutkan.
Apa Bagas mengetahui hubunganku sama Vian? Tapi, darimana dia tahu? Apa jangan-jangan seluruh staf hotel tahu dan sedang membicarakan hubunganku dengan Vian? Rentetan kalimat tersebut bermunculan di kepala Jiana. Bola matanya sontak melirik ke segala penjuru seraya mengamati staf hotel yang disibukkan dengan tugas mereka masing-masing.
"Hello! Jiana, lo kok malah ngelamun sih! Lo nggak kesambet jin penghuni loker 'kan?" Jentikan jari Bagas membuat perhatian seketika tertuju padanya.
Kaki Jiana perlahan mendekat kepada Bagas lalu berbisik lirih, "lo kok bisa ngomong gitu sih?"
"Jelaslah, tadi Pak Tino nganter makan siang sama boneka pinguin buat lo. Katanya dari Pak GM."
"Apa!"
Bagus dan Jiana terkesiap bersamaan ketika mendengar suara yang melengking di samping mereka. Rasa kaget semakin bertambah saat mendapati wajah Safira yang melotot tidak percaya.
"Pak Vian yang maskulin nganterin makan siang buat Jiana?" Sorot mata Safira tertuju penuh kepada Jiana.
"Bukan Pak Vian yang nganter, tapi Pak Tino." Bagas meluruskan.
"Sama aja!" ucap Safira melirik tajam pada Bagas. Lantas irisnya kembali terlempar pada Jiana. "Jadi diem-diem lo kegatelan sama Pak Vian? Lo berharap bisa jadi Cinderella dengan deketin cowok kaya?" Tangan Safira bersedekap dengan tatapan sinis menyorot tanpa jeda.
"Bu-bukan gitu, Mbak. Saya sama sekali nggak ada hubungan sama, Pak Vian," jawab Jiana masih memikirkan alasan yang tepat untuk mengelak.
"Gimana bisa kayak gini nggak ada hubungan apa-apa?" Safira menarik tangan Jiana untuk masuk ke ruangan khusus staf front office.
Kontan mata Jiana membola saat melihat aneka makanan memenuhi meja. Beberapa pizza aneka rasa, masakan Jawa, Sunda sampai nasi binyani tersaji di sana. Sebuah boneka pororo dengan helm dan kacamata bulatnya, duduk di sudut meja.
"Dia pikir perut gue karung apa? Dikasih makanan sebanyak ini?" batin Jiana.
"Saya juga nggak tahu, Mbak," jawab Jiana sekenanya.
"Ji, lo disuruh ke Rosemary meeting room sama Pak Narendra," celetuk Bagas setelah meletakkan ganggang telepon.
Jiana membuang napas lega dan berterima kasih sebesar-besarnya kepada Narendra karena berhasil lepas dari situasi menegangkan bersama Safira.
"Mbak, saya harus nemuin Pak Narendra, " tutur Jiana meringis. Lalu ia meraih boneka pororo itu untuk disimpan ke dalam loker. "Mbak boleh makan atau bawa pulang semua makanan ini."
"Loh, gue gimana?" protes Bagas.
"Lo juga bebas makan," jawab Jiana seraya berjalan dengan terburu-buru.
Langkah kaki Jiana terhenti setelah memasuki lift. la mengatur napasnya yang terengah seraya merapikan rambut. Mengingat sikap Vian yang cenderung ceroboh membuat Jiana menggerutu. "Maunya tuh cowok apaan sih? Katanya mau merahasiakan hubungan ini, tapi malah ngasih makan siang sama boneka di kantor. Dasar dominan super aneh!"
Pintu lift terbuka, Jiana segera mengayunkan kaki menuju ke Rosemary meeting room, sebuah ruang meeting dengan kapasitas maksimal 20 orang.
Sebelum masuk ke ruangan, Jiana kembali mengatur ekspresi. Dengan senyuman tipis ia membuka pintu ruangan setelah mengetuknya.
"Selamat siang, Pak -" Ucapan Jiana tertahan, senyumannya menyurut saat mendapati pribadi Vian yang menghaturkan tatapan khas itu. Dingin dan penuh intimidasi.
"Duduk, Jiana," sambut Narendra mempersilahkan.
Mata Jiana berselancar untuk mencari kursi yang tepat di antara meja yang ditata U-Shape itu. la hanya perlu mencari kursi yang jauh dari Vian.
"Kamu bisa duduk di samping Vian, Jiana," ujar Narendra ketika Jiana menarik kursi di sampingnya.
"Oh, ba-baik, Pak," jawab Jiana canggung.
Dengan langkah berat, Jiana menarik kursi di samping Vian lantas meletakkan bokong di sana. Berulang kali Jiana mengusir rasa canggung dan berusaha bersikap biasa saja.
"Oke, kita ngobrol santai aja kali ini." Narendra memulai obrolan seraya melihat ke arah Jiana dan Vian secara bergantian. "Saya berencana meminta kalian untuk menjadi ikon Hotel De Luna."
"Ikon?" tanya Jiana terkejut. Sementara Vian tampak biasa saja. "Maksud Pak Narendra."
"Foto wawancara kalian di Hotel De Luna kemarin menyita banyak perhatian. Tidak sedikit yang menyebut kalian pasangan serasi. Jadi kedepannya, saya mau kamu dan Vian menjadi wajah dari hotel De Luna," terang Narendra. "Tugas kalian cukup menjadi model iklan hotel sebagai pasangan. Semua promo hotel nanti akan menyertakan wajah kalian."
Saat Narendra menjelaskan rencananya, jemari Vian ternyata tidak berhenti bergerilya meraba paha Jiana. Rasa panas dan merinding serta merta menyergap tubuh Jiana. Seketika wajah Jiana pucat dengan gerakan tangan Vian yang tidak senonoh itu.
"Jiana, apa kamu mendengarkan penjelasan saya?" tanya Narendra yang tidak menyadari remasan tangan Vian di paha Jiana sebab tertutup meja.
Vian sedikit memiringkan tubuhnya ke arah Jiana sembari berbisik lirih, "fokus Jiana."
Jiana melirik tajam ke arah Vian. Well, yang membuat dirinya sulit berkonsentrasi adalah remasan tangan Vian.
"Saya mengerti, Pak," jawab Jiana menahan rasa merindingnya.
"Good. Kamu juga sudah paham 'kan, Vian?" tanya Narendra yang mendapatkan anggukan kepala Vian sebagai jawaban.
"Sorry, saya terima telepon dulu," ujar Narendra sambil bangkit dari kursinya dan keluar ruangan. "Halo, Sayang. Kamu udah berangkat?"
Sayup-sayup suara Narendra menghilang di balik pintu, lantas Jiana memutar tubuh ke arah Vian dengan ekspresi berang.
"Maksud, Pak Vian apa sih? Pakai ngasih saya makan siang dan pororo segala! Terus sekarang ngeremes paha saya di depan Pak Narendra. Kata Pak Vian mau merahasiakan hubungan kita? Kalau sikap Pak Vian kayak gini, pegawai lain akan mikir yang enggak-enggak," cerocos Jiana tanpa jeda.
Alih - alih menjawab, Vian justru menatap Jiana sambil bersedekap. Matanya mengamati sepasang kelopak Jiana yang dihiasi bulu mata lentik serta bibir merah jambu yang kenyal itu. Jari Vian mendadak menggosok dagu yang tidak gatal seraya membayangkan nikmat menghisap bibir Jiana.
"Pak, jangan diem aja dong."
"Pertanyaan kamu banyak sekali." Vian menghela napas. "Memangnya salah memberi makan siang kepada staf? Itu bukti perhatian atasan."
Cara berpikir Vian memang terlampau sederhana. Namun, sikap yang menurutnya hanya sebuah perhatian itu bisa menarik perhatian para staf dan mencari tahu hubungan mereka.
"Pak, tapi nggak perlu ngasih saya boneka juga."
"Kamu suka pororo 'kan?"
"Iya, ta-"
Ucapan Jiana langsung terpotong ketika lembut dan hangat bibir Vian mengulum bibirnya. Kecupan yang tercipta semakin intens, saat Vian memainkan lidah di langit-langit Jiana. Pun tangan Vian meraba tengkuk Jiana untuk memberikan posisi yang pas.
Jiana tidak berkutik dengan setiap hisapan yang diberikan. la bisa melihat dengan jelas iris gelap Vian yang menatapnya di sela-sela kecupan. Debaran jantung Jiana semakin sulit dikendalikan. la kembali terjatuh dalam pesona Vian untuk kesekian kali.
Benang saliva terbentuk saat Vian menghentikan kecupan itu. Tangan Vian menarik rahang Jiana. "Aku tidak suka dengan penolakan Jiana. Kamu harus mendapatkan hukuman."
"Hu-hukuman? Di sini?" Jiana menoleh ke sekeliling. Tidak mungkin Vian akan melakukannya di ruang meeting.
"Sure. Aku bisa menghukummu di mana saja." Vian mengangkat tubuh Jiana untuk didudukkan di atas meja. Lantas tangan berurat Vian melonggarkan dasi seraya mengurung tubuh Jiana dalam kendalinya.
Sementara itu Jiana hanya terdiam dan mulai memejamkan mata ketika hangat napas Vian menerpa wajahnya. Jemari Vian perlahan membelai wajah Jiana dan turun ke leher lalu berhenti di kancing pertama seragam The Moon Hotel. la melepaskan kancing tersebut sambiI mengamati ekspresi Jiana yang tengah menggigit bibir bawah.
Vian tersenyum tipis lalu berbisik lirih di salah satu telinga Jiana, "apa kamu sama sekali tidak mengingatku?"
TO BE CONTINUED….
Selamat Siang, Lovelies. Kangen Vian sama Jiana nggak nih? 😁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro