Chapter 18 - 💋This Desire💋
Di bawah langit senja yang merona, Jiana dan Vian duduk bersama di meja makan malam yang terletak di tepi pantai berpasir lembut. Angin sepoi-sepoi laut menyusup ke dalam rambut mereka, menciptakan atmosfer romantis yang tak terlupakan. Lampu-lampu kecil di sekitar mereka memberikan cahaya lembut yang menyelimuti meja makan mereka.
Vian, dengan senyum kecil di wajahnya, sesekali mencuri pandang ke arah Jiana yang tampak cantik dalam gaun malamnya. Jiana merasa hangat dalam tatapannya dan merasakan betapa bahagianya momen ini.
Namun, keheningan di antara mereka akhirnya terpecah ketika Jiana merasa penasaran.
Dengan hati-hati, Jiana bertanya, "Vian, bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Tentu," jawab Vian seraya melumat potongan steak yang dipanggang sempurna.
"Apa yang membuatmu seperti ini?" tanya Jiana sambil menggigit bibir bawahnya.
"Maksudnya?" Vian ikut melemparkan pertanyaan karena belum paham.
"Dominan dan mencari submisif," ucap Jiana dengan cepat. "Apa kamu sempat memiliki masa lalu yang buruk?"
Tanpa menjawab, Vian menghentikan makannya. Ekspresi wajah Vian menjadi serius. la memandang mata Jiana sejenak sebelum beranjak dari kursinya.
"Tino akan menjemputmu," tukas Vian sebelum melenggang.
"Ta-tapi, Vian."
Jiana terkejut melihat Vian berdiri dan pergi tanpa menjawab pertanyaannya. la merasa bingung, tidak tahu apa yang terjadi.
"Apa aku salah bertanya?" gumam Jiana melemparkan pertanyaan kepada diri sendiri.
***
Malam hari yang sejuk dan gelap melingkupi teras villa hotel De Luna yang terletak di puncak bukit. Vian duduk di kursi berlapis bulu putih dengan pemandangan hamparan pantai yang indah di bawahnya. Gelombang ombak yang menghantam pantai menciptakan musik alami yang menenangkan, seolah berbicara kepada hatinya yang penuh dengan beban masa lalu.
Angin laut lembut mengelus wajah, menghembuskan rambut hitam Vian yang acak-acakan. Di meja terdapat beberapa botol vodka yang sudah terbuka, sebagian isin telah diminumnya. Vian menatap ke kejauhan, memandangi hamparan pantai yang terlihat gelap karena cahaya bulan terhalang awan.
Kepala Vian terasa berat akibat beberapa botol vodka yang sudah diteguk sepanjang malam. la sengaja membiarkan dirinya tenggelam dalam minuman keras ini.
Menggenggam satu botol kemudian Vian menenggak isinya dalam satu tegukan panjang. Rasa panas mengalir ke tenggorokan, seakan mencoba mengusir kenangan yang kian menggerogoti diri.
Vian tidak pernah bisa melupakan masa lalu yang kelam itu. Ingatan yang menghantuinya kembali ke saat Vian masih berusia 12 tahun. Pengasuhnya, seorang wanita yang dipekerjakan oleh sang ibu, telah ditangkap oleh polisi karena melakukan pelecehan terhadap putra di majikan baru. Kejadian itu mengguncang hati Silvia. Hari itu, Silvia mendekati Vian dengan mata penuh kekhawatiran.
"Vian, Sayang," panggil Silvia dengan suara gemetar. Semula, ia terlihat ragu untuk menanyakan pertanyaan tersebut. "Apakah dia pernah melakukan hal yang sama padamu?"
Melihat rupa Vian, Silvia merasa tidak tega. Namun, ia ingin memastikan jika sang putra tidak mengalami hal buruk itu.
Dengan tatapan mata yang kosong, akhirnya Vian mengangguk pelan. Itu adalah keputusan yang begitu sulit untuk diungkapkan, tetapi ia tidak bisa lagi menyembunyikan kenangan tersebut.
Silvia menjerit kecil dan menangis. Dia memeluk Vian dengan erat dan meminta maaf berulang kali. "Astaga, Putraku. Maafkan Mama, Sayang. Maaf."
Vian hanya bisa mematung tanpa suara ketika tangisan sang ibu bergema dalam ruangan. Ketukan pantofel Aditama yang semakin mendekat, menghentikan tangis Silvia. Sontak wanita dengan rambut yang diikat ekor kuda itu tergopoh - gopoh mendekati suaminya untuk mengadu.
"Sayang, kamu sudah mendengarnya?" Air mata Silvia terus melindas kedua pipi. "Kita harus melaporkan ini. Kita harus mendapatkan keadilan untuk anak kita."
Isakan Silvia kian menjadi ketika melihat Vian menangis sambil memainkan jemarinya.
Namun, alih -alih ikut merasa ibu dengan sang putra, Aditama justru melemparkan ekspresi dingin, seolah tidak peduli akan hal itu.
"Tidak, Silvia," kata Aditama tegas.
Silvia menatap suaminya dengan kebingungan. "Sayang, bagaimana bisa begitu? Kita harus melaporkan masalah ini kepada polisi."
Aditama menggelengkan kepala. "Kita tidak perlu melaporkannya, Silvia. Itu hanya akan mencoreng nama baik keluarga kita. Bisnis yang selama ini aku kembangkan akan hancur karena masalah sepele itu.
"Tapi, Sayang. Anak kita mengalami pelecehan," rintih Silvia sambil mengiba.
"Itu tidak akan terjadi jika Vian tidak menjadi anak yang penurut," tukas Aditama dengan nada suaranya yang meninggi. Pun ia menghempaskan rengkuhan tangan sang istri.
Mata Adimata berputar, tertuju pada Jival yang duduk di sofa tunggal penuh kebingungan. "Lihat, JivaI! Dia tidak dilecehkan karena tidak menjadi anak penurut seperti saudara kembarnya."
"Ingatlah, Vian, seorang pria tidak boleh lemah." Aditama menghampiri sang putra seraya memegang kedua bahunya. "Seorang pria harus bisa mengendalikan wanita, bukan sebaliknya. Pria tidak boleh tunduk kepada wanita. Paham!"
Kata-kata itu menggantung dalam udara dan membuat Vian merasa terpuruk. Baginya, pengalaman pahit itu adalah rahasia kelam yang harus ditanggung seorang diri. Namun, saat dia tenggelam dalam penghakiman diri dan vodka, suara halus yang dikenalnya tiba-tiba mengganggu pemikirannya.
"Vian," panggil suara itu, dan Vian langsung menoleh.
Jiana memandang Vian dengan mata penuh penyesalan. "Vian, aku minta maaf. Aku tidak seharusnya bertanya seperti itu. Maaf."
Vian menatap Jiana dengan ekspresi campuran. la tidak tahu bagaimana merespons permintaan maaf ini. Sementara itu, mata Jiana tampak berselancar mengamati beberapa botol yang tergeletak di meja. Sesekali ia melihat ekspresi Vian yang tampak kacau. Jiana semakin menyesali pertanyaannya tadi.
"Maaf?" ucap Vian sambil berdiri terhuyung.
"Iya, aku minta maaf," jawab Jiana sungguh - sungguh.
"Katakan jika kamu menyesal," perintah Vian.
"A-aku menyesal," kata Jiana dengan patuh sembari memundurkan langkah hingga menabrak piano di sisi ruangan. Vian terus memajukan langkah kemudian mengurung Jiana dengan kedua tangannya.
"Katakan sambil menatapku!" seru Vian sambil mencengkeram dagu Jiana. Memposisikan wajah wanita itu untuk menatapnya.
"Aku menyesal. Maafkan aku, Tuan." Ucapan Jiana seolah menyalakan gelora bercinta Vian.
Dengan brutal, Vian mendaratkan ciuman di bibir Jiana. la melumatnya dengan kasar, membuat Jiana kewalahan.
"Jangan tanyakan pertanyaan itu lagi." Vian kembali melumat bibir Jiana. Lalu menghisapnya hingga bengkak. "Kamu harus mendapatkan hukuman!"
Jiana ingin mendorong Vian untuk menjauh, tetapi pesona tubuh Vian yang sekarang terekspos membuat lupa diri. Detak jantung Jiana semakin tidak karuan. Tubuhnya seolah tunduk dengan dominasi Vian.
Lidah Vian bergerilya kian lincah, sembari melepaskan satu persatu kain penutup tubuh samping itu. Vian mengangkat Jiana untuk berpindah ke sofa berlapis bulu putih. Kesadaran pria itu mulai terkikis karena pengaruh alkohol.
(Baca selengkapnya di Karyakarsa)
"Ah! A-aku adalah budakmu, Tuan," ujar Jiana seraya mengepalkan tangannya kuat -kuat.
"Good girl! Kamu harus menurut kepadaku, bukan sebaliknya." Vian berkata dengan lirih sambil terus menggerakkan pinggulnya maju mundur.
TO BE CONTINUED....
Halo, Lovelies. Dua hari nggak update, ada yang nungguin nggak ya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro